Pernahkah kita heran lalu bertanya-tanya, mengapa di dunia ini banyak sekali ragam agama? Mengapa Allah Yang Mahakuasa tidak menciptakan agama satu saja? Islam misalnya. Lantaran realitas sudah demikian adanya, bolehkah kita sebagai muslim mengakui keberadaan agama lain?
Pertanyaan-pertanyaan ini bagi sebagian orang mungkin hal
biasa. Namun, bagi sebagian di antara kita masih belum menemukan jawaban yang
memuaskan. Tentu saja Allah punya kuasa untuk menjadikan seluruh umat manusia
beragama Isam, namun Dia tidak menghendaki tersebut. Sebagaimana firman Allah
Swt.:
وَلَوْ شَاء اللّهُ
لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَـكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُم
فَاسْتَبِقُوا الخَيْرَاتِ
“Kalau Allah Menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu
umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya
kepadamu, maka berlomba-lomba lah berbuat kebajikan.” (QS. al-Maidah: 48)
| Ilustrasi. Foto: Slideshare.net |
Ayat ini memberikan petunjuk bagi kita bahwa Allah memang tidaklah
menghendaki satu identitas saja, namun Dia sengaja menjadikan banyak agama sebagai
realitas kehidupan yang perlu kita sikapi. Sikap yang bagaimana? Yakni, menjadi
muslim yang selalu meningkatkan kebaikannya. Tidak mau kalah untuk berbuat baik
ketika ada orang entah itu agamanya apa sama-sama melakukan perbuatan baik bagi
orang lain.
Mengakui Agama Lain
Sebagai orang yang memeluk agama Islam, tentu kita meyakini
bahwa Islam merupakan agama yang benar dan sejati. Keyakinan ini adalah harga
mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Meski diimingi-iming emas segudang
misalnya, kita tidak akan pernah goyah untuk melelang agama kita hanya demi
harta. Namun, bagaimana dengan keberadaan agama lain yang sangat
banyak itu. Boleh kita mengakui agama mereka
Tidak perlu bingung, karena ada banyak ayat dalam Al-Quran
yang menyebut keberadaan agama-agama selain Islam, seperti Yahudi, Nasrani,
Shabi’in, penyembah berhala, dan lain-lain. Hal ini menunjukkan bahwa Al-Quran
mengakui keberadaan banyak agama, apalagi itu merupakan kehendak Allah.
Hanya saja perlu dicatat, “mengakui” bukan berarti
“membenarkan” agama selain Islam. Setiap pemeluk agama mempunyai keyakinan
agama yang paling benar. Begitu kita selaku muslim sudah pasti meyakini dengan
kuat bahwa Islam adalah agama yang paling benar. Sebagaimana ayat Al-Quran yang
selalu kita pegang selama ini:
إِنَّ
الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ إِلَّا مِن بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ ۗ وَمَن
يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah
Islam. tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah
datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara
mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah
sangat cepat hisab-Nya.” (Q.S. Ali ‘Imran: 19)
Keragaman Indonesia
Hari ini kita hidup tidaklah sendirian. Bumi seluas ini bukan
hanya dihuni umat muslim semata, namun ada umat agama lain yang justru lebih
banyak lagi berada di sekitar kita. Khususnya di Indonesia, bangsa yang paling
banyak keragaman suku, agama, budaya, dan sebagainya.
Tidak heran bila negara kita sampai hari ini sudah mengakui 6
agama besar yang ada di Indonesia. Realitas keragaman Indonesia adalah sebuah
keniscayaan, bahkan keragama tersebut menjadi identitas bangsa yang kita
banggakan. Dengan keragaman tersebut mampu menjadi kekuatan bangsa kita untuk
meraih kemerdekaan dari cengkraman penjajah.
Maka, kita harus menjaga ‘kewarasan’ beragama kita di tengah
munculnya gejala politik identitas yang belakangan ini sedang menggejala di
Indonesia. Untuk tetap menjaga perdamaian dan kerukunan, kita sebagai umat Nabi
Muhammad yang mengajarkan rahmatan lil ‘alamin harus mengaktualisasikan
prinsip ajaran Islam itu di sini, di Indonesia yang merupakan rumah kita
bersama.
Tiada kenikmatan beragama dan berbangsa selain kenikmatan
berupa kedamaian, kerukunan dan keamanan di antara satu sama lain. Agama boleh
berbeda, namun kita sama-sama sebagai sebangsa dan setanah air. (M. Zidni
Nafi’)
Artikel ini pernah dimuat di hijraa.co
Artikel ini pernah dimuat di hijraa.co

0 Komentar