Benar Vs. Besar

Oleh: M. Hazir Rahim

Tulisan ini dibuat karena kegelisahan dan kekhawatiran saya terhadap cara berpikir dan bertindak kita sebagai individu atau kelompok di zaman nir-kabel seperti sekarang. Yang saya maksud dengan cara berpikir dan bertindak di sini adalah cara yang membentuk pandangan kita menjadi bias dalam melihat kebenaran, lebih khusus lagi, dalam mengukur kebenaran. 

Mengenai kebenaran, menurut saya, meski isu terkaitnya telah hadir sejak dulu dan selalu menempati rating tinggi sebagai bahan perdebatan, di era kita, ia menemui pola yang unik kala teknologi informasi berhasil masuk ke deretan kebutuhan primer. Banyak dari kita yang tersandera dan terpropaganda oleh rekayasa dunia informasi berbasis teknologi, apalagi setelah hadirnya social network.

Tanpa disadari dengan baik, ia dapat menjajah akal dan hati penggunanya untuk tunduk berucap “Yang benar adalah yang ini, yang media dan banyak orang memercayainya!” Lihat, betapa (jika seperti itu) mata kita telah terpatri kacamata kuda. Alhasil, telah menjadi rahasia umum di lingkungan akademik, bahwa kita tak ubahnya anak catur yang dimainkan banyak pihak pemuja kepentingan dan hawa nafsu yang menanam saham atau membayar mahal media agar dapat membabi buta mengoarkan dan menjual konspirasi murahan berlabel kebenaran. Kita juga menjelma bagai para penyembah berhala yang membangun patungnya sendiri untuk (ironinya) diberi makan dan dipuja. Teman, hal ini terjadi, mereka mengisi perut mereka dengan keringat, jerih-payah, bahkan darah kita. Kolonialisme di era kita ini lebih kejam, ia berkedok Heroisme!
 
Ilustrasi. Foto: wahanaviewpoint.wordpress.com
Menukik ke persoalan yang lebih khusus, saya tidak ingin fokus pada konspirasi politik mainstream (arus utama), hal tersebut saya tulis sebatas guna menjadi refleksi kita bersama di era semacam ini. Sebagaimana yang saya ungkapkan, titik berat tulisan ini adalah kritik pada pola berpikir dan bertindak yang tak tepat; yang menjadikan kuantitas sebagai satu-satunya standar kebenaran.

Sebelum ke pusat pembahasan, perlu dipahami bahwa mencari kebenaran adalah salah satu fitrah manusia. Oleh sebab itulah, segala perbedaan terkait kebenaran menjadi suatu yang harus dipandang lazim, tergantung sejauh mana seseorang mencari dan sejauh mana pengetahuannya semasa pencarian itu sendiri. Kendati demikian, saya tidak bermaksud berkata bahwa tidak ada kebenaran universal yang dapat diterima semua orang, karena selain ‘sebatas’ mencari kebenaran, fitrah juga memiliki kapasitas untuk ‘memahami’ kebenaran universal, seperti benarnya bahwa diri kita ada. Oleh karena itu, artinya, satu-satunya hal yang tidak lazim ialah berhenti mencari kebenaran; ia telah bertentangan dengan fitrah manusia!

Kembali pada standar kebenaran. Menjadikan kuantitas sebagai standar kebenaran adalah hal yang keliru. Maksudnya, jika kuantitasnya besar maka ia benar, sebaliknya, jika kecil maka ia salah. Hal semacam ini bila diyakini tentu tertolak logika nalar bahkan wahyu.   

Dalam logika nalar, kita mengenal istilah fallacy atau keliru pikir. Salah satu yang termasuk dalam keliru pikir atau tidak logis adalah dengan cepat menyandarkan, menyerahkan, hingga mengukur kebenaran pada pendapat, prilaku apalagi sekedar kesepakatan mainstream, ini termasuk fallacy of hasty generalization; keliru karena tergesa-gesa meng-generalisasi. Sebagai contoh, Anda membenarkan tindakan Anda menyerobot lampu lalu lintas lantaran banyak kendaraan di depan Anda melaksanakan hal serupa. Hal semacam ini tentu keliru, ia bukanlah kebenaran namun pembenaran.  

Selanjutnya, di samping itu, logika wahyu pun tidak menerima perkara tersebut. Dalam Alquran, kita mendapati banyak sekali ayat-ayat yang mengecam cara pandang yang hanya bersandar pada mainstream, seperti pada ayat “Dan meskipun begitu, kebanyakan manusia tidak mau bersyukur” (An-Naml [27]: 73), “…dan banyak manusia yang berdosa” (Al-Maidah [5]: 52), “Kebanyakan mereka tidak menyukai kebenaran…” (Al-Mu’minun [23]: 70), “Kebanyakan manusia tetap tidak mau beriman seberapa banyak pun engkau menginginkannya” (Yusuf [12]: 103). Justru sebaliknya, ayat mengatakan, “…tetapi sedikit dari hamba-hambSaya yang bersyukur” (Saba [34]: 13), “Mereka adalah yang didekatkan dengan surga kenikmatan, suatu kelompok dari mereka yang terdahulu dan sedikit dari mereka yang datang di kemudian hari” (Al-Waqi’ah [56]: 11-14).

Oleh karena itu, poin utama letak kebenaran bukanlah pada jumlah yang banyak, justru kita harus mawas kala merasa nyaman dengan yang kebanyakan; mawas terhadap mereka yang mengidentikkan mayoritas sebagai inklusifitas. Jika seperti itu, pernyataan pola pikir yang ekstrim ‘inklusif’ dapat menyebabkan pola pikir yang ekstrim ‘ekslusif’ benar adanya.

Lagipula, kala kita teliti kata “awam” ke akar kata Bahasa Arab, maka akan kita dapati ia berasal dari kata ‘Aam yang berarti umum. Dari situ, dapat dipahami bahwa menjadi ‘yang umum’ seringkali berkonotasi negatif sebagaimana kalimat “Anda jangan menjadi orang awam.” Di samping itu, bukan kebetulan bagi saya bila kata sombong dalam bahasa Arab pun sepadan dengan kata Kibr yang (lagi-lagi) berarti besar.

Saya tidak ingin berkata bahwa bersandar pada mayoritas tidak ada benarnya sama sekali, ia bisa benar, bahkan dalam logika pun termasuk salah satu prinsip yang dibenarkan dalam membentuk premis mayor silogisme, yaitu berita bersambung (mutawatir) yang koheren-koresponden dan telah terjustifikasi, seperti pada contoh Anda membenarkan berita adanya Soekarno meski Anda belum pernah bertemu langsung dengannya.



Penulis adalah pegiat Filsafat Islam

Posting Komentar

0 Komentar