Allamah
Thabathaba’i adalah seorang mufassir sekaligus seorang ulama Syi’ah yang
kedalaman ilmunya tidak diragukan lagi. Ia merupakan salah satu ulama Sy’iah
yang pemikiran dan gagasannya dapat diterima dengan baik di kalangan mazhab
Sunni. Hal ini menunjukan bahwa beliau memiliki suatu yang sangat istimewa
untuk pembinaan umat. Keistimewaan tersebut dapat kita lihat dalam beberapa
aspek, pertama; kedalaman dan keluasaan ilmu yang
dimilikinya. Misalkan, dari aspek penguasaan
bahasa, Thabathaba’i sangat fasih dalam menguraikan istilah-istilah bahasa Arab, yang boleh jadi orang
Arab sendiri belum tentu bisa sefasih dia.
Kedua; analisis semantik yang mendalam ketika membahas kata-kata tertentu
sehingga, ketika
kita melihat pembahasan semantik dalam Tafsir al-Mizan kita akan
mendapati betapa mendalam dan rumitnya pembahasan tersebut. Namun, hal
itu tidak berarti analisis yang dilakukannya tersebut sulit untuk dipahami.
Allamah Tahbathaba’i dalam
penafsirannya lebih banyak
melakukan pendekatan analisis semantik dibanding hanya sekadar penguraian
mufradat saja. Ketiga; penguasaannya terhadap ilmu-ilmu Sunni juga
sangat dalam, sehingga ketika kita mengkaji kitabnya kita tidak akan menyangka
bahwa ia adalah seorang Syi’ah.
Dilihat dari hadis-hadis
yang ia kutip, akan
didapati bahwa hadis-hadis Sunni cukup
banyak terdapat di dalam tafsir
al-Mizan. Oleh karena itu, dapat kita simpulkan bahwa Allamah
Thabathaba’i toleran
terhadap semua mazhab pemikiran, ini terlihat bahwa
ia tidak melakukan pembedaan ataupun pemisahan mazhab dalam penafsirannya. Hal ini, dibuktikan dengan sikapnya yang juga
memasukkan beberapa pendapat penafsiran dari pelbagai mufassir sehingga memberi
kesan tafsirnya tidak bersifat mazhabi. Selanjutnya, dari sisi kuantitas jumlah
jilid dari tafsirnya tersebut sangat tebal (20 jilid), dapat kita katakan bahwa
kitab al-Mizan bukanlah karya amatiran dari seorang amatir. Thabathaba’i juga
sangat hati-hati dalam melakukan pengutipan kisah-kisah isrā’iliyyat[2]. Kehati-hatian
itu juga ia terapkan pada hadis-hadis dari Syi’ah yang bersifat kontroversial meskipun ia sendiri adalah seorang Syi’ah.
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA. Foto: Lingkar al-Sinkili |
Prof.
Dr. Nasaruddin Umar menyatakan bahwa dalam pengamatannya ia tidak menemukan
hadis-hadis Syi’ah kontroversial yang digunakan oleh Thabathaba’i di dalam
tafsir al-Mizan. Kalaupun ada, maka Thabathaba’i akan melakukan komparasi
penafsiran satu dengan penafsiran yang lainnya. Apabila penafsiran dengan hadis
itu dianggapnya lemah dari sisi kebenarannya, maka ia tambahkan beberapa pendapat
dari para ulama yang lain untuk menguatkan penafsirannya.
Secara
umum, di dalam kajian ilmu tafsir ditawarkan pelbagai corak penafsiran seperti,
corak ‘ilmi (ilmiah), falsafi, adabi ijtimā’i,
dan irfani.[3] Prof. Dr.
Nasaruddin Umar menyatakan ada dua corak dominan yang terdapat di dalam
kitab Tafsir al-Mizan, yaitu corak falsafi dan
corak irfāni. Dalam tradisi keilmuan
Syi’ah, pengetahuan-pengetahuan yang bersifat falsafi dan irfāni memang lebih
menonjol dibanding
dengan disiplin ilmu keislaman lainnya. Sehingga, kedua corak tersebut begitu jelas kita lihat
dominasinya dalam tafsir al-Mizan yang dijelaskannya secara kompleks dan utuh.
Allamah Thabathaba’i merupakan sosok yang sangat luas keilmuannya. Sehingga, hampir
seluruh keilmuan Islam dapat dikuasainya. Menurut Prof. Dr. Nasaruddin Umar, di dalam
Tafsir al-Mizan tidak hanya mengungkapkan pembahasan mengenai aspek-aspek ‘ubudiyyah, filsafat, dan irfan saja;[4] akan tetapi, keilmuan lain seperti pemahamannya mengenai
filsafat-filsafat Barat juga
diungkapkannya secara baik dan luas.[5] Hal ini mengindikasikan bahwa ia adalah seorang
yang sangat luas ilmunya. Di sisi lain, seorang ilmuwan tentu
akan dituntut secara lebih mendalam dalam penguasaan aspek kebahasaannya. Maka, apabila
seseorang memahami bahasa suatu bangsa, ia akan memahami
budaya bangsa tersebut. Allamah Thabathaba’i dalam hal ini, begitu
menguasai karya-karya yang dihasilkan dalam pemikiran bangsa asing, dan ini
mengindikasikan bahwa ia juga menguasai beberapa bahasa asing lainnya. Selain itu, pemilihan
kata yang beliau lakukan, sangat tepat dalam menggambarkan atau menyampaikan
serta begitu sederhana.
Tidak
hanya merujuk pada kita-kitab Syi’ah, Thabathaba’i juga merujuk pada
kitab-kitab Sunni seperti kitab hadis Bukhari, Nasa’i, dan Muslim. Thabathaba’i
dengan jelas mengungkapkan kitab-kitab tersebut sebagai bagian dari rujukan
yang ia gunakan di dalam tafsirnya.[6] Hal ini
dilakukannya sebagai analisis
perbandingan. Sehingga, seakan seperti terjadi “dialog” antar mazhab dalam setiap bentuk penafsiran yang ia lakukan. Dalam kitab klasik Sunni misalkan, Thabathaba’i menyertakan kitab Ibnu
Abbas, Ibn Katsir, Jalal Al-Din Al-Suyuthi, dll.[7]
Sementara
dalam hal takwil[8] Prof. Dr. Nasaruddin Umar mengatakan bahwa
takwil merupakan sesuatu yang wajar, tidak harus diharamkan penggunaannya. Penggunaan takwil oleh Thabathaba’i dalam
penafsirannya lebih banyak jika dibandingkan dengan takwil
yang digunakan oleh mufassir-mufassir di kalangan Sunni. Hal
ini, dikarenakan
penggunaan takwil dalam Syi’ah lebih mendominasi daripada di Sunni.
Memang
terkadang—baik Sunni atau Syi’ah—terjadi penggunaan takwil secara berlebihan
oleh beberapa ulama, seperti contoh terdapat ulama Syi’ah yang menakwil jauh
sekali seperti yang dilakukan oleh al-Qummi[9] di dalam
menafsirkan ayat. Ketika membahas mengenai ayat tentang pembunuhan wanita oleh
laki-laki, al-Qummi menisbatkan pada peristiwa Karbala (pembunuhan cucu
Rasulullah SAW) yakni Husein ra. yang dilakukan oleh putra penguasa Bani Umayyah
pada saat itu yaitu, Yazid bin Muawiyyah. Dimana Yazid bin Muawiyyah dianggapnya
sebagai seorang yang mewarisi sikap ala Fir’aun. Menurut Prof.
Dr. Nasaruddin Umarhal inilah yang dimaksud dengan penggunaan takwil
yang sangat jauh dari penafsiran yang objektif.
Hal
ini berbeda dengan penggunaan takwil yang dilakukan oleh Thabathaba’i, contoh
ayat yang menyatakan “Inna al-ladzīna yubāyi’ūnaka inna mā yubāyi’ūna
Allah yadullahi fauqa aidīhim…”,[10] dengan
pemaknaan secara lebih kreatif Thabathaba’i menggunakan arti the power (kekuataan)
untuk menakwilkan ayat tersebut. Inilah salah satu contoh
takwil dalam kitabnya. Inilah
alasan kitab Tafsir al-Mizanbebas
berkeliaran (baca:
diterima) di beberapa pondok-pondok
pesantren Sunni.
Tafsir al-Mizan bisa dijadikan
alternatif dalam memecahkan istilah dalam al-Qur’an untuk mendapatkan pemaknaan
yang lebih sederhana. Hal ini pun dilakukan oleh Prof. Dr. Nasaruddin Umar yang kemudian
mengatakan puas dan menemukan jawaban atas persoalan tersebut (istilah).
Sebagaimana ketika Prof Dr. Nasaruddin Umar menafsirkan kata al-nafs al-wāhidah dan zawj pada penafsiran surat an-Nisaa, ia
temukan bahwa nafs al-wāhidah dapat merujuk pada Adam, dan
dhamir minha ditafsirkan “dari bagian tubuh Adam”sedang
kata zawj ditafsirkan dengan Hawa, isteri Adam. Atau di dalam
kitab Syi’ah juga dikatakan bahwaal-nafs
al-wāhidahdiartikan sebagai “roh” (soul). Meskipun hingga saat ini di dalam kitab-kitab tafsir yang lain hal
ini masih terjadi perdebatan.
Di
Indonesia, Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab dalam al-Misbahnya juga mengutip
beberapa pendapat dari Thabathaba’i di dalam Tafsir al-Mizan, selain juga
al-Mizan banyak dikaji oleh serjana-sarjana tafsir di IAIN ataupun UIN.
Meskipun secara umum corak penafsiran al-Misbah dikatakan sebagai corakal-adabi
al-Ijtimā’i, namun hal itu, tidak lantas menjadikan Tafsir al-Misbah
luput daripada corak falsafi dan irfani. Seperti dapat kita perhatikan,
salah satunya dalam surat al-‘Araf ayat 54 yang diterjemahkan, “Ingatlah
hanya miliki-Nya wewenang mencipta dan memerintah. Maha Suci Allah Tuhan
semesta alam.” Oleh Thabathaba’i ayat ini diungkapkan sebagai aspek
penetapan rububiyyah, yakni masalah ketuhanan dan wewenang
pengaturan serta pemeliharaan mutlak oleh Allah Swt. Hal ini, juga mencakup
kesudahan segala sesuatu, baik yang berhubungan dengan penciptaan maupun akhir
dan kesudahan ciptaan yakni, kebangkitan di hari kemudian (eskatologi). Itulahbeberapa pendapat penafsiran Thabathaba’i yang tercatat di dalam
al-Mishbah, karya Prof. Dr. Muhammad
Quraish Shihab.
[1]Tulisan ini dibuat dengan sumber data utamanya adalah wawancara pada tanggal 4 Maret
2014, pukul 15.00. Narasumber tulisan ini adalah Prof. Dr. Nasaruddin Umar MA.
Saat itu ia menjabat sebagai Wakil Menteri Agama Republik Indonesia periode
2009-2014 masa kabinet Indonesia Bersatu jilid II, pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudoyono. Ini merupakan riset dari Lingkar Studi
Mahasiswa Tafsir Lingkar al-Sinkili
[2]Kisah-kisah Isrā’iliyyat adalah kisah-kisah yang
berkaitan dengan kisah tentang kaum Bani Isra’il.
[3]a.Corak ‘ilmi adalah corak ilmiah, ini memiliki pengertian
bahwa dalam sebuah karya tafsir yang lebih dominan dalam corak penafsirannya sadalah penafsiran dengan corak ‘ilmi, b. Corak falsafi adalah
corak pada suatu karya tafsir di mana aspek filosofisnya lebih dominan,
c. Adabi Ijtimā’i adalah corak yang lebih menekankan pada aspek
sosial kemasyarakatan, tafsir seperti ini biasanya lebih melihat pada kondisi
sosial masyarakat si penafsir, d. Corak irfāni adalah corak
tafsir yang lebih menekankan aspek sufistik atau pendekatan tasawwuf melalui
jalan suluk, ini biasanya dilakukan oleh para sufi.
[4]‘Ubudiyyah; penghambaan, istilah ini sering digunakan dalam
persoalan tauhid.,Filsafat, Secara bahasa: Filsafat (red Arab: فلسفة) berasal dari bahasa Yunani, yaitu Philos dan Sophia. Philos berarti
senang, gemar, atau cinta, sedangkan sophia berarti kebijaksanaan.Dan tujuan filsafat adalah
untuk mengetahui hakikat, yaitu untuk dapat membedakan mana realitas sejati dan
mana yang bukan. Karena secara fungsi filsafat berusaha untuk meneliti sesuatu
secara radikal (sampai ke akar-akarnya) dan detail., Kata ‘Irfān berasal
dari kata ‘arafa (Arab) seakar dengan kata ‘makrifat’, yang artinya
mengetahui. Seringkali diidentikkan dengan istilah Tasawuf, yaitu ilmu yang
membahas tentang tata cara penyucian jiwa sebagai jalan mengetahui
Tuhan.Terbagi menjadi ‘irfan uhud. falsafi, dan ‘irfan ‘amali’, identik dengan
tasawuf Sunni/Amali. Metode: penyingkapan (discovery) & pembuktian
Ajaran-ajaran: a). Ontologi: wujud; wahdat & hakiki (Tuhan), katsrah
(makhluk) – I’tibari (manifestasi) melalui argumentasi tajalli. b)
Epistemologi: pengetahuan syuhudi melalui suluk/penyucian jiwa
(tahdzib/tazkiyat nafs), akal tidak dapat mengetahui hakikat sesuatu. Tokoh-tokoh:
‘Ain al-Qudhat al-Hamadani (492 H/1098 M), karya: Zubdah al-Haqaiq,
Maktubat, Tamhidat, Shakwa al-Garib, dll. al-Ghazali (450 H/1058 M)
ibn ‘Arabi (560 H/1165 M), al-Hallaj, al-Jili, YazidBistami, Junaid al-Bagdadi,
Dzunun al-Misri, dll.
[5]Prof. Dr. Nasaruddin Umar MA.
Menyatakan bahwa dilihat dari kedalaman Thabathaba’i dalam memahami ilmu-ilmu
Barat mengindikasikan bahwa ia kemungkinan besar juga memahami bahasa-bahasa
asing tersebut secara baik, paling tidak secara pasif, ungkapnya.
[6]Pernyataannya ini adalah pernyataan
langsung dari Prof. Dr. Nasaruddin Umar MA. Saat wawancara, kami (editor)—hal
ini karena keterbatasan editor untuk mengkaji ulang secara keseluruhan kitab
Tafsir al-Mizan yang berjumlah 20 jilid tersebut—belum menemukan pada jilid,
ayat, serta surat berapa Thabathaba’i menyatakan hal tersebut dalam
kitab tafsirnya.
[7]Kitab Al-Dur
Al-Mantsur karya Jalal Al-Din Al-Suyuthi (849-911 H/ 1505) adalah
kitab Sunni yang banyak dirujuk Al-Thabathaba’i.
[8]Secara umum takwil dalam kajian ‘Ulum al-Qur’ān adalah
penyingkapan makna batin atau tersirat dari suatu ayat dalam al-Qur’an.
Sementara itu dalam buku Nasr Hamid Abu Zaid yang berjudul Tekstualitas
Al-Qur’ān; Kritik Terhadap Ulumul Qur’ān, (edisi terjemahan Indonesia)
hal. 295, Abu al-Qasim bin Habib an-Naisaburi, Baghawi, al-Kawasyi, dan lainnya
mengatakan: Takwil adalah mengalihkan ayat pada makna yang sesuai dengan yang
sebelum dan sesudahnya, makna yang dimungkinkan oleh ayat tidak bertentangan
dengan Al-Kitab dan as-Sunah melalui istinbāth. (Lihat
juga Az-Zarkasyi dalam Al-Burhan Fi ‘Ulum al-Qur’ān, hal.
149-150).
[10] (Q.S Al-Fath:10)“Bahwasanya
orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia
kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka…”
0 Komentar