Di Pondok Indah Mall, Jakarta Selatan, pekan lalu,
menjelang tutup tahun 2018, empat “pinisepuh” ngumpul dan ‘kongkow’ di TB
Gramedia, toko buku yang kini menyediakan cafe, kami dihadang oleh pajangan
buku menarik. Judulnya “Matinya Kepakaran - The Death of Expertise: Perlawanan
terhadap Pengetahuan yang Telah Mapan dan Mudaratnya” karya Tom Nichols (2017).
Bersama kami ada Judi Kristiando, Mas Dwi dan Wina
Armada SA, senior saya. Langsung saya ingatkan kepada Mas Wina tentang topik
itu, yang pernah dibawakan oleh Bre Redana, wartawan ‘Kompas’, pengamat budaya,
cerpenis dan novelis dalam workshop kritik film beberapa bulan lalu. Bre Redana
menyatakan, di era internet ini, kepakaran sudah tidak diperlukan, karena
wacana publik sudah dikuasai oleh kaum awam yang menggunakan media sosial.
Pengamat politik, kritikus film, dan pengamat olahraga kalah oleh netizen.
![]() |
Foto: moslemtoday.com |
“Sekarang ini kalau di stadion ada 50 ribu penonton
sepakbola, maka sebanyak 50 ribu itu pakar sepakbola. Semua bisa bikin opini
dan menyebarluaskannya, “ kata Bre Redana, wartawan senior, lulusan School of
Journalism and Media Studies, Darlington, Inggris.
Lewat buku ‘The Death of Expertise’ Tom Nichols
menyampaikan keserahannya untuk publik Amerika Serikat, namun kondisi yang sama
ternyata dialami oleh masyarakat secara global. ‘Matinya Kepakaran’ tampaknya,
kini sudah mendunia. Khususnya di AS.
Pengetahuan dasar rata rata orangAmerika saat ini
sangat rendah, katanya. Bahkan, sampai menembus lantai “tak dapat informasi”,
meluncur ke arah “salah informasi” dan sekarang terempas ke “ngawur secara
agresif”. Di era informasi seperti sekarang ini, justru banyak melahirkan apa
yang dia sebut ‘ignorance’ atau kedunguan di kalangan publik di AS.
Kegandrungan pada literasi instan tersebut menggejala demikian masif – hingga
kepakaran terancam mati. Orang hanya memerlukan informasi tambahan untuk
menguatkan keyakinannya ketimbang kebenaran itu sendiri.
“Saya khawatir kita sedang menyaksikan ‘matinya ide
ide kepakaran itu sendiri’ : kehancuran pembagian antara kelompok profesional
dan orang awam, murid dengan guru, dan orang yang tahu dengan yang merasa tahu
gara gara Google, Wikipedia, dan blog – dengan kata lain, antara mereka yang
memiliki pencapaian di sebuah bidan dan mereka yang tidak memiliki pencvapaian
sama sekali. (hal 3)
Foto: Google
|
Dicontohkan, pada tahun 2014 ‘Washington Post’
melakukan jajak pendapat dengan warga AS apakah harus terlibat dalam intervensi
militer, setelah Rusia melakukan invasi ke Ukrania. Mayoritas warga AS setuju
intervensi, namun setelah disurvei di hanya satu dari enam dari warga AS yang
tahu dimana lokasi Ukrania berada.
Di sini, contoh paling valid dengan “matinya
kepakaran” adalah ketika netizen lebih percaya kepada Neno Warisman ketimbang
Dr. Sri Mulyani, lebih percaya kepada artis Rachel Maryam daripada Gurubesar
UI, Prof. Dr. Reinald Kasali, dan puas dengan paparan Rocky Gerung ketimbang
penjelasan Prof. Dr. Mahfud MD.
Bahkan dalam kasus operasi plastik Ratna Sarumpaet,
yang heboh beberapa waktu lalu, ada yang lebih percaya Fadli Zon dan Fahri
Hamzah, ketimbang dr.Tompi, yang secara profesional menggeluti bedah plastik
kecantikan. Dia langsung mencium kecurigaan hanya dengan melihat perban dan
kerutan di dahi RS, yang kemudian ternyata benar.
“Dalam hal agama juga demikian, “ kata Mas Dwi, teman
baru kami, pensiunan TNI yang kini aktif di partai nasional.
“Sekarang orang mudah sekali mengaku diri sebagai
ustadz, habaib, sebagai ulama, padahal.....” katanya dengan mendesah, “ Saya
muslim, tapi terus terang saya tidak percaya mereka...” katanya, lirih.
Dia tak habis pikir bagaimana
para kyai besar yang menekuni ilmunya puluhan tahun dan mendalami kitab kuning
serta mewarisi pesantren besar dan berpengaruh - bisa kalah populer oleh anak
anak muda yang mengaku (atau disebut) sebagai ‘ustadz’, ‘habaib’ dan mendadak
jadi seleb di teve.
0 Komentar