Sikap KH Wahid Hasyim Saat Berbeda Pandangan Politik

Oleh: M. Naufal Waliyuddin

2019 tahun politik dan tidak sedikit yang bilang “tahun kekeruhan”. Benarkah demikian? Atau boleh jadi kita sendiri yang mendramatisir situasi dengan mengamininya, sehingga tahun ini akan terkesan semakin seram dan menegangkan.

Namun soal perselisihan antar-golongan, antar-partai, antar-perorangan yang kerap muncul justru pada saat momentum menjelang pemilu seperti kali ini, memang sulit dielakkan. Tetap potensial akan terjadi gesekan, perdebatan, sampai ke urusan paling memiriskan yaitu pertikaian adu-jotos—akibat perbedaan pilihan dan pandangan politik.


Foto: tokohmuslim.com
Padahal, ajang pemilu macam demikian, seandainya kita pikir secara sederhana, maka ia tak ubahnya seperti pertandingan sepak bola. Battle 2x45 menit (terkadang ditambah extra-times atau adu-penalti), dan selebihnya bukan lagi pertandingan. Setelahnya, hanya persiapan dan pematangan kondisi, sebelum bertarung kembali di lain waktu.

Ajang ‘pesta demokrasi’—yang disebut pemilu—bukanlah The Infinity War. Ia adalah battle. Tidakkah momentum pemilu sebatas pertandingan beberapa menit di TPS, mencoblos kertas, lanjut perhitungan, dan baru kemudian ditemukan pemenangnya?

Sesederhana itu. Karena memang tahap pemanasannya telah dilakukan saat masuk masa kampanye—bahkan bisa jauh-jauh hari sebelumnya. Meski banyak orang berpikir sederhana seperti di atas, namun kenyataan tersebut masih sulit untuk menekan indeks “intoleransi dalam pemilu” dan “fanatisme buta” dari para pengusung atau pendukung masing-masing.

Tapi tidak perlu risau lebih dalam. Ada satu sikap teladan baik bagi kita yang agaknya sesuai dengan situasi menjelang pemilu macam sekarang. Sebuah sikap panutan dari seorang tokoh nasional, KH. Wahid Hasyim, yang dapat kita ambil-terapkan ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sosok yang hobi makan kulup (sayur rebus atau hasil dikukus) ini salah satu tokoh termuda yang masuk ke dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Padahal waktu itu ia masih berusia 31 tahun saat dipercaya oleh Soekarno dan  Moh. Hatta untuk menjembatani pertentangan antara kelompok Islam dan nasionalis. Perkara yang diperselisihkan saat itu ialah mengenai tujuh kata dalam Piagam Jakarta: “Dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Bung Karno dan Bung Hatta yakin bahwa Kiai Wahid Hasyim akan mengutamakan kepentingan bangsa dan tanah airnya. Maka tercapailah mufakat bahwa tujuh kata itu akhirnya dihapus dan jalan mulus persatuan menuju Indonesia merdeka makin terbentang.

Selain itu, pribadi Wahid yang sedari kecil tidak pernah membeda-bedakan teman ini memandang bahwa tak selamanya lulusan pesantren mesti jadi ulama. Yang terpenting, bagi Wahid Hasyim, mereka harus menjadi sosok “manusia” berwawasan yang bisa membangun dan mendidik masyarakat serta memajukan lingkungannya ke arah yang lebih baik—dalam berbagai bidang.

Kemudian rasa kebersamaan kiai muda satu ini pun dapat teramati ketika pada 1952 NU keluar dari Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia)—sesuatu yang disayangkan olehnya—ia tetap menjalin silaturrrahim dengan para tokoh Masyumi. Bagi KH. Wahid Hasyim, perbedaan politik bukanlah berarti bermusuhan. Sungguh berbeda dengan realitas pentas perpolitikan di masa kini. Padahal sikap inilah yang membuat KH. Wahid Hasyim disegani dan dihormati sekalipun terbilang masih muda.

Sejalan dengan pengakuan salah satu putrinya juga, Aisyah, KH. Wahid Hasyim tidak pernah membeda-bedakan orang. Anak-anak kerap diajak berkunjung ke rumah tokoh politik yang berbeda aliran dengan ayahnya. Mereka bertandang ke rumah Soebarjo, tokoh Partai Islam, singgah ke rumah tokoh Masyumi seperti M. Natsir dan Prawoto Mangkusasmito. Tur politik mereka bahkan sampai ke, misalnya, Moh. Yamin dari Partai Nasional Indonesia.

Betapa hal tersebut semestinya dapat kita teladani agar saling menjaga keharmonisan dalam berbangsa dan bernegara sekalipun masing-masing kita berdiri di kubu yang berbeda. Bukankah yang demikian akan menjadi pemandangan sejuk bagi anak-cucu kita nanti?

***

Kiai muda yang rajin bertirakat puasa dan pelahap buku ini sangatlah ideal sebagai acuan tokoh panutan yang open-minded, besar toleransinya, bahkan konon menurut pengakuan beberapa pihak terdekat, ia juga rajin mentraktir teman-temannya.

Satu hal unik lainnya, sosok Wahid Hasyim selalu membawa korek api di saku jasnya walaupun ia sendiri tak merokok. Itu ia sediakan bagi rekannya yang barangkali membutuhkan pemantik untuk menyalakan tembakau mereka. Pribadi yang benar-benar nyentrik.


Foto: NU online
Apalagi, melihat sepak terjangnya yang sama sekali tidak pernah mengenyam bangku pendidikan formal (pada masa itu: HIS), ia tergolong seorang otodidak yang jenius. Mampu menguasai beberapa bahasa Asing dengan tanpa masuk ke sekolah Belanda satu kalipun.
Di samping itu, ada analogi menarik yang dulu sempat dituturkan oleh KH. Wahid Hasyim saat memberikan pidato di Kongres Muslimin III di Solo 1941 (saat usianya masih 27 tahun). Bahwa persatuan bangsa, diibaratkannya, seperti “arloji”. Satu bagian mendukung yang lain tanpa ada yang merasa lebih tinggi derajatnya. Semua berperan menggerakkan arloji dan tidak dapat dipungkiri kontribusi masing-masing bagiannya.

Selanjutnya, sebagai penutup, Kiai Wahid Hasyim melontarkan pernyataan yang kemudian ditutup dengan pertanyaan: “Satu untuk semua dan semua untuk satu. Bersediakah umat Islam Indonesia untuk itu?”

Dengan menyonsong momentum pemilu 2019 kali ini—yang dirasa polarisasinya semakin tajam dan meningkat—semoga tidak akan "membenihkan" perpecahan di antara kita sebangsa dan saudara sesama manusia. Amiin. Wallahu a’lam.

Sumber Bacaan: 
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren.
Seri Buku Tempo, Wahid Hasyim (Untuk Republik dari Tebuireng).

Posting Komentar

0 Komentar