Sepertinya ada yang aneh. Selama seminggu ini, saya jalan-jalan ke perkampungan dan saya temukan banyak rumah tak berpagar. Hanya satu dua yang kelihatannya orang kaya. Bisa jadi biaya membuat pagar memang cukup mahal.
Di kota-kota besar, Jakarta misalnya, saya melihat hampir seluruh rumah berpagar. Bahkan tinggi-tinggi dan tajam. Kecuali rumah-rumah kecil di pinggiran kota. Mungkin karena tak punya halaman, sehingga tak ada gunanya dipasang pagar.
Tapi, apakah ini soal kesangguhan mengeluarkan duit untuk memasang pagar rumah atau karena tak punya halaman yang cukup? Saya kira ada faktor lain, yakni 'rasa takut' akan ancaman. Di kota-kota besar itu, orang-orang katanya lebih intelektual dan berpendidikan tinggi, rumah-rumah mereka tertutup rapi. Bahkan rela membayar satpam untuk menjaga rumah. Antar tetangga saling curiga, jangan-jangan di antara mereka ada perampok.
![]() |
Source: Google |
Di kampung bukan tidak ada kejahatan. Kehilangan sendal, kursi depan rumah, lampu neon, bahkan ayam piaraan, itu sering terjadi. Tapi itu tidak membuat mereka merenggangkan jarak kepada tetangganya. Kalau kita menanyakan nama seseorang sejak di gapura kampung, mereka bisa mengantarkan sampai di pintu rumah yang dituju. Mereka tak pernah membaca teori humanisme, tak mengerti apa arti toleransi, tak tahu teori komunikasi.
Di kota, dengan sejumlah kampus yang berdiri di setiap sudutnya, meja-meja dialog yang digelar di banyak tempat, sejumlah seminar kemanusian hampir setiap semester diadakan. Tapi, mengapa dalam praktiknya mereka masih merawat rasa takut satu sama lain? Tidak sedikit orang-orang kota khatam soal liberalisme, tapi justru mereka menjalani hidup dengan kecurigaan satu sama lain. Apakah, semakin orang memahami kebebasan maka semakin ia tidak merasa bebas?
Baiklah, mungkin ada variabel lain. Bahwa, pagar-pagar yang tertancap tinggi dan runcing itu bagian dari dimensi estetika perumahan. Soal keindahan, kepantasan, atau kelaziman sebuah hunian manusia. Namun rasanya, alih-alih membangun keindahan, justru saya secara pribadi menangkap ada semacam keterasingan. Hal itu menyuntikkan ketakutan, kecurigaan, kekhawatiran kalau-kalau mereka jadi objek kejahatan.
Saya punya kawan. Maka, perkawanan saya didasari empat hal: saling menjaga properti (tidak mencuri), saling memberi rasa aman (tidak saling membunuh) dan saling menjaga kehormatan (tidak saling menjatuhkan). Tiga hal itu, sepintas pandangan, tidak terjadi di kehidupan perkotaan. Yang aneh, ketika ada orang di kampung ingin meniru kehidupan kota, dan ada orang kota yang merindukan kehidupan kampung.
0 Komentar