Memiliki anak yang baik merupakan keinginan
alami dan fitrah seluruh manusia. Semua manusia berharap dapat memiliki anak
yang sehat dan saleh, anak yang mampu menyejukkan hati kedua orang tuanya, dan
mampu membuat bahagia keduanya. Sekalipun dirinya (kedua orang tua) adalah
orang yang tidak baik, dia tetap berharap agar anak-anaknya menjadi anak-anak
yang baik.
Namun demikian, para pemimpin teladan yang ada
dalam naungan Al-Qur’an mengajarkan agar memiliki harapan yang lebih tinggi
dari keinginan alami tersebut. Mereka tidak hanya menginginkan agar anak-anak
menjadi sehat saja tetapi juga dapat dekat dengan keluarga serta mengikuti dan
mencintai manusia-manusia yang saleh. Peran keluarga di sini sangat dibutuhkan
untuk mewujudkan itu semua. Memenuhi hak-hak anak, hak-hak sebelum kelahiran
hingga setelah kelahiran.
![]() |
| Ilustrasi. Foto: Google |
Hal ini terjadi karena kurangnya pengenalan
terhadap tokoh-tokoh teladan yang ada di Islam. Bahkan peran orang tua kurang
maksimal dalam mengenalkan bagaimana sosok Nabi Agung Muhammad Saw. Meskipun
mereka dikenalkan, itupun hanya sebatas pelajaran-pelajaran yang ada di
sekolah, dan kebanyakan membahas mengenai perang saja. Dampak dari itu semua
ialah membawa anak pada tindakan kekerasan dan radikalisme di mana kekerasan
menjadi jalan terbaik untuk menyelamatkan agama. Ini tidaklah tepat, karena
masa hidup Nabi tidak hanya tentang perang, bisa dikatakan bahwasanya waktu
untuk perang tersebut hanya beberapa bulan saja dari usia Nabi.
Banyak teladan-teladan suci yang belum
diketahui anak mengenai Nabi serta hubungannya bersama keluarga dan para
sahabatnya. Oleh karena itu anak sering merasa bosan dengan kisah-kisah Nabi
yang itu-itu saja, mereka memutuskan untuk memilih idola mereka sendiri yang
sesuai dengan perkembangan zaman sekarang. Akhirnya mereka memilih figur-figur
sendiri tanpa sepengetahuan dari orang tua mereka.
Ada sebuah kisah dari seorang anak yang
beragama Islam yang tinggal di Amerika. Anak tersebut berumur delapan tahun,
di mana oleh teman-teman sekolahnya ia bisa dikatakan sangat berbeda. Ketika
temannya sedang berseteru, maka anak itu yang mendamaikannya, ketika temannya
tidak membawa bekal makan siang, maka anak itu rela membagi sebagian makan siangnya
kepada temannya tersebut. Hingga pada suatu hari ketika mereka sedang belajar,
seperti biasa guru sedang menerangkan pelajaran di depan kelas. Namun tiba-tiba
ada seorang anak yang berkata kasar dan kurang pantas kepadanya. Melihat
kelakuan temannya itu, anak itu berkata kepada temannya “Jangan kau ucapkan
kata-kata yang tak pantas itu kepada guru kita, bukankah guru kita merupakan
orang tua kedua kita setelah orang tua yang ada di rumah?” kemudian
temannya terdiam mengiayakan.
Setelah kejadian itu guru tersebut penasaran
apa yang diajarkan oleh kedua orang tuannya di rumah sehingga ia terlihat
berbeda dengan anak-anak yang lainnya. Akhirnya guru tesebut pergi menemui
orang tua anak tersebut dan menanyakan mengenai anaknya yang memiliki moral
yang baik. Orang tua dari anak tersebut menjawab “Oh, kami selalu
membacakan anak kami sejarah Nabi Muhammad beserta keluarganya, ketika satu
jilid buku tersebut sudah selesai dibaca maka kami akan membelikannya hadiah
atau mainan kesukaannya, terus hingga pada jilid-jilid yang lainnya.”
Itulah salah-satu contoh mengapa anak-anak
perlu ditunjukan teladan suci kita, untuk mengindari mereka dari salah memilih
idola, sehingga bukannya menunjukkan akhlak yang baik, bahkan membuat anak itu
jauh dari Tuhan. Karena idola-idola mereka sangat mempengaruhi perilaku dan
tindakan mereka untuk memandang kehidupan ini.
Penulis
adalah aktivis perempuan Gus Durian


0 Komentar