Cuaca senyap dengan langit sedikit mendung pada pagi itu tetap
membawa saya lari pagi di JEC (Jogja Expo Center). Sebuah pusat konvensi yang ada
di Yogyakarta. Tak jauh dari tempat saya tinggal. Setelah berlari beberapa kali
putaran, saya putuskan berhenti. Ponsel yang sedari tadi terpasang aktif
apliksi penghitung langkah saya matikan. Lalu, beralih membuka WA, dan membalas
beberapa pesan yang masuk. Jempol saya kemudian bergeser ke WA stories. Tak
sengaja saya mendapati postingan unik milik seorang kawan. Sebuah capture
dialog antara akun NU Garis Lucu dan Muhammadiyah Garis Lucu di twitter. Isi
dialognya menggelitik. Saya kutipkan isinya:
NU Garis Lucu : "Muhammadiyah itu sahabat kami.
Meski di kubur nanti tidak dapat kiriman tahlil, percayalah kami akan berbagi
berkat bersama-sama"
Muhammadiyah Garis Lucu : "Kawan-kawan NU jangan
sungkan mampir ke kompleks perumahan warga Muhammadiyah di surga, insyaallah
pahala jariyah yang tak kenal lelah selama di dunia. Mari berhaha-hihi sambil
menikmati berkat bersama yang antum sekalian bawa"
![]() |
Ilustrasi Stand Up Comedy. Foto: Mojok.id |
Saya terkekeh membacanya. Betapa dua akun ini cukup
menghibur di sela istirahat saya. Ya, meski ke dua
akun ini hanyalah parodi yang tentu saja bukan akun resmi yang diluncurkan baik
PBNU maupun PP Muhammadiyah.
Tetapi justru ada hal menarik yang bisa dibaca dari
guyonan dua akun tadi. Saya menangkap sebuah pesan tentang narasi cara beragama
yang menggembirakan.
Di tengah menguatnya politik identitas yang menggejala di
tengah hiruk pikuk perpolitikan hari ini, identitas agama memang menjadi salah
satu unsur yang paling mendominasi. Di media sosial misalnya, ujaran kebencian,
tudingan, cecaran, dan persebaran hoax yang dikaitan dengan agama masih terus diproduksi.
Apalagi kalau agama sudah dihubung-hubungkan dengan pilihan
politik tertentu, adu argumen yang berujung debat kusir hampir selalu mewarnai
kolom-kolom komentar media sosial. Cara beragama yang ambisius ini lantas
melahirkan sekat-sekat. Pihak-pihak yang berbeda paham keagamaannya berdiri
saling berhadap-hadapan dengan ego masing-masing. Akibatnya, yang muncul ke
permukaan adalah narasi keagamaan yang tegang, kaku, dan menyeramkan.
Keadaan yang sedemikian sumpek itu perlu suasana baru agar
keberagamaan kita bisa berubah agak lebih cair, yakni menghadirkan narasi
keagamaan yang menggembirakan. Cara beragama yang selow seperti yang
ditunjukkan oleh akun NU Garis Lucu dan Muhammadiyah Garis Lucu dalam dialog di
awal. Dialog itu bisa jadi salah satu gambaran betapa seberbeda apa pun
pemahaman keagamaan kita, tak lantas menutup ruang untuk saling bercanda dan
bergembira.
Setiap kelompok keagamaan, apa pun itu, memang punya kewajiban
untuk mendakwahkan kebenarannya kepada yang lain. Mewartakan agama tentu tugas
mulia. Akan tetapi, jangan sampai upaya itu jatuh menjadi sikap penonjolan
identitas. Melebih-lebihkan diri dan menganggap pemahamannya sebagai satu-satunya
yang paling benar. Apalagi sampai jatuh ke arah pemaksaan.
Harus disadari bahwa setiap orang atau kelompok sudah pasti
punya konsep kebenaran versi masing-masing yang pasti tak musti sama. Karena itu, yang jauh lebih
penting dalam dakwah justru menghadirkan agama yang memuat nilai-nilai
substansial dan prinsip-prinsip kemanusiaan. Menyampaikan agama secara
manusiawi. Menghadirkan kegembiraan ini misalnya.
Agama tak harus selalu disimbolkan dengan hukum syariat yang
kaku atau ritus-ritus peribadatan
belaka, tapi juga oleh senyum, gelak tawa dan kegembiraan. Kegembiraan dalam
beragama penting dihadirkan untuk membawa kita menjadi lebih cair dan kembali
menemukan watak-watak kemanusiaan yang alami. Sebab dengan bergembira, kita
sama-sama menjadi manusia yang sebenarnya. Yang membutuhkankan tawa, canda,
aman, dan nyaman secara bersama.
Cara hubungan beragama dengan selow seperti NU dan Muhammadiyah
barangkali bukan suatu yang istimewa, sebab keduanya memang sudah kadung disebut
saudara kembar sejak lama. NU dan Muhammadiyah, meski memiliki tradisi dan corak
keberislaman yang berbeda, tak lantas membuat keduanya tersekat dalam kepahaman
yang kaku.Tapi justru sebaliknya, dua ormas terbesar di Indonesia ini mampu membangun
relasi hubungan antar kelompok keberagamaan yang harmonis, kompak dan gembira.
Menghadirkan kegembiraan inilah yang seharusnya dilakukan setiap
orang dan kelompok keagamaan. Sebab hadirnya agama bukanlah membawa ketakutan, tapi
justru harus bergembira dan menggembirakan orang lain. Mari beragama dengan
cara gembira dan saling menggembirakan. Gayeng, kalau pakai istilahnya orang Jogja.
Penulis adalah seorang santri tulen, alumnus S1 Ilmu Sejarah - Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Diponegoro, Semarang.
0 Komentar