Haji adalah salah satu rukun Islam kelima yang sangat Istimewa. Istimewa
karena ibadah ini hanya dikerjakan sekali wajib seumur hidup, itupun hanya
ditujukan kepada muslim yang mampu. Mampu di sini adalah keadaan seseorang
dilihat dari sisi material dan morilnya. Material adalah kemampuan untuk
menuntaskan biaya perjalanan dan segala akomodasi untuk mengerjakan kegiatan
ibadah tersebut, karena jaraknya (jama’ah Indonesia) yang sangat jauh, di Arab
Saudi.
Sementara itu, dari sisi moril adalah sisi mental bahwa seseorang tersebut
memang telah mempersiapkan jiwanya untuk pergi kesana, dengan niatan
sungguh-sungguh. Selain itu, fisiknya juga mampu melakukan proses ibadah haji
yang terbilang sangat banyak membutuhkan energi fisik dalam kegiatannya.
![]() |
| Foto: eramuslim.com |
Meski membutuhkan biaya yang sangat besar dari sisi materi dan rohani,
tetap saja keinginan setiap umat Islam
untuk dapat pergi haji untuk menunaikan kewajiban ibadah itu sangat tinggi dan
tak dapat dibendung. Ini dapat dilihat dari banyak dan lamanya daftar antri di Kementerian Agama terkait muslim yang ingin
melaksanakan ibadah haji ke Baitullah.
Lalu apa sih sebenarnya makna haji itu? Serta apakah makna gelar haji yang
disematkan kepada jama’ah haji yang sudah melaksanakan ibadah tersebut?
Seberapa penting hal itu untuk dilakukan?
Menurut Ustad Muchlis Hanafi, salah seorang Ahli Tafsir di Indonesia,
menjelaskan bahwa haji secara bahasa artinya menuju, sehingga mereka yang
berhaji adalah mereka yang sedang menuju kepada Allah Swt., yang simbolnya
adalah rumah Allah/Baitullah (Ka’bah).
Menurutnya, kita berhaji adalah
memenuhi panggilan Allah yang disampaikan kepada Nabi Ibrahim as. Banyak hikmah kehidupan yang bisa diteladani dari
sejarah Nabi Ibrahim as. dan Nabi Ismail as. Di sisi lain kita sering
mendengar istilah yang sering disebut dengan haji mabrur, haji mabrur sendiri adalah haji yang diterima oleh Allah Swt.,sementara itu, konteks bahwa diterima tidaknya haji seseorang adalah hak
preriogratif Allah Swt.
Meski demikian, menurutnya, kita bisa merasakan ‘kemabruran’ haji tersebut
berdasarkan beberapa indikator yang sumbernya dari hadis Nabi Saw. Pertama, tibbul kalam (tutur katanya baik). Kedua, ifsya’us salam (selalu menebar
kedamaian). Ketiga ith’amu tha’am
(memberi makan orang miskin).
Selain itu, terkait gelar haji, perlu dipahami bahwa gelar ini adalah
terkait dengan kebiasaan yang tidak hanya terjadi di Indonesia, di beberapa
Negara juga terjadi demikia, satu sisi ‘gelar’ haji bisa memberikan nilai
positif. Misalnya, barangkali dengan hal itu ia termotivasi menjadi sesuai
dengan ‘gelar’ haji yang disandangkan, dan selalu berusaha berperilaku baik. Akan tetapi ‘gelar’ itu bisa menjadi negatif ketika ‘gelar’ tersebut hanya disandangkan untuk pamer dan riya’ semata.
“haji
adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam
bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan
berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu
kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan
sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai
orang-orang yang berakal.”
QS. Al-Baqarah: 197


0 Komentar