Oleh M. Zidni Nafi'
Sepanjang sejarah peradaban manusia, relasi antara agama, politik dan kekuasan memang sudah menjadi fakta sejarah yang tidak bisa dipisahkan. Relasi tersebut terbentuk dalam beragam corak. Bisa saja agama menjadi spirit politik untuk menduduki kekuasaan, atau penguasaan politik untuk memperkuat praktik dan syiar agama, bahkan bisa juga kedok agama menjadi alat politik serta untuk melanggengkan kekuasaan.
Sepanjang sejarah peradaban manusia, relasi antara agama, politik dan kekuasan memang sudah menjadi fakta sejarah yang tidak bisa dipisahkan. Relasi tersebut terbentuk dalam beragam corak. Bisa saja agama menjadi spirit politik untuk menduduki kekuasaan, atau penguasaan politik untuk memperkuat praktik dan syiar agama, bahkan bisa juga kedok agama menjadi alat politik serta untuk melanggengkan kekuasaan.
Barangkali sulitnya memisahkan
antara agama dan politik itu laksana memisahkan manis dari gula. Hal ini lantaran
hampir seluruh agama-agama mempunyai nuansa ajaran yang bersifat pribadi dan publik,
lalu disertai juga dengan nilai-nilainya yang universal dan kontekstual. Sehingga
politik, bisa dibilang, menjadi salah satu bagian kecil dari agama yang ruang lingkupnya
sangat luas.
Namun, apakah memang proses
beragama dan berpolitik itu memiliki hubungan yang erat? Dan bagaimana bila agama
dan politik mengalami pertentangan dalam proses pelaksanaannya?
Beragama dan Berpolitik
Dalam kajian filsafat, manusia
dikategorikan sebagai homo religious dan zoon politicon. Fitrah manusia untuk beragama
(bertuhan) dan naluri bekerja sama antarmanusia untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh
sebab itu, ekspresi manusia modern dalam beragama dan berpolitik merupakan keniscayaan
yang tidak bisa dihindari. Tinggal kemudian apakah ekspresi kedua naluri ini bisa
berjalan seirama atau tidak, sehingga pada praksisnya tidak terjadi paradoks dan
kontradiksi.
Untuk konteks Indonesia sekarang
misalnya, pluralitas agama merupakan proses sejarah dan identitas yang berjalan
hingga dewasa ini. Lalu mereka yang beragama bisa mengekspresikan naluri berpolitik
melalui organisasi atau partai politik yang dinaungi oleh sistem yang bernama demokrasi.
Terkadang proses beragama ditentukan oleh kondisi dan kebijakan politik. Begitu
pula sebaliknya, proses berpolitik beserta kebijakannya tidak lepas dari naluri
agama yang diyakini.
Dalam perkembangannya, politik
menjadi media proses pelayanan masyarakat dalam berbagai aspek melalui 'kekuasaan'
yang disebut pemerintah. Sehingga, boleh dikatakan, partai politik menjadi alat
utama untuk meraih kekuasaan itu. Kenyataan inilah yang melahirkan berbagai dinamika
yang bisa mengatasnamakan apapun untuk berkompetisi melalui pesta demokrasi.
Sedangkan saat ini Indonesia
tengah dihadapkan problem yang begitu runyam. Keberpihakan seseorang/kelompok pada
partai politik yang cenderung primordial begitu kental dan fanatik. Hal ini bisa
dibilang wajar, namun yang tidak wajar ketika sampai fanatik buta apalagi sampai
"dalih agama" dilakukan untuk mengemas propaganda dan kampanye sehingga
terkesan mendapatkan legitimasi agama. Agama lalu menjadi sebuah komoditas yang
bisa 'dijual' demi meraih dukungan masyarakat.
Tidak heran bila menjelang
pesta demokrasi, marak fanatisme politik. Seolah-olah partai politik itu sesakral
agama serta mendewa-dewakan tokoh atau pemimpin partainya. Tidak sampai di situ,
dalil agama ditafsirkan menurut kepentingan kelompok dan partainya, tempat ibadah
jadi arena politisasi, orang yang berbeda partai diintimidasi, dihujat dan dibenci
setengah mati, meskipun seagama dan seiman.
Cendekiawan muslim Nurcholis
Madjid atau Cak Nur mempertanyakan (1997: 134), “Jika agama tidak dapat mempengaruhi
tingkah laku pemeluknya, maka apalah arti pemeluk itu?” Namun, bagi Cak Nur juga,
kenyataannya ialah banyak orang yang sangat serius memeluk agamanya, tanpa peduli
pada tuntutan nyata keyakinannya itu dalam amal perbuatan dan tingkah laku.
Tentu saja, cara berpolitik
di Indonesia bagi Cak Nur, keterbukaan sikap bukanlah segala-galanya. Persoalan
kuncinya ialah bagaimana menciptakan "kesalinghormatan" di kalangan elite
bangsa, dan di kalangan seluruh rakyat, sebab demokrasi adalah mustahil tanpa hal
itu.
Menjadi Umat Waras
Sejarah abad pertengahan di
Eropa telah mengajarkan bagaimana Gereja dan kaum agamawan mempunyai kekuasaan penuh.
Kitab suci seolah-olah tidak lagi menjadi jalan keselamatan, namun menjadi alat
pembenaran. Kaum Gereja 'main mata' dengan politikus dan memonopolinya sedemikian
rupa sehingga mereka satu-satu lembaga yang paling benar. Lebih jauh mereka sampai-sampai
bisa menjamin masuk surga dengan memberikan tebusan tertentu.
Umat Islam sendiri juga pernah
mengalami sejarah kelam soal 'kekuasaan'. Peristiwa terbunuhnya khalifah Usman ibn
Affan yang memicu perbedaan sikap dan ketegangan beberapa kelompok yang pro sahabat
Ali ibn Abi Thalib, Muawiyah ibn Abi Sufyan, dan pihak-pihak lainnya, yang melahirkan
peperangan dan perpecahan aliran yang berimbas hingga hari ini. Tanpa bermaksud
mengkritik dinamika sahabat Nabi, namun peristiwa tahkim (arbitrase) dan peristiwa
lain yang menyusul, dapat menjadi pelajaran penting bagi umat Islam saat ini.
Kita merasakan sendiri kalau
sudah masuk wilayah politik, segala kemungkinan bisa terjadi, entah tumbuhnya persatuan
atau justru malah memicu pecah-belah yang melahirkan kehancuran. Di politik, orang
waras bisa menjadi tidak waras, sebaliknya orang kurang waras dipandang sebagai
orang waras.
Makanya KH Musthofa Bisri atau
Gus Mus pernah bilang, "Kalau intinya soal dukung-mendukung, maka akal sehat
tidak diperlukan dan argumentasi bisa dicari-cari." Hal itu juga berimbas pada
pergeseran berpikir layaknya orang waras. Yang diperdebatkan bukan lagi soal benar
atau salah, tapi sikap yang ditunjukkan soal selera suka atau tidak suka (benci).
Uraian dinamika sebagaimana
di atas seringkali berimbas pada perdebatan yang kurang beretika dan tidak subtansif.
Bukannya adu gagasan program tapi malah berusaha saling menjatuhkan lawan melalui
nyinyiran, ujaran kebencian, fitnah dan sebagainya. Seakan-akan spirit agama dalam
berpolitik sudah tidak kedepankan lagi untuk memperjuangkan keadilan, keamanan dan
kesejahteraan masyarakat.
Oleh sebab itu, di tengah situasi
pesta demokrasi seperti demikian, penting untuk mengedepankan sikap toleransi politik,
apalagi bagi orang beragama yang ciri utamanya adalah berakal dan waras alias tidak
gila! Meminjam semacam kaidah berpolitik ala KH Ma'ruf Amin, Lakum
partaikum, wa lana partaiuna, yang artinya "bagimu partaimu, dan bagiku
partaiku". Kalau kita sebagai umat mengaku waras dalam beragama, bukankah sepatutnya
kita waras juga dalam berpolitik kan?
0 Komentar