Jejak Islam di Kamboja (3): Keberadaan Pesantren Qur’an di Tengah Ibu Kota Mayoritas Buddha

ISLAMNET.ID, Phnom Penh-Hampir dua tahun ini, Ustad Amir mendirikan pesantren Al-Qur’an yang bernama Jami’ul Muslimin. Imam Masjid Al-Jamee’ Al-Islami itu dibantu oleh Nashirin Syamsuddin, yakni pemuda yang pernah mondok selama 5 tahun di pesantren Sabilul Mukhlasin Magelang, pada 2009 hingga 2014 lalu.

Berbeda dengan di Indonesia, istilah pondok pesantren di Kamboja lebih dikenal dengan sebutan “madrasah”. Adapun istilah santri dalam bahasa Khmer (bahasa lokal Kamboja) dinamakan "Konsah", sedangkan untuk istilah kiai atau ustad disebut sebagai "tun" atau "kru", namun istilah kru maknanya lebih luas, seperti guru-guru di sekolah umum.

Ustad Amir sedang menceritakan sejarah pesantren

Pesantren Jami'ul Muslimin didirikan sebagai tempat untuk fokus menghafalkan Al-Qur'an. Tujuan pendirian pesantren ini untuk ‘menghidupkan’ lingkungan tengah kota Phnom Penh yang masyarakatnya mayoritas beragama Buddha. Santri-santri di pesantren ini hanya berjumlah 20 orang dimana rata-rata berusia di bawah 17 tahun. Mereka semua berasal dari berbagai daerah di Kamboja.

Nashirin mengatakan dengan bahasa Melayu yang lumayan fasih, rencananya kelak setelah khatam hafal Al-Qur’an, santri-santri remaja didikannya itu akan dikirim ke berbagai daerah Kamboja untuk menjadi ustad. Sebenarnya banyak muslim Kamboja yang mencari lembaga pendidikan Islam semacam pesantren. Hanya saja akses serta jumlah pesantren di sana memang masih sedikit.

Selain itu, Nashirin yang juga sebagai pembina pesantren Jami'ul Muslimin itu mengaku berani menerima 100 santri, namun masalahnya tempat sekarang digunakan tidak mendukung. Disamping itu  tempat tinggal santri juga saat ini masih dalam kompleks masjid. Untuk kegiatan santri selain menghafal Al-Qur'an, mereka juga mendapatkan jadwal untuk menjadi imam shalat Hajat, bersih lingkungan masjid, dan sebagainya. Beberapa santri ada mempunyai kebiasaan berpuasa sunnah Senin dan Kamis.

Perkembangan Hubungan Keagamaan

Dalam topik lain, Ustad Amir menambahkan bahwa sekitar sepuluh tahun ini sudah masuk paham Wahabi di kalangan muslim Kamboja, namun jumlah mereka tidak banyak serta tidak berani melakukan hal-hal yang tidak diinginkan oleh mayoritas muslim Kamboja yang mayoritas bermazhab Syafi'iyah. Situasinya mungkin tak separah paham Wahabi di Indonesia yang sering kali meresahkan masyarakat muslim yang gemar menjalankan tradisi serta ajaran ulama Aswaja dan Wali Songo.

Saya sendiri sebenarnya penasaran tentang keberadaan makam ulama atau wali yang ada di kawasan ibu kota Phnom Penh Kamboja, namun Ustad Amir tidak mengetahui secara pasti hal yang saya tanyakan itu. Ia hanya menceritakan bahwa dahulu pernah hidup seorang alim yang bernama Haji Muhammad Kacik Shagid. Tokoh ini dikenal sebagai ulama yang bisa mengetahui arti kicauan-kicauan burung.

Dikisahkan dahulu burung-burung biasanya memberikan informasi tertentu yang hendak disampaikan ke penduduk, dan hanya Haji Muhammad Kacik Shagid yang bisa memahami  kicauan burung. Sayangnya, ulama ini tersebut termasuk di antaranya ulama yang dibunuh oleh rezim Pol Pot. Sayangnya lagi, sosok yang punya karomah tersebut makamnya tidak ditemukan sampai sekarang.

Lebih jauh, dalam pandangan ustad Amir hubungan muslim dengan umat Buddha di Kamboja sampai hari ini tetap terjalin dengan baik. Semenjak berakhir perang saudara yang dahulu pernah terjadi di Kamboja sebab kudeta yang terjadi beberap kali, hingga saat ini tidak ada pergesekan atau konflik antara kedua agama tersebut. Apalagi Perdana Menteri Kamboja Han Sen juga membebaskan muslim Kamboja untuk mendirikan masjid dan melaksanakan kegiatan keislaman, termasuk juga sekarang membolehkan anak perempuan memakai jilbab ke sekolah.

Dalam kesempatan selanjutnya, saya hendak mengunjungi kawasan KM. 7, Chrang Chromres, Phnom Penh, dimana kawasan mayoritas tersebut dihuni oleh muslim. Sebagaimana informasi dari dari Ustad Amir, banyak jejak Islam dan aktivitas muslim Kamboja yang bisa digali lebih banyak di kawasan tersebut. (M. Zidni Nafi’)

Tulisan ini juga pernah dimuat di NU Online

Posting Komentar

0 Komentar