Mahbub dan Khittah Plus

Oleh: Deni Gunawan
Sejak NU memutuskan menjadi partai politik pada tahun 1952. NU dianggap telah kehilangan ruhnya sebagai sebuah organisasi sosial kemasyarakatan berbasis Islam. NU dianggap telah terdegradasi dari peran dan perjuangan luhurnya karena disibukkan oleh kegiatan politik praktis.

Ide khittah NU, setidaknya mencuat sekitar tahun 1971. Seruan kembali ini muncul dari kalangan kiai-kiai NU dan aktivisnya. Mengingat kondisi NU yang dianggap memprihatinkan karena terlalu fokus ke politik praktis. Ide ini tentu tidak begitu saja diterima.  Ketua Umum PBNU KH Muhammad Dahlan menilai langkah tersebut sebagai sebuah kemunduran secara historis. Pendapat Kiai Muhammad Dahlan itu coba ditengahi oleh Rais Aam KH Abdul Wahab Chasbullah bahwa kembali ke khittah berarti kembali pada semangat perjuangan 1926, saat awal NU didirikan, bukan kembali secara harfiah (NU Online).

Ilustrasi Mahbub Djunaidi. Foto: nulasnulisblog.wordpress.com

Ide itu, setelah kemunculannya sempat terhenti dalam beberapa tahun. Hingga pada tahun 1979 gema tersebut muncul lagi ketika diselenggarakan Muktamar  ke-26 NU di Semarang, Jawa Tengah. Seperti seruan sebelumnya, usulan untuk kembali menjadi jami’iyah diniyyah ijtima’iyah dalam Muktamar tersebut juga terhenti. Apalagi NU sedang giat-giatnya memperjuangkan aspirasi rakyat dari represi Orde Baru lewat PPP. Namun pada praktiknya, kelompok kritis dari kalangan NU mengalami penggusuran sehingga menurunkan kadar perjuangan dari partai tersebut (NU Online).

Namun, misi kembali ke Khittah NU 1926 tetap bergema. KH Achmad Siddiq menyusun tulisan komprehensif yang berisi tentang pokok-pokok pikiran tentang pemulihan Khittah NU 1926. Hasil tulisan Kiai Siddiq ini kemudian menjadi naskah yang diperbincangkan dan didiskusikan di NU sebagai draft naskah kembali ke Khittah. Naskah yang ditulis oleh KH Achmad Siddiq itu mendapat sambutan dan penghargaan luar biasa karena menjadi konsep dasar kembali ke khittah saat diselenggarakannya Munas NU tahun 1983 di Situbondo, Jawa Timur. Setahun sebelum digelarnya Muktamar ke-27 NU di tempat yang sama, Pesantren Salafiyah Sayafi’iyah Situbondo. Kemudian naskah ini menjadi dokumen resmi Munas sebagai dasar merumuskan Khittah Nahdliyah.

Konsep kembali Khittah pada dasarnya adalah upaya mengembalikan NU menjadi jami’iyah diniyyah ijtima’iyah dari partai politik. NU tidak lagi menjadi partai, tapi kembali ke khittahnya sebagain organisasi keagamaan dan sosial kemasyarakatan. Ide ini meski ditolak pada awalnya, namun diamini oleh hampir semua kalangan NU.

Akan tetapi, meski setuju kepada Khittah, Mahbub memiliki definisi lain soal Khittah NU. Secara garis besar meski dikatakan Mahbub menolak konsep Khittah 1926. Ia memiliki definisi khittahnya sendiri, yang dikenal sebagai Khittah Plus. Khittah 1926 sendiri, sebagaimana tertuang dalam Naskah Khittah NU berbunyi , “Khittah Nahdlatul Ulama adalah landasan berpikir, bersikap, dan bertindak warga Nahdlatul Ulama yang harus dicerminkan dalam tingkah-laku perseorangan maupun organisasi serta dalam setiap pengambilan keputusan.

Berangkat dari realitas bahwa NU memiliki basis massa yang rill waktu itu. Sekitar 20 juta orang. NU tidak bisa serta merta meninggalkan politik. Bagi Mahbub, NU harus tetap terlibat. Sebab jika tidak, maka 20 juta massa riil tiap pemilu hanya akan berada di luar pagar dan hanya menjadi tukang “pemberi suara” kepada partai lain.

 Karena itu, Mahbub mengusulkan sebuah gagasan Khittah Plus. Di mana NU tidak serta merta meninggalkan politik dan kembali sebagaimana asalnya dengan melupakan politik secara total.  Alasan ini tidak muncul dalam ruang kosong. Pemikiran Mahbub setidaknya muncul dalam beberapa situasi yang melatar belakanginya.

Pertama, selain kecewa dan tidak setuju dengan konsep Khittah 1926, Mahbub melihat bahwa NU memang tidak bisa dipisahkan dengan urusan politik, karena memang sejak tahun 1952 NU yang mengganti baju dari jam’iyah keagamaan menjadi sebuah partai politik. Budaya politik sudah mengakar kuat dalam tubuh NU dan para tokoh-tokohnya. Tahun 1984 menjadi momentum yang penting oleh NU karena mengembalikan jamiyah NU ke garis perjuangan yang disebut Khittah NU 1926. Intinya adalah memisahkan NU secara organisatoris dengan Politik Praktis. Meski sudah dibuatkan keputusan tentang kembali ke Khittah 1926 dan penolakan rangkap jabatan kepengurusan pengurus NU. Tetap saja banyak tokoh dan pimpinan NU yang berpolitik praktis, utamanya di PPP.

Kedua, NU hanya menjadi alat pendulang suara partai lain. Hal ini terjadi karena sikap NU yang tidak jelas dalam politik. Yang membuat Mahbub menginginkan NU tetap saja menjadi parpol.  Mahbub Djunaidi, di tulis dalam majalah tempo ketika berdialog dengan Cholid Mawardi yang waktu itu di isukan menjadi ketua umum PPP, yang isinya: “ Andai kata betul anda jadi ketua umum PPP, apa bukan maksudnya supaya warga NU kembali mendukung partai yang sudah keropos karena digembosi itu? Kedengarannya kok jadi lucu dan tidak etis. Apa ini bukan berarti menjilat ludah kembali? Taruhlah itu cuma orang-orang NU secara pribadi, sedangkan NU sendiri tetap sebagai ormas nonpolitik tidak kesana dan tidak kesini. Tapi, bukankah masih juga kocak: siang jadi PPP, dan malamnya jadi NU? Apa bukan membingungkan orang NU kepalanya jadi dua? Bersikap ganda dan ambivalen terus menerus pastilah kurang bagus untuk pencernaan, bisa bikin mencret Dari pada NU sekarang ini melayang-layang diluar sistem politik resmi, bagaimana kalau kembali saja jadi partai politik lagi? Apa bukan lebih baik begitu daripada tiap pemilu jadi perawan yang ditarik kian kemari oleh para kontestan? Orang tentu bisa juga bilang NU itu menjilat ludahnya kembali. Bagaimana kalau mnggunakan kalimat yang lebih halus: NU senantiasa melakukan Think and Rethink.”

Ketiga, politik adalah satu-satunya cara mencapai tujuan.


Penulis adalah kader PMII Jakarta Selatan

Posting Komentar

0 Komentar