Tulisan ini dibuat karena kegelisahan dan kekhawatiran
saya terhadap cara berpikir dan bertindak kita sebagai individu atau kelompok
di zaman nir-kabel seperti sekarang. Yang saya maksud dengan cara berpikir dan bertindak di sini adalah
cara yang membentuk pandangan kita menjadi bias dalam melihat kebenaran, lebih
khusus lagi, dalam mengukur kebenaran.
Mengenai kebenaran, menurut saya, meski isu terkaitnya
telah hadir sejak dulu dan selalu menempati rating tinggi
sebagai bahan perdebatan, di era kita, ia menemui pola yang unik kala teknologi
informasi berhasil masuk ke deretan kebutuhan primer. Banyak dari kita yang tersandera dan
terpropaganda oleh rekayasa dunia informasi berbasis teknologi, apalagi setelah
hadirnya social network.
Tanpa disadari dengan
baik, ia dapat menjajah akal dan hati penggunanya untuk tunduk berucap “Yang
benar adalah yang ini, yang media dan banyak orang memercayainya!” Lihat,
betapa (jika seperti itu) mata kita telah terpatri kacamata kuda. Alhasil,
telah menjadi rahasia umum di lingkungan akademik, bahwa kita tak ubahnya anak
catur yang dimainkan banyak pihak pemuja kepentingan dan hawa nafsu yang
menanam saham atau membayar mahal media agar dapat membabi buta mengoarkan dan
menjual konspirasi murahan berlabel kebenaran. Kita juga menjelma bagai para
penyembah berhala yang membangun patungnya sendiri untuk (ironinya) diberi
makan dan dipuja. Teman, hal ini terjadi, mereka mengisi perut mereka dengan
keringat, jerih-payah, bahkan darah kita. Kolonialisme di era kita ini lebih
kejam, ia berkedok Heroisme!
Menukik ke persoalan
yang lebih khusus, saya tidak ingin fokus pada konspirasi politik mainstream (arus
utama), hal tersebut saya tulis sebatas guna menjadi refleksi kita bersama di
era semacam ini. Sebagaimana yang saya ungkapkan, titik berat tulisan ini
adalah kritik pada pola berpikir dan bertindak yang tak tepat; yang menjadikan
kuantitas sebagai satu-satunya standar kebenaran.
Sebelum ke pusat pembahasan,
perlu dipahami bahwa mencari kebenaran adalah salah satu fitrah manusia. Oleh
sebab itulah, segala perbedaan terkait kebenaran menjadi suatu yang harus
dipandang lazim, tergantung sejauh mana seseorang mencari dan sejauh mana
pengetahuannya semasa pencarian itu sendiri. Kendati demikian, saya tidak
bermaksud berkata bahwa tidak ada kebenaran universal yang dapat diterima semua
orang, karena selain ‘sebatas’ mencari kebenaran, fitrah juga memiliki
kapasitas untuk ‘memahami’ kebenaran universal, seperti benarnya bahwa diri
kita ada. Oleh karena itu, artinya, satu-satunya hal yang tidak lazim ialah
berhenti mencari kebenaran; ia telah bertentangan dengan fitrah manusia!
Kembali pada standar
kebenaran. Menjadikan kuantitas sebagai standar kebenaran adalah hal yang
keliru. Maksudnya, jika kuantitasnya besar maka ia benar, sebaliknya, jika
kecil maka ia salah. Hal semacam ini bila diyakini tentu tertolak logika nalar
bahkan wahyu.
Dalam logika nalar, kita
mengenal istilah fallacy atau keliru pikir. Salah satu yang
termasuk dalam keliru pikir atau tidak logis adalah dengan cepat menyandarkan,
menyerahkan, hingga mengukur kebenaran pada pendapat, prilaku apalagi sekedar
kesepakatan mainstream, ini termasuk fallacy of hasty
generalization; keliru karena tergesa-gesa meng-generalisasi. Sebagai
contoh, Anda membenarkan tindakan Anda menyerobot lampu lalu lintas lantaran
banyak kendaraan di depan Anda melaksanakan hal serupa. Hal semacam ini tentu
keliru, ia bukanlah kebenaran namun pembenaran.
Selanjutnya, di samping
itu, logika wahyu pun tidak menerima perkara tersebut. Dalam Alquran, kita
mendapati banyak sekali ayat-ayat yang mengecam cara pandang yang hanya bersandar
pada mainstream, seperti pada ayat “Dan meskipun
begitu, kebanyakan manusia tidak mau bersyukur” (An-Naml
[27]: 73), “…dan banyak manusia yang berdosa” (Al-Maidah
[5]: 52), “Kebanyakan mereka tidak menyukai kebenaran…” (Al-Mu’minun
[23]: 70), “Kebanyakan manusia tetap tidak mau beriman
seberapa banyak pun engkau menginginkannya” (Yusuf [12]: 103). Justru
sebaliknya, ayat mengatakan, “…tetapi sedikit dari
hamba-hambSaya yang bersyukur” (Saba [34]: 13), “Mereka adalah
yang didekatkan dengan surga kenikmatan, suatu kelompok dari mereka yang
terdahulu dan sedikit dari mereka yang datang di kemudian
hari” (Al-Waqi’ah [56]: 11-14).
Oleh karena itu, poin
utama letak kebenaran bukanlah pada jumlah yang banyak, justru kita harus mawas
kala merasa nyaman dengan yang kebanyakan; mawas terhadap mereka
yang mengidentikkan mayoritas sebagai inklusifitas. Jika seperti itu,
pernyataan pola pikir yang ekstrim ‘inklusif’ dapat menyebabkan pola pikir yang
ekstrim ‘ekslusif’ benar adanya.
Lagipula, kala kita teliti kata “awam” ke akar kata
Bahasa Arab, maka akan kita dapati ia berasal dari kata ‘Aam yang
berarti umum. Dari situ, dapat
dipahami bahwa menjadi ‘yang umum’ seringkali berkonotasi negatif sebagaimana
kalimat “Anda jangan menjadi orang awam.” Di samping itu, bukan kebetulan bagi
saya bila kata sombong dalam bahasa Arab pun sepadan dengan kata Kibr yang
(lagi-lagi) berarti besar.
Saya tidak ingin berkata
bahwa bersandar pada mayoritas tidak ada benarnya sama sekali, ia bisa benar,
bahkan dalam logika pun termasuk salah satu prinsip yang dibenarkan dalam
membentuk premis mayor silogisme, yaitu berita bersambung (mutawatir)
yang koheren-koresponden dan telah terjustifikasi, seperti pada contoh Anda
membenarkan berita adanya Soekarno meski Anda belum pernah
bertemu langsung dengannya.
Penulis
adalah pegiat Filsafat Islam
Tulisan ini dibuat karena kegelisahan dan kekhawatiran
saya terhadap cara berpikir dan bertindak kita sebagai individu atau kelompok
di zaman nir-kabel seperti sekarang. Yang saya maksud dengan cara berpikir dan bertindak di sini adalah
cara yang membentuk pandangan kita menjadi bias dalam melihat kebenaran, lebih
khusus lagi, dalam mengukur kebenaran.
Mengenai kebenaran, menurut saya, meski isu terkaitnya
telah hadir sejak dulu dan selalu menempati rating tinggi
sebagai bahan perdebatan, di era kita, ia menemui pola yang unik kala teknologi
informasi berhasil masuk ke deretan kebutuhan primer. Banyak dari kita yang tersandera dan
terpropaganda oleh rekayasa dunia informasi berbasis teknologi, apalagi setelah
hadirnya social network.
Tanpa disadari dengan
baik, ia dapat menjajah akal dan hati penggunanya untuk tunduk berucap “Yang
benar adalah yang ini, yang media dan banyak orang memercayainya!” Lihat,
betapa (jika seperti itu) mata kita telah terpatri kacamata kuda. Alhasil,
telah menjadi rahasia umum di lingkungan akademik, bahwa kita tak ubahnya anak
catur yang dimainkan banyak pihak pemuja kepentingan dan hawa nafsu yang
menanam saham atau membayar mahal media agar dapat membabi buta mengoarkan dan
menjual konspirasi murahan berlabel kebenaran. Kita juga menjelma bagai para
penyembah berhala yang membangun patungnya sendiri untuk (ironinya) diberi
makan dan dipuja. Teman, hal ini terjadi, mereka mengisi perut mereka dengan
keringat, jerih-payah, bahkan darah kita. Kolonialisme di era kita ini lebih
kejam, ia berkedok Heroisme!
Menukik ke persoalan
yang lebih khusus, saya tidak ingin fokus pada konspirasi politik mainstream (arus
utama), hal tersebut saya tulis sebatas guna menjadi refleksi kita bersama di
era semacam ini. Sebagaimana yang saya ungkapkan, titik berat tulisan ini
adalah kritik pada pola berpikir dan bertindak yang tak tepat; yang menjadikan
kuantitas sebagai satu-satunya standar kebenaran.
Sebelum ke pusat pembahasan,
perlu dipahami bahwa mencari kebenaran adalah salah satu fitrah manusia. Oleh
sebab itulah, segala perbedaan terkait kebenaran menjadi suatu yang harus
dipandang lazim, tergantung sejauh mana seseorang mencari dan sejauh mana
pengetahuannya semasa pencarian itu sendiri. Kendati demikian, saya tidak
bermaksud berkata bahwa tidak ada kebenaran universal yang dapat diterima semua
orang, karena selain ‘sebatas’ mencari kebenaran, fitrah juga memiliki
kapasitas untuk ‘memahami’ kebenaran universal, seperti benarnya bahwa diri
kita ada. Oleh karena itu, artinya, satu-satunya hal yang tidak lazim ialah
berhenti mencari kebenaran; ia telah bertentangan dengan fitrah manusia!
Kembali pada standar
kebenaran. Menjadikan kuantitas sebagai standar kebenaran adalah hal yang
keliru. Maksudnya, jika kuantitasnya besar maka ia benar, sebaliknya, jika
kecil maka ia salah. Hal semacam ini bila diyakini tentu tertolak logika nalar
bahkan wahyu.
Dalam logika nalar, kita
mengenal istilah fallacy atau keliru pikir. Salah satu yang
termasuk dalam keliru pikir atau tidak logis adalah dengan cepat menyandarkan,
menyerahkan, hingga mengukur kebenaran pada pendapat, prilaku apalagi sekedar
kesepakatan mainstream, ini termasuk fallacy of hasty
generalization; keliru karena tergesa-gesa meng-generalisasi. Sebagai
contoh, Anda membenarkan tindakan Anda menyerobot lampu lalu lintas lantaran
banyak kendaraan di depan Anda melaksanakan hal serupa. Hal semacam ini tentu
keliru, ia bukanlah kebenaran namun pembenaran.
Selanjutnya, di samping
itu, logika wahyu pun tidak menerima perkara tersebut. Dalam Alquran, kita
mendapati banyak sekali ayat-ayat yang mengecam cara pandang yang hanya bersandar
pada mainstream, seperti pada ayat “Dan meskipun
begitu, kebanyakan manusia tidak mau bersyukur” (An-Naml
[27]: 73), “…dan banyak manusia yang berdosa” (Al-Maidah
[5]: 52), “Kebanyakan mereka tidak menyukai kebenaran…” (Al-Mu’minun
[23]: 70), “Kebanyakan manusia tetap tidak mau beriman
seberapa banyak pun engkau menginginkannya” (Yusuf [12]: 103). Justru
sebaliknya, ayat mengatakan, “…tetapi sedikit dari
hamba-hambSaya yang bersyukur” (Saba [34]: 13), “Mereka adalah
yang didekatkan dengan surga kenikmatan, suatu kelompok dari mereka yang
terdahulu dan sedikit dari mereka yang datang di kemudian
hari” (Al-Waqi’ah [56]: 11-14).
Oleh karena itu, poin
utama letak kebenaran bukanlah pada jumlah yang banyak, justru kita harus mawas
kala merasa nyaman dengan yang kebanyakan; mawas terhadap mereka
yang mengidentikkan mayoritas sebagai inklusifitas. Jika seperti itu,
pernyataan pola pikir yang ekstrim ‘inklusif’ dapat menyebabkan pola pikir yang
ekstrim ‘ekslusif’ benar adanya.
Lagipula, kala kita teliti kata “awam” ke akar kata
Bahasa Arab, maka akan kita dapati ia berasal dari kata ‘Aam yang
berarti umum. Dari situ, dapat
dipahami bahwa menjadi ‘yang umum’ seringkali berkonotasi negatif sebagaimana
kalimat “Anda jangan menjadi orang awam.” Di samping itu, bukan kebetulan bagi
saya bila kata sombong dalam bahasa Arab pun sepadan dengan kata Kibr yang
(lagi-lagi) berarti besar.
Saya tidak ingin berkata
bahwa bersandar pada mayoritas tidak ada benarnya sama sekali, ia bisa benar,
bahkan dalam logika pun termasuk salah satu prinsip yang dibenarkan dalam
membentuk premis mayor silogisme, yaitu berita bersambung (mutawatir)
yang koheren-koresponden dan telah terjustifikasi, seperti pada contoh Anda
membenarkan berita adanya Soekarno meski Anda belum pernah
bertemu langsung dengannya.
Penulis
adalah pegiat Filsafat Islam
0 Komentar