![]() |
| Jamaah makan bersama setelah acara |
Saat diskusi seputar mazhab, Ustad Amir mengaku dirinya
dan mayoritas muslim di Kamboja menganut ajaran ahlussunnah wal jama’ah,
khususnya mazhab Syafi’iyah. Sebagaimana dugaan saya sejak awal ketika tiba
masjid untuk menunaikan shalat Jumat, banyak jamaah asli Kamboja yang
menggunakan sarung, seperti kebiasaan muslim di Indonesia.
Mazhab Syafi’iyah di Kamboja nampaknya terpengaruh oleh
masuknya Islam dari kawasan Champa (Vietnam Selatan). Mirip sekali dengan kisah
Raden Rahmat Sunan Ampel, salah satu anggota Wali Songo yang datang dari Champa
untuk dakwah Islam di Pulau Jawa pada abad ke-15.
Kebetulan pada Jumat itu (17/11/2017), saya melihat pemandangan
yang unik dan menggiurkan. Sebab selesai berjamaah shalat Jum’at dan berdoa, jamaah
yang nampak dari berbagai etnis duduk berbaris dan saling berhadapan. Ternyata
mereka sedang menunggu jamuan makan yang akan disajikan oleh pengurus masjid.
Saya dan dua teman lainnya tentu tidak mau ketinggalan ikut menikmati jamuan
tersebut, apalagi kami jarang-jarang sekali bisa makan daging karena sulitnya
menemukan hidangan halal di warung makan di sekitar tempat kami tinggal.
Ternyata dua kuali besar berisi nasi dan gulai kambing yang
di samping saya ketika shalat Jumat itu
dibagi rata ke dalam puluhan nampan yang terbuat dari semacam seng. Setiap
nampan yang berisi juga potongan terong dan sambal acar itu bisa dimakan oleh
4-5 orang. Tentu sangat cocok dengan lidah saya sebagai orang Jawa yang suka makanan
pedas dengan bumbu gulai yang rasanya pas di lidah.
Saya baru sadar setelah jamuan makan bersama selesai, ternyata
jamuan tadi merupakan jamuan untuk tolak bala' (malapetaka). Ustad Amir menjelaskan
bahwa tradisi tersebut sudah turun temurun diadakan semenjak ia kecil. Namun,
biasanya mereka menyediakan hidangan berupa buah-buahan sebagai jamuan yang
dimakan bersama untuk tolak bala'.
Dalam keyakinan muslim Kamboja, Allah menurukan banyak bala'
di bulan Shafar terutama di hari-hari akhir bulan kedua hijriyah itu. Maka
tidak heran sampai sekarang mereka masih memegang teguh warisan leluhurnya.
Seketika setelah mendengarkan penjelasan tersebut saya lantas ikut menambahkan
kepada sang ustad bahwa muslim Indonesia juga menjalankan tradisi seperti itu, hanya
saja sering digelar melalui doa dan Yasinan bersama pada hari Rabu terakhir di
bulan Safar, atau lazim disebut “Rabu Wekasan”.
Selain untuk ibadah shalat, masjid ini juga rutin digelar tradisi-tradisi
seperti pembacaan surat Yasin setiap habis shalat Subuh, tiap malam jum'at juga
ada pembacaan yasinan bersama sambil disuguhi jamuan makanan, perayaan Maulid
Nabi Muhammad, dan lain-lain.
Adapun ajaran dan tradisi keilmuan keislaman di Kamboja
kebanyakan berasal dari kawasan Pattani, Thailand. Ustad Amir menyebut kitab fikih
yang populer dikaji oleh muslim Kamboja di antaranya kitab Kasyful Hisyam,
Sabiluh Muhtadin, semuanya juga dari ulama Pattani. Saya pun jadi teringat
kitabnya Syekh Arsyad Al-Banjari yang juga menyusun Kitab Sabilul Muhtadin.
Namun saya tidak bisa memastikan apakah Sabiluh Muhtadin yang disebut itu kitab
susunan Syekh Arsyad atau bukan.
Di samping itu, Ustad Amir mengungkapkan beberapa tahun
silam, khutbah Jum’at di Masjid Al-Jamee’ menggunakan dua bahasa, melayu dan
Khmer (bahasa lokal Kamboja). Namun akhir-akhir ini ia hanya menggunakan bahasa
Khmer sebab jamaah dari Malaysia dan Indonesia tidak sebanyak dahulu.
Hal menarik lainnya, Al-Qur’an yang tersedia di rak-rak masjid
tersebut beberapa terjemahannya berbahasa melayu dan Inggris, sebab mereka
belum memiliki Al-Qur’an yang terjemahannya berbahasa Khmer. (M. Zidni Nafi')
Tulisan ini juga pernah dimuat di NU Online
Tulisan ini juga pernah dimuat di NU Online


0 Komentar