Demikian disampaikan Direktur Musdah Raya Foundation Prof.
Musdah Mulia saat mengisi peluncuran dan bedah buku Perempuan dan Terorisme, di
Gramedia Matraman, Jakarta Pusat, Sabtu (12/1) siang.
![]() |
Musdah menilai penting bagi semua pihak untuk meningkatkan
literasi agar bisa menanggulangi doktrinasi teroris. Upayanya, melalui konter
ideologi yang mengarah pada narasi-narasi kekerasan.
“Waspadai perilaku intoleran di masyarakat. Karena itu awal
dari apa yang dihadapi di Syiria. Jangan pernah memandang enteng perilaku
intoleran sekecil apapun. Intoleran yang dimaksud sehari-hari seperti kebencian
dan permusuhan karena perbedaan,” seru pakar gender itu.
Dalam bedah buku yang ditulis oleh Leebarty Taskarina itu
Musdah menegaskan perempuan dan terorisme bukan blaming yang
mengidentikkan perempuan dengan teroris. Buku ini, ungkapnya, ada upaya
sistematis yang melibatkan perempuan dalam gerakan terorisme.
“Islam tidak pernah mengajarkan kepatuhan istri terhadap
suami yang teroris,” tegas Musdah yang di dampingi AKBP Didik Novi Rahmanto,
Kasatgas Foreigner Terrorist BNPT, yang menjadi pembedah buku.
“Perempuan lebih memungkinkan bisa menjadi peace maker
(pelaku perdamaian, red) di banding trouble maker (pelaku keributan,
red), karena di dalam diri perempuan ada rasa mengayomi, keibuan, feminin,”
sambungnya.
Sementara itu, selaku penulis Taskarina mengisahkan salah
satu kasus perempuan istri pelaku kejatahatan teror yang menikah pada usia 15,
berasal dari kawasan yang terpinggirkan di Indonesia Timur. Perempuan ini
awalnya hidup di bawah standar sehingga sempat berpikir bahwa menikah akan
mengubah nasibnya.
“Namun ternyata setelah menikah ia diajak suaminya latihan
teroris masuk ke dalam hutan, menyeberangi sungai yang dalam, menyusuri tebing
yang curam,” papar Taskarina yang membeberkan datanya bahwa perempuan-perempuan
yang diteliti nasibnya sangat naas.
Soal terorisme, kata dia, istri pelaku teror merupakan korban,
sebab suaminya tidak peduli pada dirinya. Dampak yang ditimbulkan pun para
istri pelaku kejahatan teroris yang susah diterima di masyarakat bahkan
cenderung tolak. Bagi Taskarina, harus ada perspektif yang lebih luas melihat
perempuan dalam kejahatan terorisme. (M. Zidni Nafi’)


0 Komentar