Cepat sekali
topik pembicaraan bangsa ini berubah, tak sampai sebulan, setelah polemik
Sukmawati atas puisinya yang dianggap mencederai hati umat Islam. Kini belum
juga itu usai, netizen di media sosial telah ribut kembali atas pernyataan
Rocki Gerung (RG) di Indonesia Lawyers Club, TV One, yang menyatakan bahwa
kitab Suci itu fiksi.
Setali tiga
uang, pernyataan itu pun mendapat kritikan berbagai pihak dari kalangan
agamawan, utamanya umat Islam. Mereka menganggap bahwa RG ngawur dalam
mengatribusi kitab suci sebagai fiksi, meski RG sendiri memberikan
klarifikasinya mengenai apa yang dimaksud fiksi itu.
Ia
menjelaskan bahwa fiksi yang sering diartikan fiktif adalah kesalahan yang
sering dilakukan oleh banyak orang. Bagi RG, fiksi adalah kata benda yaitu
literatur yang selalu mengandung pengertian literi. Baginya fiksi adalah
sesuatu yang bagus, tetapi karena diungkapkan dalam ruang politik maka ia
sering bermakna buruk. Selain itu, menurutnya fiksi adalah energi untuk
mengaktifkan imajinasi, dan ini diklaim sebagai fungsi dari fiksi itu sendiri.
Di sisi lain RG juga melawankan fiksi dengan realitas bukan fakta. Dengan alasan demikian ia mengatakan bahwa Kitab suci adalah fiksi tetapi tidak fiktif. Karena fiksi lawannya adalah realitas, maka konsekuensinya adalah kitab suci bukan realitas. Bagi RG kitab suci itu fiksi yang baik karena dapat menghidupkan daya imajinasi seorang. Dan karena fiksi memiliki fungsi mengaktifkan imajinasi maka kitab suci itu fiksi.
Di sisi lain RG juga melawankan fiksi dengan realitas bukan fakta. Dengan alasan demikian ia mengatakan bahwa Kitab suci adalah fiksi tetapi tidak fiktif. Karena fiksi lawannya adalah realitas, maka konsekuensinya adalah kitab suci bukan realitas. Bagi RG kitab suci itu fiksi yang baik karena dapat menghidupkan daya imajinasi seorang. Dan karena fiksi memiliki fungsi mengaktifkan imajinasi maka kitab suci itu fiksi.
![]() |
Ilustrasi Buku. Foto: www.maxmanroe.com |
Bagi
penulis, kitab suci tidak hanya teks, ia adalah sumber hukum dan moral bagi
kaum beragama (Islam). Al-Qur'an misalnya, ia tidak hanya berbicara soal hukum,
di dalamnya juga ada soal moral, soal muamalat (pergaulan), sejarah, prediksi
masa depan, kecaman, pujian dll. Al-Qur'an tidak bisa disebut fiksi jika
merujuk arti dalam KBBI yang salah satu artinya adalah khayalan, rekaan atau
pernyataan yang berasal dari rekaan pikiran.
Sebagian
pembicaraan/proposisi dalam al-Quran memang dapat mengaktifkan daya imajinasi
seseorang dan saya sependapat pada RG jika sebagian proposisi al-Qur'an itu
dapat menyempurnakan daya khiyal/imajinasi seseorang serta memberikan gambaran
terkait masa depan baik di dunia maupun akhirat (eskatologi). Tapi menyebut kitab suci adalah fiksi
sangatlah keliru sedangkan kitab suci bukan rekaan apalagi khayalan.
Sesuatu yang sifatnya rekaan jika dituangkan dalam bemtuk teks misalnya novel, juga dapat menjadi energi untuk mengaktifkan daya imajinasi. Tentu novel dan kitab suci (dalam konteks ini al-Quran) memiliki domain yang berbeda meski sama-sama bisa mengaktifkan daya imajinasi bagi pembacanya.
Sesuatu yang sifatnya rekaan jika dituangkan dalam bemtuk teks misalnya novel, juga dapat menjadi energi untuk mengaktifkan daya imajinasi. Tentu novel dan kitab suci (dalam konteks ini al-Quran) memiliki domain yang berbeda meski sama-sama bisa mengaktifkan daya imajinasi bagi pembacanya.
Sementara
itu, diskusi yang penulis lakukan dengan sahabat penulis, dalam bahasa yang
lebih filosofis, umat Islam meyakini bahwa sumber epistemologi al-Qur'an
bukanlah daya imajinasi (quwwah khiyaliyah), tapi instrumen khusus yang disebut
sebagai wahyu (ilmu hudhuri di level tertinggi). Karena itu, bagaimanapun
fiksi, ia berkonotasi khayalan dan rekaan dan dibolak balik bagaimanapun kata
fiksi, ia memiliki bobot makna yang tidak sesuai dengan basis epistemologi
wahyu.
Karenanya, klaim RG bahwa politik telah merusak makna fiksi (mengaktifkan daya khiyal seorang) adalah juga tidak tepat, bahkan menyesatkan, sebab fiksi memang diletakkan dalam makna demikian (khayalan, rekaan) dalam kesusasteraan bahasa kita.
Karenanya, klaim RG bahwa politik telah merusak makna fiksi (mengaktifkan daya khiyal seorang) adalah juga tidak tepat, bahkan menyesatkan, sebab fiksi memang diletakkan dalam makna demikian (khayalan, rekaan) dalam kesusasteraan bahasa kita.
Benar bahwa
sebagian proposisi al-Qur'an itu memang merupakan tamtsil/analogi. Sebab,
domain bahasa al-Qur'an berbeda dengan domain bahasa sehari-sehari, maksudnya
bahasa al-Quran berasal dari alam tanpa bahasa. Karenanya bobot bahasa dunia
tidak mampu menampung bobot makna sebagaimana adanya. Domain hakiki al-Qur'an
ada di alam hudhuri (alam kehadiran) yang sangat tinggi, yaitu alam tanpa
bahasa; sedangkan domain kita (manusia) ada di alam yang sangat terikat bahasa.
Untuk itu, al-Qur'an 'harus' mengejawantah dalam bentuk tamtsil paling sederhana yang sesuai bahasa manusia agar kita dapat memahaminya. Dari sini kemudian al-Qur'an diyakini tidak hanya suci pada maknanya tetapi juga lafadznya. Bahasa tamtsil akan mengaktifkan daya khiyal dan apa yang diperoleh daya khiyal dapat disempurnakan menjadi daya aqli dan seterusnya hingga daya syuhudi. Ini yang disebut filosof muslim sebagai korespondensi alam, bahwa kebenaran sesuatu dapat bernilai berbeda sesuai tingkatan alamnya.
Untuk itu, al-Qur'an 'harus' mengejawantah dalam bentuk tamtsil paling sederhana yang sesuai bahasa manusia agar kita dapat memahaminya. Dari sini kemudian al-Qur'an diyakini tidak hanya suci pada maknanya tetapi juga lafadznya. Bahasa tamtsil akan mengaktifkan daya khiyal dan apa yang diperoleh daya khiyal dapat disempurnakan menjadi daya aqli dan seterusnya hingga daya syuhudi. Ini yang disebut filosof muslim sebagai korespondensi alam, bahwa kebenaran sesuatu dapat bernilai berbeda sesuai tingkatan alamnya.
Jadi upaya
RG meredifinisi makna fiksi sebagai energi positif untuk mengaktifkan daya
khiyal/imajinasi pada satu aspek patut diapresiasi, tapi mengatribusi makna itu
dengan menyebut kitab suci fiksi hanya karena sebagian proposisinya bisa
mengaktifkan daya imajinasi adalah keliru besar.
Dan cukup
mengherankan, apa pentingnya mencoba mendefinisikan ulang fiksi sebagai energi
untuk mengaktifkan imajinasi, padahal itu tidak lebih dari upaya memberi
legitimasi pada pernyataan tokoh politik yang bersandar pada sebuah karya fiksi
yang menyatakan bahwa "Indonesia bubar 2030", bukankah lebih baik
bicara yang demikian harus dengan data, ketimbang harus memaksa menghidupkan
daya imajinasi bahwa "Indonesia bubar 2030", kalau bicara data kan
lebih asyik diskusinya. Bukan begitu?
Penulis
adalah pegiat filsafat Islam pecinta kopi hitam
0 Komentar