Seorang wanita memang memiliki keterspesialan tersendiri
sebagai sosok mahluk dari jenis manusia. Sosok yang penuh kasih sayang dan
memiliki satu ketulusan dan kesetiaan yang utuh dalam cinta. Tak ada sosok yang
memiliki keunggulan seperti ini. Salah satu contohnya adalah melahirkan, ya,
melahirkan memang hanya milik seorang wanita.
Dalam melahirkan wanita diperhadapkan pada satu situasi
yang krusial antara batas hidup dan kematian. Tapi herannya, wanita yang
mengandung tak pernah takut menghadapi situasi yang mematikan itu. Tak ada kata
mundur apalagi mengeluh, semua akan dijalani dan dilewati dengan sepenuh hati
untuk kelahiran si buah hati meski secara sadar mereka tahu bahwa resikonya
adalah kematian.
![]() |
| Ilustrasi Seorang Ibu. Foto: islampos.com |
Lalu pertanyaannya, cinta manusia mana lagi yang sebesar
ini? Cinta mana lagi yang setulus dan seberani ini? Jawabannya tentu sederhana,
hanya cintanya, cinta seorang Ibu. Seorang ibu memiliki kedudukan yang
benar-benar tinggi, khususnya dalam agama Islam, sosok seorang wanita yakni Ibu
ditempatkan pada posisi yang sangat tinggi dan terhormat.
Suatu ketika dalam sebuah cerita digambarkan bahwa ketika
seorang bertanya kepada Nabi, siapakah orang yang paling pantas dihormati di
dunia setelah menghormatinya, jawaban nabi tegas adalah Ibu, pertanyaan ini
diulang sebanyak tiga kali dan tiga kali itupun jawaban nabi tak bergeming,
tetap Ibu, baru kemudian ayah.
Dalam konteks ini, dapat dilihat bagaimana sosok Ibu di mata nabi dan Islam berada
pada strata tertinggi kedua setelah penghormatan kepada Nabi. Tentu kita pernah
mendengar sebuah ungkapan yang sering di sampaikan dalam tausiah atau mimbar-mimbar
jum’at bahwa tidak ada kirdhoan Tuhan pada manusia manapun selama orang tuanya
belum ridho pada dirinya. Ini menandakan bahwa betapa orang tua terlebih Ibu
haruslah benar-benar dihormati bukan hanya dihormati bahkan harus diikuti dan
ditaati selama tidak mengajak kepada kemusyrikan.
Bahkan indahnya ketika al-Qur’an mengajarkan suatu tata
cara bergaul dengan orang tua kandung yang musryik sekalipun. Al-Qur’an
menekankan agar seorang manusia selalu menghormatinya dan tidak menyakitinya. Jika mereka mengajak dengan kemusyikan sekalipun maka kitapun
dituntun untuk menolaknya secara bijak dan halus.
Inilah pesan dalam al-Qur’an, betapa penghormatan pada
orang tua haruslah total dan menjadi prioritas bagi seorang anak. “Dan
Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah
seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah
kepada mereka perkataan yang mulia” (QS. Al-Israa: 23).
Kembali pada masalah sosok seorang Ibu, memang wajar bila
ibu menempati posisi yang sangat tinggi dalam agama Islam maupun dalam
pandangan nabi. Betapa tidak, manusia inilah yang rela “menggadai” nyawa untuk
sebuah kelahiran manusia. Tak ada cerita nyata tentang pengorbanan cinta yang
sesungguhnya yang terjadi di dunia ini yang begitu tulus dan ikhlas kecuali
yang diperaktekkan oleh sosok Ibu.
Ibu yang melahirkan, tak cukup melahirkan, sebelumnya ia
harus merelakan kenikmatan hidupnya selama sembilan bulan dalam ketidak
nyenyakan tidur, ketidak nyenyakan makan, bahkan tak nyenyak segala, tapi Ibu tetap mengandung dengan penuh cinta dan kasih.
Tak selesai sampai di situ, setelah melahirkan ia masih
menyusui selama dua tahun, ia memberikan kehidupan pada setiap bayi mungilnya yang
saat ini telah menjadi kita yang dewasa dan mungkin lupa dengan kisah yang ada pada
wanita yang kita sebut Ibu itu.
Tapi begitu, Tuhan tidak lupa, Ia merekam kisah heroik
seorang Ibu itu pada sebuah ayat dalam al-Qur’an, yang tentunya tujuannya
untuk kita renungkan secara mendalam dan tidak pernah lupa akan sejarah kenapa
kita bisa sampai seperti ini, ini tak lepas dari perjuangan seorang Ibu.
Perhatikanlah, “Dialah
Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan
isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya,
isterinya itu mengandung kandungan
yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala
dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya
seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh,
tentulah kami terraasuk orang-orang yang bersyukur"(QS. Al-A’raaf: 189).
Perempuan memang lebih banyak berkorban dari laki-laki,
secara kodrati memang perempuanlah yang mengandung. Karena itu pula perempuan yang lebih banyak berkorban
segalanya kepada kehidupan ketimbang laki-laki.
Hal ini dapat dilihat pada siklus kehidupan yang perempuan laksanakan
mulai dari mengandung, melahirkan, menyusui, dan membesarkan. Begitu berat dan
besar pengabdian dan pengorbanan wanita inilah kemudian masuk akal kenapa sosok
wanita dalam hal ini Ibu menjadi penting dan sangat tinggi setelah sosok Nabi.
![]() |
| Ilustrasi Seorang Ibu Menggendong Anaknya. Foto: najipalimunajat.com |
Namun sayangnya kenyataan ini berbanding terbalik dengan
apa yang terjadi pada situasi sosial masyarakat saat ini, perempuan atau Ibu
sering kali hanya menjadi produk pelengkap dalam suatu lingkup kehidupan baik
keluarga, masyarakat, atau negara bahkan lingkup dunia sekalipun. Wanita sering
dianggap faktor sekunder yang menentukan, bukan primer.
Wanita selalu menjadi korban kekerasan di segala aspek, KDRT,
serta menjadi buruh-buruh migran dengan upah yang sangat kecil. Atau sederhana
sajalah kita berkaca pada diri sendiri, bagaimana seorang anak lebih keras dan berani
membangkang pada Ibunya, ia tak segan membentak, melawan, bahkan di media tak
jarang kita mendengar seorang anak membunuh Ibunya.
Kenyataan apa ini? Situasi seperti apa yang kita jalani sekarang ini? Itulah yang kita hadapi, bahkan mungkin terjadi pada diri
kita yang terkadang sering melawan Ibu dengan “gagahnya” seakan lupa bahwa kita
pernah dilahirkan dengan “barter” nyawa.
Seorang
anak lebih berani melawan dan
membentak Ibu dibanding ayah meski membentak ayahpun dilarang keras dalam
agama. Kita bak “koboi” di depan ibu, dan bermental tahu (lembek) di
depan orang yang tak pernah berkorban “nyawa” pada kita.
Dalam situasi masyarakat patriarki atau masyarakat yang
meletakkan laki-laki pada strata tertinggi dari wanita terkadang memang
menempatkan wanita pada posisi terjajah. Padahal Islam memandang semua manusia
sama baik laki-laki dan perempuan dan tidak ada perbedaan di antara keduanya kecuali ketakwaan.
Di sisi lain juga Islam menganggap bahwa antara laki-laki
dan perempuan tak ada bedanya, keduanya dari sumber yang sama dan satu “dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu...” ,
kecuali pada aspek kodrati yang memang tak boleh ditukar antara laki-laki dan
perempuan seperti; mengandung, melahirkan, dan menyusui.
Tapi karena kebodohan dalam memaknai, sebagian orang
sering menempatkan wanita terbalik dengan laki-laki, pada akhirnya laki-laki
tiga poin dan perempuan satu poin, padahal nabi mengatakan bahwa perempuanlah
yang memiliki tiga poin untuk dihormati dan satu poin pada laki-laki.
Sekali lagi dalam budaya patriarki terkadang wanita lebih memiliki pekerjaan dalam rumah
tangga itu mirip seperti “babu” atau pembantu. Pembagian pekerjaan atau beban
rumah tangga terkadang tak adil dan berat sebelah bagi wanita ketimbang
laki-laki.
Dalam bahasa sansekerta sendiri seorang Ibu memiliki
bahasanya tersendiri yang memiliki makna filosofisnya tersendiri yang justru
menempatkan wanita pada posisi yang tinggi. Ibu, khususnya dalam rumah tangga
dalam bahasa sansekerta disebutnya sebagai ‘gruhini’ yang secara harfiah
artinya adalah ‘pemimpin di rumah’.
Ini tentunya menunjukkan pada kita bahwa wanita adalah
sosok primer dan pokok dalam rumah tangga dan tidak tidak ada indikasi yang
menunjukkan bahwa wanita adalah kaum lemah, akan tetapi kenyataannya wanita
pada aspek bahasa sansekerta tersebut (gruhini) mencerminkan pada pembagian
tanggung jawab antara pria dan wanita.
Sekali lagi mari berkaca pada diri sendiri, betapa anehnya kita yang justru lebih sering membentak
dan melawan hingga tetesan demi tetesan air mata jatuh dari pipinya yang menua.
Padahal dialah yang berkorban nyawa untuk kehidupan kita. Aneh, tapi kita tetap
melakukannya dengan nikmat dan bahkan dengan egoisnya tanpa pernah merasa
bersalah.
Jika dilihat kisah cinta sejati seperti Romeo dan Juliet
atau tentang Layla dan Majnun, nampaknya ini kisah hanyalah dalam bungkus
cerita, kalaupun ada tak sehebat kisah cinta Ibu pada anaknya, dimulai dari
saat mengandung, melahirkan, menyusui
hingga merawat. Tentu ini cinta hanya ada pada diri seorang Ibu, cinta sejati
berjamin nyawa.
Melahirkan bukanlah persoalan yang mudah, itu proses yang
menakutkan yang menguras energi baik dari dalam dan luar diri seorang Ibu. Seseorang
yang tidak akan pernah atau belum merasakan itu semua tidak akan pernah tahu
makna cinta yang dimilikinya, hingga mungkin ia merasakan hal yang sama dengan itu, baru
kemudian pertanyaan kenapa ia mau melahirkan seorang manusia dengan resiko
kehilangan nyawa tetap dengan senyum dan penuh cinta, dapat terjawab.
Sama halnya dengan orang yang menceritakan tentang
manisnya gula akan berbeda rasanya ketika yang menceritakan manisnya gula adalah mereka yang
pernah mencicipi gula dengan mereka yang tidak pernah mencicipinya sama sekali.
Itulah mungkin yang terjadi pada seorang Ibu pada anaknya.
“Ya Allah ampunilah kedua orang tua kami dan sayangilah
kedua-duanya sebagaimana mereka menyayangi kami sebagaimana saat kami kecil
dahulu”



0 Komentar