Membaca apa pun —buku, teks, realitas, tragedi, peristiwa alam — tidak menjadikan kita semakin pintar. Justru sebaliknya, membuat kita merasa bodoh. Tapi bukan jenis kebodohan yang mengubah kita jadi fanatik. Kita, dengan sadar, didorong untuk "menunda kepastian".
Sukab —tokoh fiktif dalam "Sepotong Senja untuk Pacarku" (Seno Gumira, 2002) — bertanya kepada Alina, "Lagipula apa yang benar-benar pasti di dunia ini?"
Saya curiga Seno sudah khatam pikiran Derrida: kebenaran hanya pertautan kata-kata, di luar bahasa tak ditemukan realitas, bahwa "yang-sekarang" bukan intensi yang didengungkan Husserl, korespondensi tak pernah berhasil karena mengundang "subjek penengah", ad infinitum..
Kepastian ternyata tidak pasti. Semacam oxymoron yang kita alami, setiap hari. Dan membaca jadi upaya memperluas ketidakpastian. Herakleitos, saya kira, lebih unggul dalam satu hal: ia jauh-jauh hari sudah berteriak "Panta rhei!" — "Semua mengalir!"
Tapi kita sulit melupakan bantahan untuk itu: Parmenides, yang dengan nada mengejek, berkata, "Perubahan itu sendiri tak pernah berubah."
Bagaimana di dalam dunia politik?
Tak jauh beda. Bahkan definisi politik pun tak jelas dan tak pasti. John Lock (17 M), jelang bergulirnya masa pencerahan Eropa, menyebut politik sebagai "cara apa pun untuk meraih kekuasaan". _Politic is how to get the power_, katanya.
![]() |
Illustrasi: Google |
Itu sekadar contoh dari dua orang yang mengurai makna politik secara berbeda. Belum lagi, bila kita baca tokoh-tokoh sebelum dan setelahnya, tak pernah sama. Hingga saat ini kuta sedang hidup di akhir sejarah, kata Fukuyama. Kita sudah tidak punya standar tetap untuk merumuskan sesuatu. Lagi-lagi, Herkleitos mungkin ada benarnya: biarkan semuanya mengalir, biar dunia membentuk dirinya sendiri. Semacam dialektika yang akan terus bergulir (Hegel), sampai tercipta masyarakat sejahtera (Marx).
Terpenting, menurut saya, yang kita butuhkan: kesadaran bahwa kita bodoh. Apa gunanya? Ada sebuah anekdot.
Suatu hari, seorang Professor menemui seorang biksu di puncak gunung yang sepi, untuk berguru dan belajar kehidupan. Sesampainya di sana, di depan Professor, Biksu tua itu menuangkan air teh ke dalam cangkir yang sudah penuh. Sang Professor akhirnya tak tahan. Ia melihat sang Biksu terus menerus menuangkan air teh tanpa henti, sampai meluap dan membanjiri lantai kayu di mana mereka duduk berdua.
"Sudah, berhenti, apa Anda tidak melihat cangkir ini sudah penuh? Untuk apa Anda terus menuangkan air teh?" tanya Professor sedikit kesal.
"Tepat sekali. Anda datang ke sini dengan membawa banyak pengetahuan. Bagaimana saya bisa mengisi cangkir yang sudah penuh?"
0 Komentar