Aspek Semantik di dalam Tafsir al-Mizan

Oleh: Prof. Dr. Nasaruddin Umar MA[1]
Allamah Thabathaba’i adalah seorang mufassir sekaligus seorang ulama Syi’ah yang kedalaman ilmunya tidak diragukan lagi. Ia merupakan salah satu ulama Syiah yang pemikiran dan gagasannya dapat diterima dengan baik di kalangan mazhab Sunni. Hal ini menunjukan bahwa beliau memiliki suatu yang sangat istimewa untuk pembinaan umat. Keistimewaan tersebut dapat kita lihat dalam beberapa aspek, pertama; kedalaman dan keluasaan ilmu yang dimilikinyaMisalkan, dari aspek penguasaan bahasa, Thabathaba’i sangat fasih dalam menguraikan istilah-istilah bahasa Arab, yang boleh jadi orang Arab sendiri belum tentu bisa sefasih dia

Keduaanalisis semantik yang mendalam ketika membahas kata-kata tertentu sehingga, ketika kita melihat pembahasan semantik dalam Tafsir al-Mizan kita akan mendapati betapa mendalam dan rumitnya pembahasan tersebut. Namun, hal itu tidak berarti analisis yang dilakukannya tersebut sulit untuk dipahami. Allamah Tahbathabadalam penafsirannya lebih banyak melakukan pendekatan analisis semantik dibanding hanya sekadar penguraian mufradat saja. Ketiga; penguasaannya terhadap ilmu-ilmu Sunni juga sangat dalam, sehingga ketika kita mengkaji kitabnya kita tidak akan menyangka bahwa ia adalah seorang Syi’ah.

Dilihat dari hadis-hadis yang ia kutip, akan didapati bahwa hadis-hadis Sunni cukup banyak terdapat di dalam tafsir al-Mizan. Oleh karena itu, dapat kita simpulkan bahwa Allamah Thabathaba’i toleran terhadap semua mazhab pemikiran, ini terlihat bahwa ia tidak melakukan pembedaan ataupun pemisahan mazhab dalam penafsirannya. Hal ini, dibuktikan dengan sikapnya yang juga memasukkan beberapa pendapat penafsiran dari pelbagai mufassir sehingga memberi kesan tafsirnya tidak bersifat mazhabi. Selanjutnya, dari sisi kuantitas jumlah jilid dari tafsirnya tersebut sangat tebal (20 jilid), dapat kita katakan bahwa kitab al-Mizan bukanlah karya amatiran dari seorang amatir. Thabathaba’i juga sangat hati-hati dalam melakukan pengutipan kisah-kisah isrā’iliyyat[2]. Kehati-hatian itu juga ia terapkan pada hadis-hadis dari Syiah yang bersifat kontroversial meskipun ia sendiri adalah seorang Syi’ah.

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA. Foto: Lingkar al-Sinkili

Prof. Dr. Nasaruddin Umar menyatakan bahwa dalam pengamatannya ia tidak menemukan hadis-hadis Syi’ah kontroversial yang digunakan oleh Thabathaba’i di dalam tafsir al-Mizan. Kalaupun ada, maka Thabathaba’i  akan melakukan komparasi penafsiran satu dengan penafsiran yang lainnya. Apabila penafsiran dengan hadis itu dianggapnya lemah dari sisi kebenarannya, maka ia tambahkan beberapa pendapat dari para ulama yang lain untuk menguatkan penafsirannya.

Secara umum, di dalam kajian ilmu tafsir ditawarkan pelbagai corak penafsiran seperti, corak ‘ilmi (ilmiah), falsafiadabi ijtimā’i, dan irfani.[3] Prof. Dr. Nasaruddin Umar menyatakan ada dua corak dominan yang terdapat di dalam kitab Tafsir al-Mizan, yaitu corak falsafi dan corak irfāniDalam tradisi keilmuan Syi’ah, pengetahuan-pengetahuan yang bersifat falsafi dan irfāni memang lebih menonjol dibanding dengan disiplin ilmu keislaman lainnya. Sehingga, kedua corak tersebut begitu jelas kita lihat dominasinya dalam tafsir al-Mizan yang dijelaskannya secara kompleks dan utuh.

Allamah Thabathaba’i merupakan sosok yang sangat luas keilmuannya. Sehingga, hampir seluruh keilmuan Islam dapat dikuasainya. Menurut Prof. Dr. Nasaruddin Umar, di dalam Tafsir al-Mizan tidak hanya mengungkapkan pembahasan mengenai aspek-aspek ubudiyyah, filsafat, dan irfan saja;[4] akan tetapi, keilmuan lain seperti pemahamannya mengenai filsafat-filsafat Barat juga diungkapkannya secara baik dan luas.[5] Hal ini mengindikasikan bahwa ia adalah seorang yang sangat luas ilmunya. Di sisi  lain, seorang ilmuwan tentu akan dituntut secara lebih mendalam dalam penguasaan aspek kebahasaannya. Maka, apabila seseorang memahami bahasa suatu bangsa, ia akan memahami budaya bangsa tersebut. Allamah Thabathabai dalam hal ini, begitu menguasai karya-karya yang dihasilkan dalam pemikiran bangsa asing, dan ini mengindikasikan bahwa ia juga menguasai beberapa bahasa asing lainnya. Selain itu, pemilihan kata yang beliau lakukan, sangat tepat dalam menggambarkan atau menyampaikan serta begitu sederhana.

Tidak hanya merujuk pada kita-kitab Syi’ah, Thabathaba’i juga merujuk pada kitab-kitab Sunni seperti kitab hadis Bukhari, Nasa’i, dan Muslim. Thabathaba’i dengan jelas mengungkapkan kitab-kitab tersebut sebagai bagian dari rujukan yang ia  gunakan di dalam tafsirnya.[6] Hal ini dilakukannya sebagai analisis perbandingan. Sehingga, seakan seperti terjadi “dialog” antar mazhab dalam setiap bentuk penafsiran yang ia lakukan. Dalam kitab klasik Sunni misalkan, Thabathabai menyertakan kitab Ibnu Abbas, Ibn Katsir, Jalal Al-Din Al-Suyuthi, dll.[7]

Sementara dalam hal takwil[8] Prof. Dr. Nasaruddin Umar mengatakan bahwa takwil merupakan sesuatu yang wajar, tidak harus diharamkan penggunaannyaPenggunaan takwil oleh Thabathaba’i dalam penafsirannya lebih banyak jika dibandingkan dengan takwil yang digunakan oleh mufassir-mufassir di kalangan Sunni. Hal ini, dikarenakan penggunaan takwil dalam Syi’ah lebih mendominasi daripada di Sunni.

Memang terkadang—baik Sunni atau Syi’ah—terjadi penggunaan takwil secara berlebihan oleh beberapa ulama, seperti contoh terdapat ulama Syi’ah yang menakwil jauh sekali seperti yang dilakukan oleh al-Qummi[9] di dalam menafsirkan ayat. Ketika membahas mengenai ayat tentang pembunuhan wanita oleh laki-laki, al-Qummi menisbatkan pada peristiwa Karbala (pembunuhan cucu Rasulullah SAW) yakni Husein ra. yang dilakukan oleh putra penguasa Bani Umayyah pada saat itu yaitu, Yazid bin Muawiyyah. Dimana Yazid bin Muawiyyah dianggapnya sebagai seorang yang mewarisi sikap ala Fir’aun. Menurut Prof. Dr. Nasaruddin Umarhal inilah yang dimaksud dengan penggunaan takwil yang sangat jauh dari penafsiran yang objektif.

Hal ini berbeda dengan penggunaan takwil yang dilakukan oleh Thabathaba’i, contoh ayat yang menyatakan “Inna al-ladzīna yubāyi’ūnaka inna mā yubāyi’ūna Allah yadullahi fauqa aidīhim…”,[10] dengan pemaknaan secara lebih kreatif Thabathaba’i menggunakan arti the power (kekuataan) untuk menakwilkan ayat tersebut. Inilah salah satu contoh takwil dalam kitabnya. Inilah alasan kitab Tafsir al-Mizanbebas berkeliaran (baca: diterima) di beberapa pondok-pondok pesantren Sunni.

Tafsir al-Mizan bisa dijadikan alternatif dalam memecahkan istilah dalam al-Qur’an untuk mendapatkan pemaknaan yang lebih sederhana. Hal ini pun dilakukan oleh Prof. Dr. Nasaruddin Umar yang kemudian mengatakan puas dan menemukan jawaban atas persoalan tersebut (istilah). Sebagaimana ketika Prof Dr. Nasaruddin Umar menafsirkan kata al-nafs al-wāhidah dan zawj pada penafsiran surat an-Nisaa, ia temukan bahwa nafs al-wāhidah dapat merujuk pada Adam, dan dhamir minha ditafsirkan “dari bagian tubuh Adam”sedang kata zawj ditafsirkan dengan Hawa, isteri Adam. Atau di dalam kitab Syi’ah juga dikatakan bahwaal-nafs al-wāhidahdiartikan sebagai “roh” (soul). Meskipun hingga saat ini di dalam kitab-kitab tafsir yang lain hal ini masih terjadi perdebatan.

Di Indonesia, Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab dalam al-Misbahnya juga mengutip beberapa pendapat dari Thabathaba’i di dalam Tafsir al-Mizan, selain juga al-Mizan banyak dikaji oleh serjana-sarjana tafsir di IAIN ataupun UIN. Meskipun secara umum corak penafsiran al-Misbah dikatakan sebagai corakal-adabi al-Ijtimā’i, namun hal itu, tidak lantas menjadikan Tafsir al-Misbah luput daripada corak falsafi dan irfani. Seperti dapat kita perhatikan, salah satunya dalam surat al-‘Araf ayat 54 yang diterjemahkan, “Ingatlah hanya miliki-Nya wewenang mencipta dan memerintah. Maha Suci Allah Tuhan semesta alam.” Oleh Thabathaba’i ayat ini diungkapkan sebagai aspek penetapan rububiyyah, yakni masalah ketuhanan dan wewenang pengaturan serta pemeliharaan mutlak oleh Allah Swt. Hal ini, juga mencakup kesudahan segala sesuatu, baik yang berhubungan dengan penciptaan maupun akhir dan kesudahan ciptaan yakni, kebangkitan di hari kemudian (eskatologi). Itulahbeberapa pendapat penafsiran Thabathaba’i yang tercatat di dalam al-Mishbah, karya Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab.







[1]Tulisan ini dibuat dengan sumber data utamanya adalah wawancara pada tanggal 4 Maret 2014, pukul 15.00. Narasumber tulisan ini adalah Prof. Dr. Nasaruddin Umar MA. Saat itu ia menjabat sebagai Wakil Menteri Agama Republik Indonesia periode 2009-2014 masa kabinet Indonesia Bersatu jilid II, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Ini merupakan riset dari Lingkar Studi Mahasiswa Tafsir Lingkar al-Sinkili

[2]Kisah-kisah Isrāiliyyat adalah kisah-kisah yang berkaitan dengan kisah tentang kaum Bani Isra’il.


[3]a.Corak ‘ilmi adalah corak ilmiah, ini memiliki pengertian bahwa dalam sebuah karya tafsir yang lebih dominan dalam corak penafsirannya sadalah penafsiran dengan corak ‘ilmi, b. Corak falsafi adalah corak pada suatu karya tafsir di mana aspek filosofisnya lebih dominan, c. Adabi Ijtimā’i adalah corak yang lebih menekankan pada aspek sosial kemasyarakatan, tafsir seperti ini biasanya lebih melihat pada kondisi sosial masyarakat si penafsir, d. Corak irfāni adalah corak tafsir yang lebih menekankan aspek sufistik atau pendekatan tasawwuf melalui jalan suluk, ini biasanya dilakukan oleh para sufi.

[4]Ubudiyyah; penghambaan, istilah ini sering digunakan dalam persoalan tauhid.,Filsafat, Secara bahasa: Filsafat (red Arab: فلسفة) berasal dari bahasa Yunani, yaitu Philos dan SophiaPhilos berarti senang, gemar, atau cinta, sedangkan sophia berarti kebijaksanaan.Dan tujuan filsafat adalah untuk mengetahui hakikat, yaitu untuk dapat membedakan mana realitas sejati dan mana yang bukan. Karena secara fungsi filsafat berusaha untuk meneliti sesuatu secara radikal (sampai ke akar-akarnya) dan detail., Kata ‘Irfān berasal dari kata ‘arafa (Arab) seakar dengan kata ‘makrifat’, yang artinya mengetahui. Seringkali diidentikkan dengan istilah Tasawuf, yaitu ilmu yang membahas tentang tata cara penyucian jiwa sebagai jalan mengetahui Tuhan.Terbagi menjadi ‘irfan uhud. falsafi, dan ‘irfan ‘amali’, identik dengan tasawuf Sunni/Amali. Metode: penyingkapan (discovery) & pembuktian Ajaran-ajaran: a). Ontologi: wujud; wahdat & hakiki (Tuhan), katsrah (makhluk) – I’tibari (manifestasi) melalui argumentasi tajalli. b) Epistemologi: pengetahuan syuhudi melalui suluk/penyucian jiwa (tahdzib/tazkiyat nafs), akal tidak dapat mengetahui hakikat sesuatu. Tokoh-tokoh: ‘Ain al-Qudhat al-Hamadani (492 H/1098 M), karya: Zubdah al-Haqaiq, Maktubat, Tamhidat, Shakwa al-Garib, dll. al-Ghazali (450 H/1058 M) ibn ‘Arabi (560 H/1165 M), al-Hallaj, al-Jili, YazidBistami, Junaid al-Bagdadi, Dzunun al-Misri, dll.

[5]Prof. Dr. Nasaruddin Umar MA. Menyatakan bahwa dilihat dari kedalaman Thabathaba’i dalam memahami ilmu-ilmu Barat mengindikasikan bahwa ia kemungkinan besar juga memahami bahasa-bahasa asing tersebut secara baik, paling tidak secara pasif, ungkapnya.


[6]Pernyataannya ini adalah pernyataan langsung dari Prof. Dr. Nasaruddin Umar MA. Saat wawancara, kami (editor)—hal ini karena keterbatasan editor untuk mengkaji ulang secara keseluruhan kitab Tafsir al-Mizan yang berjumlah 20 jilid tersebut—belum menemukan pada jilid, ayat, serta surat berapa Thabathaba’i menyatakan hal tersebut dalam kitab tafsirnya.

[7]Kitab Al-Dur Al-Mantsur karya Jalal Al-Din Al-Suyuthi (849-911 H/ 1505) adalah kitab Sunni yang banyak dirujuk Al-Thabathaba’i.

[8]Secara umum takwil dalam kajian ‘Ulum al-Qur’ān adalah penyingkapan makna batin atau tersirat dari suatu ayat dalam al-Qur’an. Sementara itu dalam buku Nasr Hamid Abu Zaid yang berjudul Tekstualitas Al-Qur’ān; Kritik Terhadap Ulumul Qur’ān, (edisi terjemahan Indonesia) hal. 295, Abu al-Qasim bin Habib an-Naisaburi, Baghawi, al-Kawasyi, dan lainnya mengatakan: Takwil adalah mengalihkan ayat pada makna yang sesuai dengan yang sebelum dan sesudahnya, makna yang dimungkinkan oleh ayat tidak bertentangan dengan Al-Kitab dan as-Sunah melalui istinbāth. (Lihat juga Az-Zarkasyi dalam Al-Burhan Fi ‘Ulum al-Qur’ān, hal. 149-150).


[9]al-Qummi adalah seorang ulama’ Syi’ah yang mengarang kitab Tafsīr Al-Qummi (w. 307 H/919 M).

[10] (Q.S Al-Fath:10)“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka…”




Posting Komentar

0 Komentar