Mahbub dan Independensi PMII

Oleh: Deni Gunawan
Sewaktu saya masih jadi pengurus cabang PMII Jaksel. Isu apakah PMII harus kembali ke NU, samar-samar sering terdengar. Sampai benar-benar terdengar di telinga saya, saat diskusi di Sekretariat bersama sahabat-sahabat. Isu ini memang kadang-kadang muncul di kalangan kader-kader PMII. Sebagian saya lihat mendukung, sebagian lain menolak. Kedua-duanya punya pandangannya masing-masing. Tapi setelah itu, isu ini tidak terdengar lagi, bahkan sampai hari ini sejak saya tidak di struktur lagi.

Pernah suatu saat, seorang Kiai NU asal bekasi, yang saya akrab di FB dengannya. Beliau nyeletuk, “jaga PMII jangan sampai keluar dari NU, nanti tersesat”, katanya begitu di media sosial ke saya. Saya jawab, “nggeh Kiai, PMII tidak keluar dari NU, PMII hanya independensi dari NU”, saya jawab balik. “Iya soalnya, saya denger PMII mau keluar dari NU, bahaya itu, baiknya kembali ke NU saja”, jawabnya menegaskan.

Relasi NU dan PMII. Foto: Atya
Sebagian orang mungkin ada yang menganggap PMII adalah NU dengan segala ketotalannya. Sebagian lagi ada yang menganggap tidak. Sebagian yang lain tidak mahu tahu.

Relasi PMII dan NU memang sudah menjadi isu sejak dulu. PMII sendiri memang lahir dari rahim NU. Sebagaimana diketahui, PMII lahir dari rahim NU melalui anak-anak mudanya. Di antaranya dari Departemen Perguruan Tinggi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama, sebuah organisasi pelajar yang lahir pada 1954. Mau tidak mau, PMII adalah anak kandung NU. Meski begitu, seorang anak tidak mesti memiliki frame yang sama dalam berpikir dengan orang tuanya bukan? Mungkin inilah qiyas yang mudah untuk menggambarkan PMII dan NU.

Mahbub sendiri mendorong agar PMII secara organisasi independensi. Sebagai seorang ketua umum tiga periode (1960-1967), pemikiran Mahbub ini bagi PMII cukup berarti. Pada sebuah tulisan, Mahbub mengatakan, independensi (PMII, red.) itu merupakan bukti dinamisnya anak yang mestinya diterima sebagai bukti obyektif bahwa kendati PMII terpisah secara struktur, tetapi dia masih terikat dengan ajaran-ajaran Ahlussunah wal Jamaah. Pernyataan itu ia kemukakan pada buku Pemikiran PMII dalam Berbagai Visi dan Persepsi (penyusun, A. Effendy Choirie, Choirul Anam, ed) yang terbit pertama kali tahun 1991. Secara tersurat pernyataan itu ia alamat kepada kepada salah seorang pendiri PMII H. Cholid Mawardi yang pada tulisannya, di buku yang sama, meminta PMII kembali ke pangkuan NU.  (Sumber: NU Online)

Pemikiran independensi ini cukup penting bagi PMII dan NU. Secara garis besar Mahbub merelasikan PMII dan NU tidak sepenuhnya terkait. Sehingga PMII tidak secara mutlak “terpasung” dalam NU sebagai organisasi. Dengan demikian, sikap politik anak-anak PMII senantiasa hidup tanpa takut akan bayang-bayang NU dalam keorganisasiannya. Akan tetapi, meski begitu, PMII tidak sama sekali tidak NU. Pada satu titik, PMII adalah NU. Ini hanya bisa dibaca dalam konteks kultural bukan struktural. Bahwa benar dasar pemikiran PMII berasal dari Islam Ahlusunnah Waljamaah NU dan kultur ke-NU-an seantiasa di rawat oleh anak-anak PMII yang juga merupakan anak kandung NU. Akan tetapi secara politik dan pemikiran kenegaraan PMII memiliki tafsirannya sendiri yang tidak harus menunggu tafsiran bapaknya (NU). Independensi ini disebut sebagai relasi umum khusus min wajhin dalam ilmu mantiq. Pada sebagian lain PMII dan NU bertemu, pada sebagian yang lain mereka berpisah secara pemikiran dan keputusan.


Penulis adalah kader PMII Jakarta Selatan

Posting Komentar

0 Komentar