Berbeda dengan di Indonesia, istilah pondok pesantren di
Kamboja lebih dikenal dengan sebutan “madrasah”. Adapun istilah santri dalam
bahasa Khmer (bahasa lokal Kamboja) dinamakan "Konsah", sedangkan untuk
istilah kiai atau ustad disebut sebagai "tun" atau "kru", namun
istilah kru maknanya lebih luas, seperti guru-guru di sekolah umum.
![]() |
Ustad Amir sedang menceritakan sejarah pesantren |
Pesantren Jami'ul Muslimin didirikan sebagai tempat untuk fokus
menghafalkan Al-Qur'an. Tujuan pendirian pesantren ini untuk ‘menghidupkan’
lingkungan tengah kota Phnom Penh yang masyarakatnya mayoritas beragama Buddha.
Santri-santri di pesantren ini hanya berjumlah 20 orang dimana rata-rata berusia
di bawah 17 tahun. Mereka semua berasal dari berbagai daerah di Kamboja.
Nashirin mengatakan dengan bahasa Melayu yang lumayan
fasih, rencananya kelak setelah khatam hafal Al-Qur’an, santri-santri remaja
didikannya itu akan dikirim ke berbagai daerah Kamboja untuk menjadi ustad.
Sebenarnya banyak muslim Kamboja yang mencari lembaga pendidikan Islam semacam
pesantren. Hanya saja akses serta jumlah pesantren di sana memang masih
sedikit.
Selain itu, Nashirin yang juga sebagai pembina pesantren
Jami'ul Muslimin itu mengaku berani menerima 100 santri, namun masalahnya
tempat sekarang digunakan tidak mendukung. Disamping itu tempat tinggal santri juga saat ini masih
dalam kompleks masjid. Untuk kegiatan santri selain menghafal Al-Qur'an, mereka
juga mendapatkan jadwal untuk menjadi imam shalat Hajat, bersih lingkungan
masjid, dan sebagainya. Beberapa santri ada mempunyai kebiasaan berpuasa sunnah
Senin dan Kamis.
Perkembangan Hubungan Keagamaan
Dalam topik lain, Ustad Amir menambahkan bahwa sekitar sepuluh
tahun ini sudah masuk paham Wahabi di kalangan muslim Kamboja, namun jumlah mereka
tidak banyak serta tidak berani melakukan hal-hal yang tidak diinginkan oleh
mayoritas muslim Kamboja yang mayoritas bermazhab Syafi'iyah. Situasinya
mungkin tak separah paham Wahabi di Indonesia yang sering kali meresahkan
masyarakat muslim yang gemar menjalankan tradisi serta ajaran ulama Aswaja dan
Wali Songo.
Saya sendiri sebenarnya penasaran tentang keberadaan makam
ulama atau wali yang ada di kawasan ibu kota Phnom Penh Kamboja, namun Ustad
Amir tidak mengetahui secara pasti hal yang saya tanyakan itu. Ia hanya
menceritakan bahwa dahulu pernah hidup seorang alim yang bernama Haji Muhammad
Kacik Shagid. Tokoh ini dikenal sebagai ulama yang bisa mengetahui arti kicauan-kicauan
burung.
Dikisahkan dahulu burung-burung biasanya memberikan
informasi tertentu yang hendak disampaikan ke penduduk, dan hanya Haji Muhammad
Kacik Shagid yang bisa memahami kicauan
burung. Sayangnya, ulama ini tersebut termasuk di antaranya ulama yang dibunuh
oleh rezim Pol Pot. Sayangnya lagi, sosok yang punya karomah tersebut makamnya tidak
ditemukan sampai sekarang.
Lebih jauh, dalam pandangan ustad Amir hubungan muslim
dengan umat Buddha di Kamboja sampai hari ini tetap terjalin dengan baik. Semenjak
berakhir perang saudara yang dahulu pernah terjadi di Kamboja sebab kudeta yang
terjadi beberap kali, hingga saat ini tidak ada pergesekan atau konflik antara
kedua agama tersebut. Apalagi Perdana Menteri Kamboja Han Sen juga membebaskan
muslim Kamboja untuk mendirikan masjid dan melaksanakan kegiatan keislaman,
termasuk juga sekarang membolehkan anak perempuan memakai jilbab ke sekolah.
Dalam kesempatan selanjutnya, saya hendak mengunjungi
kawasan KM. 7, Chrang Chromres, Phnom Penh, dimana kawasan mayoritas tersebut
dihuni oleh muslim. Sebagaimana informasi dari dari Ustad Amir, banyak jejak
Islam dan aktivitas muslim Kamboja yang bisa digali lebih banyak di kawasan
tersebut. (M. Zidni Nafi’)
Tulisan ini juga pernah dimuat di NU Online
Tulisan ini juga pernah dimuat di NU Online
0 Komentar