Pada Agustus 2018, Tempo.co mencatat kenangan Rocky Gerung tentang selamat Natal yang disampaikan Abdurahman Wahid atau Gus Dur. Gerung menjawab kepada Gus Dur bahwa ia tidak serius dalam beragama, Gus Dur kemudian menimpali Gerung, dengan gayanya yang khas, “saya juga tidak serius member selamat”.
Demikian penggalan narasi Gus Dur dalam berelasi dengan orang-orang yang
memiliki keberagaman latar belakang. Seperti kita ketahui Rocky Gerung salah seorang filsuf dari Universitas Indonesia yang
sedang kesohor belakangan ini. Ia merupakan salah satu pendiri Setara Institute bersama dengan Abdurahman Wahid.
![]() |
Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Foto: nu.or.id |
Namun narasi antara Gerung dan Gus Dur menjadi batal dengan
pluralitas yang belakangan ini terjadi di Indonesia. Setahun
yang lalu kita dikejutkan dengan pemotongan tanda salib di pemakaman umum di
Yogyakarta. Sebelumnya, kasus penistaan agama yang dituduhkan kepada Meliana di Tanjung Balai.
Masih membekas dalam ingatan peristiwa penyerangan terhadap Rm. Edmund Prier saat sedang memimpin missa Paskah di Yogyakarta
sertakejadian-kejadian lain yang mencederai keharmonisan masyarakat pluralis kita. Dari rentetan peristiwa ini dapat dilihat bahwa relasi diskriminatif sedang menjangkiti sebagian masyarakat Indonesia. Ini merupakan sebuah tantangan bagi sebuah bangsa yang mengaku sebagai bangsa majemuk tetapi malah tidak menjamin harmonisnya perbedaan.
Rocky
Gerung dalam sebuah diskusi menekankan bahwa masyarakat hari-hari ini semakin tidak pluralis. Kenyataan ini menimbulkan Tanya dalam benak kita mengapa diskriminasi dan segregasi kelompok makin menguat? Desember 2009 adalah momen kelabu bagi masyarakat yang merindukan demokrasi dan pluralisme di Indonesia, karena saat itu Gus Dur, yang kita kenang sebagai symbol pluralisme itu telah berpulang ke dalam Rahim Sang Sumber Hidup untuk selamanya.
Oleh karena itu, Desember adalah bulan yang tepat untuk memikirkan ulang soal pluralisme, kebebasan dan intelektualitas. Mungkin kita perlu menggali kembali pemikiran-pemikiran Gus Dur
agar pemikiran itu tak hanya sebatas meme dan gimmick
dalam masyarkat.
Ternyata
Gus Dur Radikal
Setiap memasuki Natal di Desember,
perseteruan tentang
haram atau tidaknya mengucapkan selamat hari Natal kerap mewarnai ruang publik. Kelompok fundamentalis Islam menolak mengucapkan selamat Natal dengan dalil yang dipahami mereka sedangkan kelompok pluralis mebantah tentang haram mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani. Dalam hal ini, Gus Dur kerap mencontohkan dengan memberikan ucapan selamat Natal kepada umat Kristiani. Apa yang mendasari beliau untuk melakukan tindakan ini? Apa hanya sekedar menjaga perasaan sesame anak bangsa yang berbeda agama?
Ternyata kala
Gus Dur mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristen tidak sesederhana yang kita piker karena tindakan ini memiliki fondasi yang kuat sehingga sulit dibantah.
Akar tindakan Gus Dur terpampang dengan jelas ketika ia berpidato dalam acara Natal nasional pada 27 Desember 1999. Tirto.id
menceritakan kembali peristiwa ini dalam sosial budaya pada 25 Desember 2018, Gus Dur membuka pidatonya dengan salam khas Islam yaitu Assalamualaikum.
Gus Dur menyatakan bahwa saya sengaja tidak mengucapkan selamat malam, karena kata
Assalamualaikum berarti kedamaian atas kalian. Tindakan
Gus Dur ini menjadi unik karena, ia mengekspresikan keislamannya di hadapan umat Kristen. Umumnya, orang
akan menghindari ekspresi-ekspresi eksklusif dari komunitasnnya ketika sedang bertandang kepada komunitas lain, tetapi Gus Dur mematahkan kebiasaan itu.
Bahkan
di dalam artikel
yang ditulisnya pada Desember 2003 di Yerusalem dalam Suara Pembaruan, ia menjelaskan secara mendalam antara mauled dan Natal. Bagi Gus Dur kedua kata itu terlalu sempit untuk menampung kompleksitas makna di baliknya. Dalam artikel itu ia menjelaskan bahwa Natal tak hanya berbicara soal kelahiran fisik Isa Almasih melainkan juga kelahiran teologis sehingga ini yang membedakan dengan mauled walau keduanya juga merujuk kepada kelahiran fisik.
Dari kedua jejak pemikiran Gus Dur dapat kita pahami bahwa
terdapat dasar pemikiran yang dalam dan kuat yang menjadi fondasi relasi anatar
agamanya. Alhasil, kita dapat memahami bahwa pluralisme yang diusung Gus Dur bukan sebuah pluralisme yang berdasarkan pengalaman keseharian atau ketakutan karena terdesak. Dengan demikian, menjadi pluralis, moderat dan demokratis perlu memahami agamanya secara kritis-analitis sampai selesai baru merambah kepada agama lain untuk memahaminya. Jadi, Gus Dur mengajak kita untuk melihat agama-agama lain dari perspektif agama sendiri yang
lebih luas bukanmelompat langsung ke agama lain tanpa berpijak dari agama sendiri. Sebuah catatan bagi kita sekalian.
Selesai dengan Partikularisme
Pluralisme
yang dihidupi oleh
Gus Dur adalah pluralisme yang berangkat dari kesadaran. Artinya, ia mendasari pluralisme yang digemakannya berdasarkan pada intelektualitas bukan sekedar etika hidup bersama. Dapat kita bayangkan begitu banyak kata “kenapa” dalam benak Gus Dur karena kata “kenapa” merujuk kepada pemikiran kritis-analitis sehingga dapat menolong kita untuk mengurai dan memikirkan kembali terhadap nilai atau realitas apa pun. Dalam hal ini kita dapat memahami bahwa Gus Dur memakai nalar kritis secara total dalam partikularitasnya.
Kebiasaan ini selanggam dengan yang diutarakan oleh seorang
teolog Katolik Raimundo Panikkar tentang dialog intra agama. Bagi Panikkar,
sebelum kita membangun relasi dengan agama-agama lain, maka kita harus berdialog
dengan agama sendiri secara utuh agar memiliki dasar pemikiran yang dalam.
Karena, dialog yang antar agama itu tak lepas dari wawasan dan kritisisme, maka
untuk membangun relasi dengan agama lain harus memiliki wawasan internal dan nalar
kritis.
Jadi, diperlukan dinamika radikal dalam artian berpikir kritis
kepada radikalisme agama kita sendiri. Ini menunjukkan bahwa keterbukaan terhadap
agama sendiri sebelum terbuka dengan agama lain. seperti, Gus Dur yang memiliki
keterbukaan dengan keislamannya sebelum kepada agama lain. Gus Dur mencoba menjelaskan
Natal dalam perspektif umat tentang Maulid memang memiliki kemiripan dengan
Natal yakni merayakan kelahiran fisik tetapi
tidak sepenuhnya mirip karena Natal juga merayakan peristiwa inkarnasi Firman
Allah.
Hari-hari ini pluralisme tidak berangkat dari kesadaran untuk
terbuka dengan agamanya sendiri sehingga memiliki wawasan partikular yang
terhubung dengan serakan wawasan di luar kebudayaannya. Alhasil, dialog yang
terbangun adalah dialog semu yang hanya sekedar saling menghormati dan menghargai
tanpa mengetahui satu sama lain sehingga tidak terjadi pertukaran wawasan karena kita tidak memiliki wawasan partikular
yang dinamis.
Pluralisme yang dikerjakan oleh Gus Dur bukan sebuah
dialog yang mencari aman karena terdapat ketakutan melainkan sebuah dialog yang
jujur dan terbuka sehingga kita tak gelisah dengan perbedaan dan luka di masa lampau.
Pluralisme semacam ini malah mentransformasi relasi yang tadinya mandeg lalu menemukan pengertian satu sama lain soal perbedaan yang ada di lini masing-masing.
Dari
sini kita memahami bahwa perbedaan secara mendasar tidak menutup kemungkinan untuk berrelasi malah tercipta relasi yang berhasrat ingin tahu tentang keunikan dan perbedaan logika masing-masing. Sudah Sembilan
tahun Gus Dur meninggalkan kita, namun kepergiannya meninggalkan catatan untuk kita yaitu salamilah keunikan agama kita dengan kritisisme sehingga kita mampu menyelami keunikan agama lain tanpa perlu melepas keunikan sendiri. Dengan demikian, akan tercipta relasi yang saling menyuburkan.
Penulis adalah warga DKI Jakarta, alumnus Sekolah Tinggi Filsafat
Teologi Jakarta (STFT) Jakarta.
0 Komentar