Keseriusan Pemindahan Ibu Kota (?)

Oleh : Robiatul Adawiyah

Adalah Jakarta Ibu Kota Negara Republik Indonesia yang lahir pada 22 Juni 1527, ketika Fatahillah  member nama Jayakarta setelah mengusir Portugis. Jakarta memang tak didesain khusus untuk menjadi ibu kota negara. Belanda pernah berencana memindahkan ibu kota ke Bandung. Sedangkan Bung Karno ingin memindahkannya ke Palangkaraya. Juga Soeharto yang sempat berencana memindahkannya ke Jonggol. Namun tak ada yang terealisasi. Dan sekarang; 2019 menjadi tahun terlahirnya kembali wacana pemindahan ibu kota melalui Presiden Joko Widodo.
 
Foto: RobiatulAdawiyah Ketua Cabang PMII Jakarta Timur 2018-2019


Jumlah penduduk Jakarta, sesuai sensus 2010, adalah 9,6 juta jiwa. Adapun luas wilayahnya 661,52 kilometer persegi. Sehingga kepadatan penduduknya 14.523 jiwa per kilometre persegi. Sangat padat dengan angka yang fantastis apabila dibandingkan dengan tingkat kepadatan penduduk Singapura adalah 7.257 jiwa per kilometer persegi. Belum lagi jika dibandingkan dengan ibu kota negara-negara lain yang memiliki kepadatan yang lebih rendah seperti Tokyo 6.029, Manila 12.830, New Delhi 9.340. Sedangkan untuk ibu kota negara-negara maju seperti Washington, Canberra, Paris dan sebagainya memiliki kepadatan penduduk yang jauh lebih rendah lagi.


Selain dari segi luas wilayah dan kepadatan penduduk, setidaknya ada tiga kata yang lekat pada Jakarta; macet, banjir dan kumuh. Tentu ini bukan hanya menjadi identitas bagi Jakarta, tapi kita juga perlu menghitung mengenai energi dan kerugian yang terus-terusan bertambah. Gubernur DKI Jakarta, AniesBaswedan mengatakan, kerugian yang ditimbulkan akibat kemacetan di Jakarta mencapai Rp 100 triliun per tahun, dalam pembukaan rapat terbatas tentang tata kelolat ransportasi di Jabodetabek pada Januari 2019.

Makin melengkapi derita Ibu Kota Indonesia ini ketika Mpo Cristina Fernandez de  Krichner harus menunggu satu jam lebih. Ia tak bisaberangkat sesuai jadwal. Ia juga tak bias menempuh rute Jl. Soedirman dan Jl. MH Thamrin dari tempatnya menginap di Hotel Shangri-La. Jalan-jalan utama ibu kota Negara ini digenangi banjir. Ia harus menempuh rute belakang lewat Tanah Abang untuk menuju Istana Merdeka. Mpo Cristina adalah Presiden Argentina yang menjadi tamu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 2013 lalu. Tentu hal ini member catatan buruk bagi Indonesia. Wajah Indonesia langsung terkenang bagi tamu negara.

Jakarta berkembang menjadi kotabesar (diduga) karena kecelakaan. Pasalnya tak ada dalam sejarah, wilayah rawa ini didesain begitu sempurna untuk menjadi pusat perdagangan maupun pusat pemerintahan. Namun bangsa-bangsa Eropa yang sedang berkelana mencari koloni memilih wilayah ‘kosong’ ini sebagai basis yang tepat. Lebih mudah daripada di kota-kota yang sudah tumbuh. Belanda yang berpengalaman dengan negerinya yang berada di bawah permukaan laut membuat wilayah ini lebih layak huni. Ia membangun banjir kanal barat serta sungai-sungai dan kanal-kanal buatan. Ia juga banyak membuat danau-danau buatan di wilayah Bogor. Dengan demikian, banjir bandang yang tiap musim hujan mengepung Jakarta bias dikendalikan. Namun itu dahulu, bahasa kasarnya zaman Belanda. Sekarang daya tamping sudah tak terbendungl agi.

Pemisahan pusat pemerintahan dengan pusat perdagangan dan bisnis akan mengurangi beban berat Jakarta. Tentu magnet Jakarta akan berkurang. Selain APBD Jakarta yang setara dengan APBD se-pulau Sumatera, pada sisi lain, APBN kita sudah jauh lebih besar. Kini, sekitar Rp 2.100 triliun. Cukup mampu untuk membiayai pembangunan sebuah kota baru sekitar kurang lebih Rp 450 triliun.

Menurut hemat saya, membangun visi dan harapan baru jauh lebih strategis untuk dipikirkan para pemimpin negeri ini. Bukan hanya sekadar mampu dan mau membangun empati dengan cara blusukan ke korban-korban banjir. Lagi pula nantinya para pejabat publik tak perlu lagi repot-repot bawa kendaraan menggunakan sirene. Dan trotoar dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Penulis  adalah Ketua Cabang PMII Jakarta Timur 2018-2019. Perempuan Betawi pecandu kopi pahit yang doyan jalan dan doyan tidur, serta gemar menunggu perjaka dan duda pulang dari masjid.

Posting Komentar

1 Komentar