Komitmen Hijrah dan Nyinyiran Orang-Orang


Apaan sih kamu pakai hijrah-hijrah segala? Wah ada angin apa sekarang kok pakai hijab? Kenapa kamu sekarang ribet amat pakai hijab lebar-lebar? Mengapa kamu sekarang jadi beruah aneh gitu gunain cadar? Kemana aja kok kayak sibuk banget sekarang nggak mau nongkrong malem-malem?

Demikian contoh nyinyiran dari sebagian kecil masyarakat kepada beberapa orang yang memantapkan dirinya untuk menapaki jalan hijrah. Mengapa ada orang yang tidak suka melihat saudara sesama muslim berhijrah? Padahal kami memilih hijrah merupakan ikhtiar menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya. 

Ilustrasi. Foto: wajibbaca.com
Ada beberapa indikasi mengapa seseorang tega dan tidak tahu malu untuk mencibir, nyinyir, sentimen, dan sebagainya. Maklum, bisa saja karena mereka sudah berislam dengan benar sehingga memandang sebelah mata kepada kami yang masih beginner level ini. Bisa juga karena memang tidak suka cara kami untuk ikut menjadi bagian dari muslim-muslimah yang baik seperti mereka.

Bukan bermaksud su’uddhan, namun kita hanya ingin menegaskan bahwa berhijrah tidaklah main-main, apalagi musiman mengikuti tren kekinian. Seharusnya, tren hijrah disambut baik oleh masyarakat luas. Sebab, ini tren yang baik, bukan tren-tren gaya hidup negatif atau mengikuti suatu ajaran sesat.


Komitmen Harga Mati


Setiap orang pasti punya komitmen dalam memilih jalan hidupnya masing-masing. Kita berhijrah pun punya komitmen yang harus dipegang erat sebagai bukti bahwa kita benar-benar ingin mengharapkan ridha Allah Swt. Setidaknya, ada 3 (tiga) komitmen yang mesti diketahui orang-orang yang selama ini suka menyinyir kami:

Pertama, Naluri Berbuat Baik. Sejahat apapun orang pasti dalam dirinya mempunyai naluri kebaikan. Kendati ada orang banyak berbuat dosa dengan berbagai macam kejahatan, namun pasti dia punya sisi kebaikan. Tidak seperti binatang yang tak punya akal sehingga mereka hanya mengedepankan nafsu dan insting. Oleh sebab itu, wajar saja ketika ada manusia yang punya sisi kebaikan dan keburukan. 

Jika setiap orang ditanya apakah ingin berbuat baik dan menjadi orang baik juga? Pasti dari lubuk hati yang paling dalam ia akan menjawab “ya”. Sudah dari sananya, manusia diciptakan sebagai makhlum yang sempurna. Sehingga apabila seseorang terjerumus dalam zona jahat, ia punya potensi untuk kembali kepada zona baik. Sebagaimana firman Allah Swt.:

لَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (Q.S. At-Tin: 4)

Kedua, Kembali Fitrah Manusia. Naluri kebaikan manusia tidak lepas dari jati dirinya lahir sebagai makhluk yang suci tanpa dosa. Lalu mengapa kita sebagai manusia bisa berbeda agamanya, sifatnya, dan perbuatannya? Rasulullah pernah bersabda:

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَثَلِ الْبَهِيمَةِ تُنْتَجُ الْبَهِيمَةَ هَلْ تَرَى فِيهَا جَدْعَاءَ

“Setiap anak dilahiran dalam keadaan fitrah. Kemudian kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nashrani atau Majusi sebagaimana binatang ternak yang melahirkan binatang ternak dengan sempurna. Apakah kalian melihat ada cacat padanya?” (H.R. Bukhari)

Hadis di atas menjelaskan bahwa asal muasal manusia memang lahir dalam keadaan suci (fitrah). Bagaikan kertas putih, bisa kotor ketika dicoret-coret tinta atau pena. Begitu pula manusia, ia dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya; orang tua, keluarga, tetangga, teman, dan lain-lain.

Lantaran kita tahu jati diri kita bermula dari makhluk yang suci, maka alangkah baiknya kita hijrah menuju ke zona kesucian tersebut. Tanpa harus menunggu momen idul fitri, kita bisa setiap saat menjaga kesucian itu dari maksiat dan dosa-dosa. Itulah komitmen mengapa kita harus berhijrah.

Ketiga, Konsistensi dalam Kebaikan. Termasuk komitmen yang utama dari hijrah adalah konsistensi atau dalam bahasa Islamnya yakni istiqamah. Orang-orang yang nyinyir tadi nampaknya terlalu meragukan niat orang berhijrah. Padahal kami telah membulatkan tekad secara lahir dan batin untuk konsisten menempuh jalan kebaikan ini. 

Kami pun tidak takut dengan celaan, cibiran, apalagi hanya sekedar nyinyiran yang kurang penting. Seperti halnya firman Allah:

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ, أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.S. Al Ahqaf: 13-14).


Abaikan Nyinyiran



Meladeni nyinyiran orang-orang hanya menguras tenaga dan pikiran kita. Anggap saja itu sebagian ujian kecil yang harus dihadapi bagi sahabat-sahabat yang berhijrah. Atau jika memang tidak menghendaki demikian, maka boleh-boleh saja abaikan nyinyiran.

Yang penting sekarang adalah memegang teguh komitmen-komitmen sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya. Kita tidak perlu menghabiskan waktu menjawab tudingan yang tidak mendasar. Kita lakukan saja perintah dan larangan yang sudah digariskan Allah sebagaimana diajarakan oleh Rasulullah, sahabat dan para ulama. Semoga kita selalu dalam petunjuk-Nya.  (M. Zidni Nafi’)

Posting Komentar

0 Komentar