Gara-Gara "Indonesia Bubar 2030", Kitab Suci "Dituduh" Fiksi

Oleh: Deni Gunawan

Cepat sekali topik pembicaraan bangsa ini berubah, tak sampai sebulan, setelah polemik Sukmawati atas puisinya yang dianggap mencederai hati umat Islam. Kini belum juga itu usai, netizen di media sosial telah ribut kembali atas pernyataan Rocki Gerung (RG) di Indonesia Lawyers Club, TV One, yang menyatakan bahwa kitab Suci itu fiksi.

Setali tiga uang, pernyataan itu pun mendapat kritikan berbagai pihak dari kalangan agamawan, utamanya umat Islam. Mereka menganggap bahwa RG ngawur dalam mengatribusi kitab suci sebagai fiksi, meski RG sendiri memberikan klarifikasinya mengenai apa yang dimaksud fiksi itu.

Ia menjelaskan bahwa fiksi yang sering diartikan fiktif adalah kesalahan yang sering dilakukan oleh banyak orang. Bagi RG, fiksi adalah kata benda yaitu literatur yang selalu mengandung pengertian literi. Baginya fiksi adalah sesuatu yang bagus, tetapi karena diungkapkan dalam ruang politik maka ia sering bermakna buruk. Selain itu, menurutnya fiksi adalah energi untuk mengaktifkan imajinasi, dan ini diklaim sebagai fungsi dari fiksi itu sendiri.

Di sisi lain RG juga melawankan fiksi dengan realitas bukan fakta. Dengan alasan demikian ia mengatakan bahwa Kitab suci adalah fiksi tetapi tidak fiktif. Karena fiksi lawannya adalah realitas, maka konsekuensinya adalah kitab suci bukan realitas. Bagi RG kitab suci itu fiksi yang baik karena dapat menghidupkan daya imajinasi seorang. Dan karena fiksi memiliki fungsi mengaktifkan imajinasi maka kitab suci itu fiksi.

Ilustrasi Buku. Foto: www.maxmanroe.com
Bagi penulis, kitab suci tidak hanya teks, ia adalah sumber hukum dan moral bagi kaum beragama (Islam). Al-Qur'an misalnya, ia tidak hanya berbicara soal hukum, di dalamnya juga ada soal moral, soal muamalat (pergaulan), sejarah, prediksi masa depan, kecaman, pujian dll. Al-Qur'an tidak bisa disebut fiksi jika merujuk arti dalam KBBI yang salah satu artinya adalah khayalan, rekaan atau pernyataan yang berasal dari rekaan pikiran.

Sebagian pembicaraan/proposisi dalam al-Quran memang dapat mengaktifkan daya imajinasi seseorang dan saya sependapat pada RG jika sebagian proposisi al-Qur'an itu dapat menyempurnakan daya khiyal/imajinasi seseorang serta memberikan gambaran terkait masa depan baik di dunia maupun akhirat (eskatologi).  Tapi menyebut kitab suci adalah fiksi sangatlah keliru sedangkan kitab suci bukan rekaan apalagi khayalan.

Sesuatu yang sifatnya rekaan jika dituangkan dalam bemtuk teks misalnya novel, juga dapat menjadi energi untuk mengaktifkan daya imajinasi. Tentu novel dan kitab suci (dalam konteks ini al-Quran) memiliki domain yang berbeda meski sama-sama bisa mengaktifkan daya imajinasi bagi pembacanya.

Sementara itu, diskusi yang penulis lakukan dengan sahabat penulis, dalam bahasa yang lebih filosofis, umat Islam meyakini bahwa sumber epistemologi al-Qur'an bukanlah daya imajinasi (quwwah khiyaliyah), tapi instrumen khusus yang disebut sebagai wahyu (ilmu hudhuri di level tertinggi). Karena itu, bagaimanapun fiksi, ia berkonotasi khayalan dan rekaan dan dibolak balik bagaimanapun kata fiksi, ia memiliki bobot makna yang tidak sesuai dengan basis epistemologi wahyu.

Karenanya, klaim RG bahwa politik telah merusak makna fiksi (mengaktifkan daya khiyal seorang) adalah juga tidak tepat, bahkan menyesatkan, sebab fiksi memang diletakkan dalam makna demikian (khayalan, rekaan) dalam kesusasteraan bahasa kita.

Benar bahwa sebagian proposisi al-Qur'an itu memang merupakan tamtsil/analogi. Sebab, domain bahasa al-Qur'an berbeda dengan domain bahasa sehari-sehari, maksudnya bahasa al-Quran berasal dari alam tanpa bahasa. Karenanya bobot bahasa dunia tidak mampu menampung bobot makna sebagaimana adanya. Domain hakiki al-Qur'an ada di alam hudhuri (alam kehadiran) yang sangat tinggi, yaitu alam tanpa bahasa; sedangkan domain kita (manusia) ada di alam yang sangat terikat bahasa.

Untuk itu, al-Qur'an 'harus' mengejawantah dalam bentuk tamtsil paling sederhana yang sesuai bahasa manusia agar kita dapat memahaminya. Dari sini kemudian al-Qur'an diyakini tidak hanya suci pada maknanya tetapi juga lafadznya. Bahasa tamtsil akan mengaktifkan daya khiyal dan apa yang diperoleh daya khiyal dapat disempurnakan menjadi daya aqli dan seterusnya hingga daya syuhudi. Ini yang disebut filosof muslim sebagai korespondensi alam, bahwa kebenaran sesuatu dapat bernilai berbeda sesuai tingkatan alamnya.

Jadi upaya RG meredifinisi makna fiksi sebagai energi positif untuk mengaktifkan daya khiyal/imajinasi pada satu aspek patut diapresiasi, tapi mengatribusi makna itu dengan menyebut kitab suci fiksi hanya karena sebagian proposisinya bisa mengaktifkan daya imajinasi adalah keliru besar.

Dan cukup mengherankan, apa pentingnya mencoba mendefinisikan ulang fiksi sebagai energi untuk mengaktifkan imajinasi, padahal itu tidak lebih dari upaya memberi legitimasi pada pernyataan tokoh politik yang bersandar pada sebuah karya fiksi yang menyatakan bahwa "Indonesia bubar 2030", bukankah lebih baik bicara yang demikian harus dengan data, ketimbang harus memaksa menghidupkan daya imajinasi bahwa "Indonesia bubar 2030", kalau bicara data kan lebih asyik diskusinya. Bukan begitu?

Penulis adalah pegiat filsafat Islam pecinta kopi hitam

Posting Komentar

0 Komentar