Sayyed Muhammad Husain
al-Thabathaba’i adalah ilmuwan muslim yang sangat luas ilmunya. Lahir di Tibriz pada tahun 1271H/1892 M. Keluasan ilmunya
di samping ditunjang oleh background kehidupan yang berasal dari keluarga yang religius dan
mencintai pengetahuan, juga karena ketekunannya untuk mempelajari berbagai bidang
ilmu pengetahuan sejak kecil. Ia memulai pengembaraan intelektualnya di kota
kelahirannya Tibriz, kemudian melanjutkan pendidikannya di kota Najaf. Di sini,
dia belajar ilmu fiqih dan ushul fiqih.
Tidak hanya itu, ia juga
menekuni ilmu matematika, filsafat,
bahkan juga mempelajari buku al-Syifa’ karya Ibn Sina.
Al-Thabathaba’i juga mempelajari ilmu huduri[1]
yang menuntunnya kepada kesadaran spritual yang tinggi. Karena itu,
al-Thabathaba’i tidak hanya tampil sebagai intelektual yang menguasai berbagai
bidang ilmu pengetahuan, tetapi juga tampil sebagai intelektual yang zahid.[2] Ia dikenal sebagai intelektual yang sangat wara’[3].
Al-Thabathaba’i juga menekuni bidang teologi, hadis, sejarah, bahasa dan
sangat mendalami studi Ilmual-Qur’an.
![]() |
Prof. Dr. Umar Shihab, MA.Foto: Google |
Keluasan bidang ilmu yang
dikuasai dapat ditemukan ketika ia melakukan penafsiran terhadap al-Qur’an.
Karya monumentalnya dalam bidang tafsir ialah al-Mīzan fi Tafsīril Qur’an, Kitab ilmi, falsafi, adabi, tarikhi,
riwā’i, ijtimā’i, hadits, yufassirul
Qur’an bil Qur’an. Dalam pandangan Prof. Dr. Umar Shihab, al-Allamah
al-Thabathaba’imerupakan seorang ilmuwan yang menguasai berbagai bidang
keilmuan, khususnya sebagai seorang filosof dan arif sebagaimana terlihat dalam
tafsirnya al-Mizan. Dapat dilihat bahwa dari judul dan sub-judul kitab
tafsirnya memberi indikasi bahwa penulisnya juga memiliki pengetahuan yang luas
mencakup sains, filsafat, sastra, sejarah, riwayat, kemasyarakatan, hadis serta
penafsiran al-Qur’an.
Secara lebih spesifik,
Prof. Dr. Umar Shihab mengungkapkan bahwa pengaruh teologi yang dianut al-Thabathaba’i,
yakni teologi Syi’ah juga memiliki pengaruh dalam penafsiran ayat-ayat
al-Quran, yang cenderung ia pakai untuk menguatkan teologi Syi’ah sebagai
teologi yang dianutnya. Meskipun demikian, menurutnya
penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang terkait dengan teologi Syi’ah
selalu dibangun di atas argumentasi yang kuat. Sebagai contoh, iamengemukakan bahwa ketika al-Thabathaba’imenafsirkan surah
al-Maidah ayat [5]: 67.
يَا أَيُّهَا
الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ
فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لا
يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu. Dan jika
tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak
menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”
Ia menjelaskan, sebagai
seorang mufassir yang berfaham Syi’ah, al-Thabathaba’i memahami bahwa ayat ini
memerintahkan kepada Nabi saw untuk menyampaikan kepada umat manusia tentang
pengangkatan Ali bin Abu Thalib sebagai Imam[4]
setelah Rasulullah saw menyelesaikan tugasnya sebagai nabi dan rasul. Diungkapkan
pula olehnya bahwa menurut al-Thabathaba’i peristiwa ini terjadi ketika
Rasulullah saw kembali dari haji wada’
(haji perpisahan), ia bersama kaum muslimin berhenti di sebuah desa yang
bernama Ghadir Khum Muslim, dan ia menyatakan:
“Barang siapa yang
mengangkat aku sebagai pemimpinnya (maulahu), maka ‘Ali adalah pemimpinnya
(maulahu) juga.[5]
Menurut Prof. Dr. Umar
Shihab hadis ini tidak hanya dikenal dikalangan Syi’ah tetapi juga mashur
dikalangan Sunni, meskipun secara umum
hadis tersebut dikalangan Sunni dipahami sebagai keutamaan Ali dan tidak secara
spesifik dipahami sebagai isyarat pengangkatan
Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin (Imam) yang diangkat menggantikan
Rasulullah saw.
Sementara itu Prof. Dr.
Umar Shihab menjelaskan bahwa dalam bidang filsafat al-Thabathaba’i juga
termasuk dalam ulama yang ahli dalam filsafat
Islam, yangmana ini dibuktikan dengan karya monumentalnya dalam bidang
filsafat tentang prinsip-prinsip filsafat dan metode realisme.[6]Bagi
Prof. Umar Shihab, yang menarik dari pendekatan filosofis yang digunakan
al-Thabathaba’i dalam memahami makna kandungan al-Qur’an adalah apa yang
disebut sebagai bahts falsafiyang justru dimaksudkan untuk memperkuat
eksistensi al-Qur’an itu sendiri sebagai sebuah kitab hidayah yang tidak
bertentangan dengan akal manusia, karena itulah kemudian menurutnya al-Qur’an
dapat didekati dengan pendekatan filosofis.
Di sisi lain, sebagai ilmuwan
yang menekuni dan mengamalkan ilmu hudhuri atau ‘irfān,
penafsirannya terhadap ayat-ayat al-Qur’an pun tidak hanya mengandung
penafsiran eksoterik (zhahirī) tetapi juga mengandung penafsiran
esoterik (bathinī).
Sementara itu, jika
dilihat dari corak penafsirannya (Tafsir al-Mizan) khususnya dilihat dari
sumber rujukan, baik kitab tafsir, hadis, sejarah dan tatabahasa. Prof. Dr. Umar Shihab memberikan penjelasan bahwa jika
dilihat dari sumber penafsiran, secara umum corak tafsir terbagi atas tiga
bagian, yaitu tafsīr bi al-ma’tsur, tafsīr bi al-ra’yi, dan tafsīr
isyari. Dari ketiga corak tersebut, jika dilihat dari sumber-sumber
penafsirannya, dapat dinyatakan bahwa Tafsir al-Mizan mencakup ke dalam tiga
corak tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa
Tafsir al-Mizan adalah sebuah karya yang multi corak (memiliki beragam
corak penafsiran).
Tafsir
al-Mizan dapat dikatakan sebagai salah satu tafsir yang bercorak al-ma’tsur,
jika yang dimaksudkan adalah tafsir al-Qur’an dengan menggunakan al-Qur’an atau
tafsir al-Qur'an dengan menggunakan Hadis Nabi Saw. Ia juga mengatakan, bahwa
di dalam Tafsir al-Mizan sendiri secara tegas menyatakan bahwa di dalam
penafsirannya juga dilakukan dengan menggunakan hadis Nabi saw bahkan yang
paling menonjol adalah penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an.
Prof. Dr. Umar Shihab memaparkan,
menurut al-Thabathaba’i bahwa al-Qur’an akan
selalu sesuai terhadap kondisi umat manusia yang diturunkan ke qalbu Nabi
Muhammad sawmeskipun dengan latar belakang kondisi sosial historis dan kultural
masyarakat Arab. Karena itu, menurut
al-Thabathaba’i, al-Qur’an harus dipahami dari
yang diungkapkan oleh diri al-Qur'an itu sendiri, dalam pengertian bahwa
biarkanlah al-Qur’an menafsirkan dirinya sendiri, bukan yang dipahami secara
subjektif oleh mufassir.
Menurut Prof. Dr. Umar Shihab
ketika al-Qur’an ditafsirkan oleh dirinya sendiri —oleh ayat yang tekandung di
dalamnya—itu akan mengurangi atau menghindari unsur subjektivitas mufassir.
Penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an memberikan petunjuk bahwa, al-Qur’an memiliki pengertian yang
bila dibiarkan berbicara sendiri, maka akan menjadikan al-Qur’an tidak
terkebiri atau terintervensi oleh subjektifitas para panafsir.
Bahkan ia mengapresiasi
bahwa, penafsiran al-Qur’an dengan hadis yang terdapat dalam Tafsir al-Mizan
tidak hanya terbatas pada kitab-kitab hadis yang berasal dari kalangan
Syi’ah, tetapi juga hadis-hadis yang bersumber dari kalangan Ahlusunnah.
Demikian pula kitab-kitab tafsir yang dijadikan rujukan, tidak hanya terbatas
pada kitab tafsir yang ditulis oleh mufassir yang berasal dari kalangan Syi’ah,
tetapi juga kitab-kitab tafsir yang ditulis oleh mufasir yang berasal dari
Ahlusunnah, seperti Tafsīr Jami’ al-Bayan fi tafsīr al-Qur’ān karya Ibnu
Jarir al-Thobari dan al-Dzur al-Mansyur fī al-Tafsīr bi al-Ma'tsur karya
Jalaludin Suyuthi.
Hal yang sangat menonjol
dalam tafsir al-Mizan adalah bahts riwā'i yang secara umum menukil
pendapat para ulama yang terkait dengan ayat yang dibahas. Maka, fakta-fakta
sejarah menjadi salah satu sumber rujukan al- Thabathaba’i dalam mengelaborasi (pengerjaan
dengan teliti) makna dan kandungan al-Qur’an. Selain corak bi al-ma’tsur,
seperti yang dikemukakan diatas, dalam Tafsir al-Mizan ditemukan pula corak bi
al-ra’yi, khususnya bila dilihat dari sumber-sumber penafsirannya yang
menggunakan pendekatan saintifik, pendekatan filosofis, linguistik, sosial
budaya, yang justru menjadi bagian yang banyak ditemukan dalam tafsir ini.
Terkait dengan hal
ini, al- Thabathaba’i menggunakan
rujukan Tafsīr Mafātih al-Ghaib karya
Fakh al-Razi, Tafsīr al-Kasyaf karya Zamakhsyari, bahkan Tafsīr al-Manar karya monumental Syekh Muhammad Abduh dan Sayyed
Muhammad Rasyid Ridha. Juga, menggunakan rujukan
berupa kamus seperti Lisan al-Arab dan al-Muhīth. Bahkan juga didapati dalam tafsirnya mengutip dari sumber kitab-kitab suci dari luar Islam, seperti Taurat, Injil, dan Veda.[7]
Pada saat yang sama jika ditelaah lebih
mendalam, dapat dinyatakan bahwa Tafsir al-Mizan memiliki corak isyari,
khususnya pemahaman esoteris terhadap
ayat-ayat al-Qur’an. Hal ini juga dapat dipahami dari sosok al-Thabathaba’i
sebagai seorang arif yang memiliki pengetahuan, pemahaman, bahkan pengamalan
terhadap aspek-aspek tuntunan al-Qur’an yang bersifat bathinī. Hal ini
didukung oleh penguasaannya yang mendalam terhadap aspek-aspek esoterik ajaran Islam dari Ibnu al-Arabi dan Suhrawardi.
Kemudian Prof. Dr. Umar
Shihab menjelaskan bahwa bahts falsafi (pembahasan secara
filosofis) adalah bagian yang sangat
menonjol dalam Tafsir al-Mizan, sehingga dapat dikatakan metode berfikir
filosofis dan pendapat-pendapat filosof sebagai pisau analisis untuk memahami
makna dan kandungan al-Qur’an yang menjadi ciri khas Tafsir al-Mizan. Kenyataan
tersebut merupakan dampak logis dari sosok al-Thabathaba’i sebagai seorang
filosof yang sangat populer di abad ke-20 M. Pada saat yang sama ia juga
menguasai pendapat filosof-filosof Muslim klasik, seperti al-Farabi dan Ibn
Sina. Tetapi juga sebagai seorang
mufassir, al-Thabathaba’i tidak serta-merta mengambil metode
berpikir filosofis dan pendapat para filosof
untuk memahami makna dan kandungan al-Qur’an. Tidak jarang pendapat filosof ia
tolak jika tidak sesuai dengan petunjuk al-Qur’an. Hal yang menarik dari corak Tafsir
al-Mizan adalah pada penggunaan metode
berpikir filosofis, di mana pendapat filosofisnya justru untuk memperkuat keyakinan akan kebenaran al-Qur’an dan bukan sebaliknya.
Dalam menafsirkan Allamah
al-Thabathaba’i pun melakukan rujukan hadis dari beberapa kitab Ahlussunah, seperti Shahih Bukhari dan Muslim, walaupun
dibatasi pada hadis yang mempunyai
persamaan di antara hadis yang terdapat
dalam kitab Sunni dan Syi’ah. Dia sendiri—dikatakan oleh Prof. Dr. Umar
Shihab—terpengaruh oleh filosof-filosof Islam klasik seperti al-Farabi dan Ibn
Sina, tetapi bukan berarti dengan serta-merta al-Thabathaba’i membenarkan semua
pendapat mereka, dengan kata lain bahwa ia terlebih dahulu memahami makna atau
ide-ide para filosof tersebut, kemudian setelah ia memahami barulah kemudian
dia memanfaatkannya untuk menafsirkan al-Qur’an, tetapi dengan prinsip bahwa
digunakannya teori-teori filosof
tersebut guna memperkuat al-Qur’an, bukan sebaliknya.
Prof.Dr. Umar Shihab mengatakan bahwa al-Thabathaba’i
tidak pernah mengutip pendapat orang (baca: filosof), tetapi corak filosofis
yang ada pada tafsir-tafsir yang lalu,
ada yang ia ikuti dan ada juga yang tidak diikuti.Kemudian kembali ke
persoalan takwil yang terdapat di dalam Tafsir al-Mizan, bahwa al-Thabathaba’i
berpendapat setiap ayat al-Qur’an dapat dipahami dari dua sisi, yakni makna
tersurat (zahir) dan makna yang tersirat (batin). Untuk makna bathīni
ini al-Thabathaba’i menggunakan istilah takwil dalam memahami makna-makna batin
dari ayat-ayat al-Qur’an, karena menurut al-Thabathabai’i makna batinlah
sebenarnya yang lebih banyak terdapat
dari ayat-ayat al-Qur’an. Meskipun untuk makna batin ini, hanya bisa diungkap
oleh mereka yang memiliki otoritas untuk menerjemahkan agama.
Al-Thabathaba’i menjelaskan bahwa terdapat perbedaan dikalangan mufassir tentang takwil.
Ulama mutaqaddimīn (klasik) pada umumnya menyamakan pengertian tafsir,
takwil, serta ulumul tafsir (kendati ada yang mengatakan kitab ‘Ulumul Qur’ān adalah ‘Ulumul Tafsīr). Kaidah seperti al-asbab al-nuzul, nasikh
mansukhmerupakanbagian daripada ilmu-ilmu tafsir yang kemudian dikembangkan
menjadi ulumul Qur’an. Al-Thabathaba’i mengatakan bahwa ilmu yang utama itu terdapat dalam al-Qur’an dan juga sebagai
pedoman utama dimana seorang muslim harus mempelajari tafsir dan tafsir
tersebut tidak bisa dipilah-pilah tetapi harus secara utuh
diambil untuk mempelajari al-Qur’an, sementara ulama mutaakhirīn (kontemporer)
pada umumnya memahami bahwa takwil mempunyai makna yang berbeda dari makna
lahir dari suatu ayat.
Sebagaicontoh ketika menafsirkan Q.S al-Nisa [4]: 59:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ
وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran)
dan Rasul (Sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Prof. Dr. Umar Shihab kembali menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan takwil dalam ayat ini adalah kukuhnya persatuan dan
tegaknya hubungan-hubungan spritual dalam masyarakat. Hal ini, merupakan hakikat lahiriah dan bukan merupakan sesuatu
yang berbeda dari aspek batin yang merujuk pada perselisihan.
Makna takwil dalam pandangan Thabataba’isendiri
merupakan makna yang tersirat dari
al-Qur’an, danjuga takwil merupakan sesuatu
yang menjadi tempat rujukan ayat. Karena
itu, sesuatu merupakan isyarat dan pemenuhannya, makna seperti itu terungkap
dalam al-Qur’an, karena kitab ini
bersumber pada serangkaian kebenaran dan masalah-masalah spiritual yang
terlepas dari hal-hal yang bersifat material dan fisikal, ia berada di atas
indera kita dan di atas hal-hal yang lahiriah, dan bentuknya jauh lebih luas dari
pada kata-kata dan kalimat yang
merupakan produk kehidupan material. Karena itu, penggunaan takwil dalam Tafsir
al-Mizan lebih banyak menunjuk pada pengungkapan makna-makna batin dari suatu
ayat.
Al-Thabathaba’i tidak
menakwilkan huruf muqaththa’ah,[8]
dan meskipun ia menggunakan takwil dalam tafsirnya namun itu tidak menjadi
corak utama dalam tafsirnya. Ia juga menggunakan tafsir kebahasaan tapi tidak
secara utuh penggunaannya, misalnya
tafsiran beberapa kata kalam
dalam al-Qur’an, dia menggali kandungan kalimat dan kata-perkata dalam
al-Qur’an atau setengah ayat yang diterapkan oleh ayat-ayat lain. Hal ini,
banyak didapati dalam penafsirannya. Yang jelas, banyak pendapat di dalam Tafsir
al-Mizan relevan dengan kata yang digunakan sekarang ini —sejak ditulisnya
penafsiran itu—dan belum ditemukan orang yang bisa melakukan argumentasi yang
berbeda (baca: setara) dengan Tafsir al-Mizan.
Di dalam tafsir-tafsir
yang dahulu misalnya Qs. Ar-Ra’ad ayat 8, “Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan,
dan kandungan rahim yang kurang sempurna dan yang bertambah. Dan segala sesuatu
pada sisi-Nya ada ukurannya”,
dikatakan (baca: ditafsirkan) “kamu
tidak tahu yang lahir itu laki-laki atau perempuan”,dulu orang-orang
masih menafsirkan bahwa hal itu adalah hanya Tuhan yang tahu, tetapi untuk
zaman seperti sekarang ini semua itu sudah bisa diketahui dengan teknologi
canggih yang disebut dengan USG (Ultrasonography), wanita-wanita yang
hamil dapat mengetahui anak yang dikandungnya apakah berjenis kelamin perempuan
atau laki-laki, sehingga tafsir itu tidak relevan lagi untuk saat ini.
Dikatakan juga bahwa dalam Tafsiral-Mizan belum
ditemukan ada penafsiran yang bertentangan dengan kaidah ilmiah. Sehingga
tafsir “kamu tidak tahu yang lahir
itu laki-laki atau perempuan” itu
kemudian berkembang dan berubah menjadi lata’lamūna syai’ā,
karena tidak mengetahui sedikitpun tentang nasibnya, berapa umurnya, kapan dia kawin, apakah dia
menjadi orang kaya atau orang miskin.
Menurut Prof. Dr. Umar
Shihab ia belum menemukan isi Tafsir al-Mizan bertentangan dengan kondisi keilmuan, tetapi penafsiran yang
bertentangan dengan penafsiran kelompok Sunni itu banyak tejadi, misalnya
pengertian salasata quru’ ada yang mengartikan haid, namun disisi lain ada juga yang mengartikan bersih, ia mengomentari itu—jelasnya itu adalah
keterangan Ali bin Abi Thalib.—bahwa,
yang dimaksud quru’ adalah suci,
di sini kita melihat bahwa pendapatnya lebih masuk akal. Prof. Dr. Umar Shihab menyatakan bahwa
orang yang bercerai mestinya dihitung dengan kesuciannya bukan dihitung dengan
haidnya.
Sementara itu, apakah ada
pengaruh Tafsir al-Mizan terhadap perkembangan ilmu tafsir setelahnya, Prof.
Dr. Umar Shihab menjelaskan bahwaTafsir
al-Mizan adalah salah satu karya tafsir yang berkontribusi terhadap
perkembangan ilmu tafsir. Salah satu keistimewaan Tafsir al-Mizan yang sangat
terkait dengan penulisnya adalah adanya keluasan bidang ilmu yang dikuasainya,
sehingga ilmu-ilmu yang dimiliki dengan mudah direlevansikan (dihubungkan)
dalam memahami makna dan kandungan al-Qur’an yang sekaligus memberikan corak
tersendiri pada Tafsir al-Mizan.
Tafsir al-Qur’an dengan
al-Qur’an, al-Qur’an dan hadis, dan penafsiran al-Qur’an berdasarkan riwayat
yang dinukil dari ulama, melahirkan tafsir yang bercorak bi al-ma’tsur.
Demikian pula, pendekatan saintifik dan
filosofis, pendekatan kebahasaan, sosiologis dan historis yang akhirnya
melahirkan corak tafsīr bi al-ra’yi, walaupun hal tersebut bukanlah yang
mendominasi di dalam Tafsir al-Mizan. Di sisi lain, sebagai seorang arif yang
banyak menelusuri makna batin dari al-Qur’an, sesungguhnya dapat pula dikatakan
tafsir tersebut sebagai tafsir yang bercorak isyari.
Prof. Dr. Umar Shihab
mengatakan bahwa dalam penafsiran seluruh ayat-ayat hukum at-Thabathab’i tidak
seluruhnya menggunakan pendekatan yang filosofis, dia menambahkan bahwa
at-Thabathab’i juga menggunakan takwil dalam menafsirkan al-Qur’an, jadi tidak
hanya menggunakan teori falsafi untuk kelengkapan dalam Tafsir al-Mizan, ia juga menggunakan takwil selama tidak
bertentangan dengan ayat al-Qur’an
ataupun hadis dan kaidah-kaidah dalam ajaran Islam.
Tentu saja tidak mudah
melahirkan tafsir seperti itu dalam konteks kekinian, karena semakin hari
semakin sedikit kita dapat temukan ilmuwan yang memiliki keilmuan yang kompleks
(luas) seperti Thabathaba’i. Hal ini, bisa jadi karena ilmuwan sekarang lebih
terfokus kedalam satu kajian kelimuan yang lebih spesifik saja. Pendekatan
filosofis yang menjadi salah satu corak dari Tafsir al-Mizan adalah salah satu pendekatan yang dapat
dikembangkan dewasa ini.
Dia telah meletakan dasar-dasar
penafsiran filosofis yang sangat fundamental, yakni metode berpikir filosofis
yang digunakan untuk memahami makna dan kandungan al-Qur’an, sehingga al-Qur’an
sebagai kitab hidayah dapat bersinergi dengan kemajuan rasional manusia,
sehingga wahyu dan akal tidak dipertentangkan. Dan itu dapat kita lihat dan
rasakan pada pendekatan fiilosofis yang dilakukan al-Thabathaba’i yang justru mengokohkan
akidah dan tauhid serta mendekatkan manusia kepada Allah SWT.
Sementara dalam konteks
Indonesia sendiri tafsir yang juga memiliki corak filosofis adalahTafsir
al-Azhar karya Hamka. Pada akhirnya, ungkapan bahwa corak filosofis dari suatu
penafsiran bertujuan untuk mencari kebenaran dan kebenaran itu ada didalam al-Qur’an, ini berbeda seperti pernyataan
filosof bahwa kebenaran itu ada pada hati nurani. Seperti hadis “istantīqal-qalb” tetaplah hati nuranimu.
[1]
Ilmu hudhuri yang dimaksud adalah ilmu batin/ irfan.
[2]Zahid
adalah orang yang menganggap
dunia ini kecil dan menghilangkan semua pengaruhnya dalam hati, yakni
mengosongkan hati dari cinta kepada dunia dan semua keindahannya, serta mengisinya
dengan cinta kepada Allah dan makrifat kepadanya. Zuhud tidak berarti bahwa
seorang mukmin melepaskan diri dari hal duniawi dan mengosonkan tangannya dari
harta sehingga menjadi beban bagi orang lain, akan tetapi seorang zahid yang hakiki adalah seorang yang
menghilangkan kecintaan terhadap dunia dari
dalam hati, namun tidak memalingkan hatinya kepada dunia dan tidak pula
menyibukkan hatinya kepada hal duniawi
yang membuatnya lupa dari tujuan diciptakannya manusia.
[3]Wara’ adalah upaya
seseorang menghindari hal-hal yang syubhat (samar) karena takut
terjerumus ke dalam hal-hal yang haram. Sikap wara’ juga
merupakan suatu sikap orang yang meninggalkan apa-apa yang
mengotori hatinya dan membuatnya selalu dalam kekhawatiran dan kekacauan.
Istilah wara’ ini seringnya dikenal dikalangan sufi yang senantiasa
menjauhi beragam pikiran yang mengacaukan hati mereka dan beragam bisikan yang
membimbangkan jiwa mereka. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Tinggalkanlah
apa-apa yang meragukanmu menuju apa-apa yang tidak meragukanmu “HR.Tirmidzi.Adapun
tingkatan wara’ yang paling tinggi yakni menganggap bahwa
segala sesuatu yang membuatmu lalai danlupa kepadaAllah adalah suatu kecelakaan
bagimu. “Dan kebajikan adalah budi pekerti yang baik. Sedangkan dosa
adalah apa yang meresahkan hatimu, dan engkau enggan orang lain mengetahuinya.”
[4]Imam dalam mazhab Syi’ah adalah para ma’sumin (orang-orang suci
atau terjaga dari dosa). Dalam Syi’ah Itsna ‘As’ariyah jumlah Imam adalah 12
orang dimulai dari Ali bin Abi Thalib sampai Imam Mahdi. Syi’ah meyakini bahwa
para Imam adalah penerus dari misi kenabian Muhammad saw setelah wafat, dan
mereka inilah yang memiliki otoritas tertinggi dalam menafsirkan teks Suci
setelah ia wafat. Imamah dalam mazhab Syi’ah dimasukkan ke dalam bagian Aqidah
bukan furu’ (Lihat Emilia Renita AZ. dalam buku yang sama, bab
11, hal. 96). Bukan hanya itu, menurut Syi’ah, selain bermuatan keagamaan,
doktrin Imamah juga bermuatan sosial kemasyarakatan. Artinya (Menurut Prof. Dr.
Rosihon Anwar), seorang tokoh agama (ayatullah) selain mempunyai otoritas dalam
ilmu agama, oleh karena itu fatwa-fatwa mereka harus ditaati dan diikuti, di
mana juga mereka adalah pemimpin masyarakat yang tidak terlepas dari tugasnya
mengatasi masalah ummat. Dari sini kemudian menurut Prof. Dr. Rosihon Anwar
kata Imamah memuat tiga dimensi. Pertama, sebagai otoritas
keagamaan. Kedua, sebagai symbol manusia sempurna. Ketiga, sebagai walayat dan
kepemimpinan politik.
[5]Redaksi lengkap hadis di atas adalah, “Barang siapa yang
mengangkat aku sebagai pemimpinnya (maulahu), maka ‘Ali adalah pemimpinnya
(maulahu) juga. Ya Allah, cintailah mereka yang mencintai dia dan musuhi mereka
yang memusuhi dia.” Ini adalah salah satu hadis pada peristiwa Ghadir
Khum, salah satu orang yang mengumpulkan hadis-hadis Ghadir Khum adalah
Al-Amini dalam kitabnya ensiklopedis –Al-Ghadir, ia mengulasnya
hingga 11 jilid. Hadis di atas juga dimuat dalam kitab-kitab seperti;
Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani 2:348, Al-Fakhr al-Razi, 12:50, Al-Suyuthi, Al-Durr
al-Mantsur 2:298, dll. (Lihat Emilia Renita AZ dalam bukunya 40
Masalah Syi’ah, bab 7, hal. 65-73)
[6]Beberapa karyanya di bidang filsafat adalah Bidayah
al-Hikmah dan Nihayah al-Hikmah.
[7] Ini adalah pernyataan dari Prof. Dr. Umar Shihab.
[8] Ayat-ayat yang hanya berupa huruf-huruf hija’iyah,
seperti Alif, Lam, Mim.
0 Komentar