Sewaktu saya
masih jadi pengurus cabang PMII Jaksel. Isu apakah PMII harus kembali ke NU,
samar-samar sering terdengar. Sampai benar-benar terdengar di telinga saya,
saat diskusi di Sekretariat bersama sahabat-sahabat. Isu ini memang
kadang-kadang muncul di kalangan kader-kader PMII. Sebagian saya lihat
mendukung, sebagian lain menolak. Kedua-duanya punya pandangannya
masing-masing. Tapi setelah itu, isu ini tidak terdengar lagi, bahkan sampai
hari ini sejak saya tidak di struktur lagi.
Pernah suatu
saat, seorang Kiai NU asal bekasi, yang saya akrab di FB dengannya. Beliau
nyeletuk, “jaga PMII jangan sampai keluar dari NU, nanti tersesat”, katanya
begitu di media sosial ke saya. Saya jawab, “nggeh Kiai, PMII tidak keluar dari
NU, PMII hanya independensi dari NU”, saya jawab balik. “Iya soalnya, saya
denger PMII mau keluar dari NU, bahaya itu, baiknya kembali ke NU saja”,
jawabnya menegaskan.
![]() |
Relasi NU dan PMII. Foto: Atya |
Sebagian orang
mungkin ada yang menganggap PMII adalah NU dengan segala ketotalannya. Sebagian
lagi ada yang menganggap tidak. Sebagian yang lain tidak mahu tahu.
Relasi PMII
dan NU memang sudah menjadi isu sejak dulu. PMII sendiri memang lahir dari
rahim NU. Sebagaimana diketahui, PMII lahir dari rahim NU
melalui anak-anak mudanya. Di antaranya dari Departemen Perguruan Tinggi Ikatan
Pelajar Nahdlatul Ulama, sebuah organisasi pelajar yang lahir pada 1954. Mau
tidak mau, PMII adalah anak kandung NU. Meski begitu, seorang anak tidak mesti
memiliki frame yang sama dalam berpikir dengan orang tuanya bukan?
Mungkin inilah qiyas yang mudah untuk menggambarkan PMII dan NU.
Mahbub sendiri
mendorong agar PMII secara organisasi independensi. Sebagai seorang ketua umum tiga periode (1960-1967), pemikiran Mahbub ini bagi PMII cukup berarti. Pada
sebuah tulisan, Mahbub mengatakan, independensi (PMII, red.) itu
merupakan bukti dinamisnya anak yang mestinya diterima sebagai bukti obyektif
bahwa kendati PMII terpisah secara struktur, tetapi dia masih terikat dengan
ajaran-ajaran Ahlussunah wal Jamaah. Pernyataan itu ia kemukakan pada
buku Pemikiran PMII dalam Berbagai Visi dan Persepsi (penyusun,
A. Effendy Choirie, Choirul Anam, ed) yang terbit pertama kali tahun 1991.
Secara tersurat pernyataan itu ia alamat kepada kepada salah seorang pendiri
PMII H. Cholid Mawardi yang pada tulisannya, di buku yang sama, meminta PMII
kembali ke pangkuan NU. (Sumber: NU Online)
Pemikiran independensi ini cukup penting bagi PMII dan NU.
Secara garis besar Mahbub merelasikan PMII dan NU tidak sepenuhnya terkait.
Sehingga PMII tidak secara mutlak “terpasung” dalam NU sebagai organisasi.
Dengan demikian, sikap politik anak-anak PMII senantiasa hidup tanpa takut akan
bayang-bayang NU dalam keorganisasiannya. Akan tetapi, meski begitu, PMII tidak
sama sekali tidak NU. Pada satu titik, PMII adalah NU. Ini hanya bisa dibaca
dalam konteks kultural bukan struktural. Bahwa benar dasar pemikiran PMII
berasal dari Islam Ahlusunnah Waljamaah NU dan kultur ke-NU-an seantiasa di
rawat oleh anak-anak PMII yang juga merupakan anak kandung NU. Akan tetapi
secara politik dan pemikiran kenegaraan PMII memiliki tafsirannya sendiri yang
tidak harus menunggu tafsiran bapaknya (NU). Independensi ini disebut sebagai
relasi umum khusus min wajhin dalam ilmu mantiq. Pada sebagian lain PMII
dan NU bertemu, pada sebagian yang lain mereka berpisah secara pemikiran dan
keputusan.
Penulis adalah kader PMII Jakarta Selatan
0 Komentar