Mahbub Si Pendekar Anti Hoaks

Oleh: Deni Gunawan
Barangkali, sisi inilah yang paling mudah dipahami oleh penulis untuk menjelaskan sosok Mahbub. Sebab tidak mudah untuk memasuki nalar Mahbub dari sisi pemikiran kebangsaan dan politiknya. Selain karena tulisannya yang khas dengan humornya. Perlu keberanian yang utuh untuk menafsir sosok Mahbub. Seseorang mungkin pecinta, tapi belum tentu orang itu adalah orang yang paham dan bisa menjelaskan Mahbub seobjektif mungkin. Meskipun barang bernama “objektif” itu juga akan melalui penafsiran para pembacanya.

Mahbub dikenal sebagai seorang yang macam-macam. Dikenal sebagai jurnalis, sastrawan, aktivis, penulis, tokoh NU, politisi dan Ketum PMII. Semua sematan itu memang ada dan dialami oleh Mahbub. Ia pernah menjadi jurnalis, tulisannya banyak bernilai sastra dan kritis. ia seorang aktivis pergerakan dari HMI ke PMII, pernah menjabat sebagai pimpinan PBNU, dan pernah menjadi anggota DPR pemilu 1955.

Mahbub Djunaidi. Foto: NU Online
Mahbub adalah sosok yang konsisten dengan kata-kata. Ia selalu berusaha menyatukan antara kata yang dia ucapkan dan dengan apa yang dia kerjakan. Sikap berintegritas inilah yang membuatnya disegani semua kalangan. Sebagai seorang aktivis, Mahbub tergolong keras kepala. Ia tak mudah kompromi dengan hal-hal yang menurutnya tidak prinsip. Tidak mudah juga dibeli, yang membuatnya harus rela hidup susah dan dipenjara. Selain itu, rasa ingin tahu Mahbub sangat tinggi, tak mudah percaya dan tidak pernah puas, bahkan kepada orang dekatnya sekalipun. Sikap kritis dan rasa ingin tahunya inilah yang membentuk seorang Mahbub Djunaidi si Pendekar Pena.

Suatu ketika, Rosihon Anwar, Sahabatnya menulis artikel di harian Kompas, edisi 15 September 1980, berjudul “Perbedaan Analisa Politik Antara Soekarno dan Hatta”. Artikel ini menuai kontroversi pada waktu itu, tak terkecuali Mahbub, karena di dalamnya mengatakan Soekarno dipenjara dan sempat mengemis ampun pada pemerintah kolonial Belanda dengan cara mengirim surat.

Tulisan Rosihon ini disandarkan pada sebuah desertasi, seorang Australia John Ingelson, berjudul “The Indonesian Nationalist Movement, 1927-1934”. John adalah seorang ahli ilmu sejarah lulusan Universitas Monash, Australia. Kontroversi muncul karena klaim arsip surat yang dimiliki Belanda terkait permintaan ampun Soekarno itu.

Meski Rosihon adalah sahabat Mahbub, tak lantas ia percaya begitu saja isi tulisan Rosihon itu. Sebagai orang yang tak mudah percaya, dan punya jiwa ingin tahu yang tinggi, ia mencari tahu kebenaran problematika itu.

Kemudian, ia mengkritik tulisan sahabatnya itu dalam satu artikel di Koran yang sama. Judulnya, “Itu Mah Pamali, Itu Mah Mustahil”, Kata Bu Inggit. Tulisan ini lahir dari orang yang keras kepala yang tak begitu saja mau percaya. Tulisan ini lahir dari wawancara langsung Mahbub kepada Bu Inggit, istri Soekarno. Ia ingin menggali dalam sosok Soekarno melalui orang terdekat. Ia mengkonfirmasi langsung pada Bu Inggit mengenai kebenaran laporan Pos Rahasia 1933/1276. Bu Inggit adalah orang yang dianggapnya tepat. Karena Bu Inggit yang paling dekat dengan Bung Karno setiap hari, sehingga asumsinya, Bu Inggit memahami karakter dan sosok Bung Karno.

Tapi, mewawancarai sosok yang secara emosional dekat dengan Soekarno, tentu tidak akan lepas daripada subjektivitas seorang Inggit sebagai istri. Sehingga segala informasi yang berasal dari Bu Inggit tidak serta merta adalah seluruhnya objektif dan benar. Ini dipahami oleh sosok Mahbub. Karena itu, tidak hanya merangkum informasi dari sosok yang terdekat. Ia juga melakukan elaborasi dengan menghadirkan data yang lain untuk mengkritik tulisan Rosihon. Kedua, ia memunculkan data pembanding terkait laporan Pos Rahasia 1933/1276. Sebuah dokumen Nahdhatul Oelama 13 Oktober 1927 di Surabaya. Sebuah dokumen yang tersimpan di “Kolonial Archief”, Geheim Mailrapport 261x/28.

Arsip itu menyimpulkan bahwa kongres mengatakan, “Pemerintah Kolonial Belanda itu adil dan cocok untuk Islam”. Benarkah para Kiai sepuh itu memuji-muji Belanda sedemikian rupa?  “Mereka memuji-muji kebijaksanaan Pemerintah Kolonial dalam hal menangani masalah agama. Mereka memohon supaya kebijaksanaan itu disinambungkan,” tulis intel Belanda tersebut.

Artinya apa? Bahwa arsip di Belanda tidak selalu obyektif. Hal itu tak secara eksplisit diklaim oleh Mahbub. Tapi dengan menghadirkan fakta, Mahbub hendak mempertanyakan kebenaran arsip Belanda tentang kongres Nahdlatul Oelama tersebut, mengingat ormas yang didirikan KH Hasyim Asyari itu juga pernah memfatwakan Resolusi Jihad. Bagaimana mungkin ormas yang memfatwakan Resolusi Jihad kepada kolonial Belanda memuji habis-habisan kebijakan Belanda? (gangkecil.com)

Di sinilah kita dapat melihat sikap kritis dan hati-hati Mahbub dalam menilai suatu informasi. Tak mudah menerima, tak juga mudah menyalahkan. Ia perlu membuktikannya seorang diri, betapun itu harus menguras energi. Sebab harga dari sebuah kebenaran adalah mahal. Karena mahal itulah Mahbub menjadi sosok yang sangat kritis dan hati-hati dalam menerima informasi, termasuk dari sahabatnya.


Penulis adalah kader PMII Jakarta Selatan

Posting Komentar

0 Komentar