Corak Tafsir Al-Mizan Menurut Prof. Dr. Umar Shihab

Sayyed Muhammad Husain al-Thabathaba’i adalah ilmuwan muslim yang sangat luas ilmunya. Lahir di Tibriz pada tahun 1271H/1892 M. Keluasan ilmunya di samping ditunjang oleh background kehidupan  yang berasal dari keluarga yang religius dan mencintai pengetahuan, juga karena ketekunannya untuk mempelajari berbagai bidang ilmu pengetahuan sejak kecil. Ia memulai pengembaraan intelektualnya di kota kelahirannya Tibriz, kemudian melanjutkan pendidikannya di kota Najaf. Di sini, dia belajar ilmu  fiqih dan ushul fiqih.
Tidak hanya itu, ia juga menekuni ilmu matematika, filsafat,  bahkan juga mempelajari buku al-Syifa’ karya Ibn Sina. Al-Thabathaba’i juga mempelajari ilmu huduri[1] yang menuntunnya kepada kesadaran spritual yang tinggi. Karena itu, al-Thabathaba’i tidak hanya tampil sebagai intelektual yang menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan, tetapi juga tampil sebagai intelektual  yang zahid.[2]  Ia dikenal sebagai intelektual yang sangat wara’[3]. Al-Thabathaba’i juga menekuni bidang teologi, hadis, sejarah, bahasa dan sangat mendalami studi Ilmual-Qur’an.
Prof. Dr. Umar Shihab, MA.Foto: Google
Keluasan bidang ilmu yang dikuasai dapat ditemukan ketika ia melakukan penafsiran terhadap al-Qur’an. Karya monumentalnya dalam bidang tafsir ialah al-Mīzan fi Tafsīril  Qur’an, Kitab ilmi, falsafi, adabi, tarikhi, riwā’i, ijtimā’i, hadits,  yufassirul Qur’an bil Qur’an. Dalam pandangan Prof. Dr. Umar Shihab, al-Allamah al-Thabathaba’imerupakan seorang ilmuwan yang menguasai berbagai bidang keilmuan, khususnya sebagai seorang filosof dan arif sebagaimana terlihat dalam tafsirnya al-Mizan. Dapat dilihat bahwa dari judul dan sub-judul kitab tafsirnya memberi indikasi bahwa penulisnya juga memiliki pengetahuan yang luas mencakup sains, filsafat, sastra, sejarah, riwayat, kemasyarakatan, hadis serta penafsiran al-Qur’an.
Secara lebih spesifik, Prof. Dr. Umar Shihab mengungkapkan bahwa pengaruh teologi yang dianut al-Thabathaba’i, yakni teologi Syi’ah juga memiliki pengaruh dalam penafsiran ayat-ayat al-Quran, yang cenderung ia pakai untuk menguatkan teologi Syi’ah sebagai teologi yang dianutnya. Meskipun demikian, menurutnya penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang terkait dengan teologi Syi’ah selalu dibangun di atas argumentasi yang kuat. Sebagai contoh, iamengemukakan bahwa ketika al-Thabathaba’imenafsirkan  surah al-Maidah ayat [5]: 67.
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”
Ia menjelaskan, sebagai seorang mufassir yang berfaham Syi’ah, al-Thabathaba’i memahami bahwa ayat ini memerintahkan kepada Nabi saw untuk menyampaikan kepada umat manusia tentang pengangkatan Ali bin Abu Thalib sebagai Imam[4] setelah Rasulullah saw menyelesaikan tugasnya sebagai nabi dan rasul. Diungkapkan pula olehnya bahwa menurut al-Thabathaba’i peristiwa ini terjadi ketika Rasulullah saw kembali  dari haji wada’ (haji perpisahan), ia bersama kaum muslimin berhenti di sebuah desa yang bernama Ghadir Khum Muslim, dan ia menyatakan:
“Barang siapa yang mengangkat aku sebagai pemimpinnya (maulahu), maka ‘Ali adalah pemimpinnya (maulahu) juga.[5]
Menurut Prof. Dr. Umar Shihab hadis ini tidak hanya dikenal dikalangan Syi’ah tetapi juga mashur dikalangan  Sunni, meskipun secara umum hadis tersebut dikalangan Sunni dipahami sebagai keutamaan Ali dan tidak secara spesifik dipahami sebagai isyarat pengangkatan  Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin (Imam) yang diangkat menggantikan Rasulullah saw.
Sementara itu Prof. Dr. Umar Shihab menjelaskan bahwa dalam bidang filsafat al-Thabathaba’i juga termasuk dalam ulama yang ahli dalam filsafat  Islam, yangmana ini dibuktikan dengan karya monumentalnya dalam bidang filsafat tentang prinsip-prinsip filsafat dan metode realisme.[6]Bagi Prof. Umar Shihab, yang menarik dari pendekatan filosofis yang digunakan al-Thabathaba’i dalam memahami makna kandungan al-Qur’an adalah apa yang disebut sebagai bahts falsafiyang justru dimaksudkan untuk memperkuat eksistensi al-Qur’an itu sendiri sebagai sebuah kitab hidayah yang tidak bertentangan dengan akal manusia, karena itulah kemudian menurutnya al-Qur’an dapat didekati dengan pendekatan filosofis.
Di sisi lain, sebagai ilmuwan yang menekuni dan mengamalkan ilmu hudhuri atau ‘irfān, penafsirannya terhadap ayat-ayat al-Qur’an pun tidak hanya mengandung penafsiran eksoterik (zhahirī) tetapi juga mengandung penafsiran esoterik (bathinī).
Sementara itu, jika dilihat dari corak penafsirannya (Tafsir al-Mizan) khususnya dilihat dari sumber rujukan, baik kitab tafsir, hadis, sejarah dan tatabahasa. Prof. Dr. Umar Shihab memberikan penjelasan bahwa jika dilihat dari sumber penafsiran, secara umum corak tafsir terbagi atas tiga bagian, yaitu tafsīr bi al-ma’tsur, tafsīr bi al-ra’yi, dan tafsīr isyari. Dari ketiga corak tersebut, jika dilihat dari sumber-sumber penafsirannya, dapat dinyatakan bahwa Tafsir al-Mizan mencakup ke dalam tiga corak tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa  Tafsir al-Mizan adalah sebuah karya yang multi corak (memiliki beragam corak penafsiran).
Tafsir al-Mizan dapat dikatakan sebagai salah satu tafsir yang bercorak al-ma’tsur, jika yang dimaksudkan adalah tafsir al-Qur’an dengan menggunakan al-Qur’an atau tafsir al-Qur'an dengan menggunakan Hadis Nabi Saw. Ia juga mengatakan, bahwa di dalam Tafsir al-Mizan sendiri secara tegas menyatakan bahwa di dalam penafsirannya juga dilakukan dengan menggunakan hadis Nabi saw bahkan yang paling menonjol adalah penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an.
Prof. Dr. Umar Shihab memaparkan, menurut al-Thabathaba’i  bahwa al-Qur’an akan selalu sesuai terhadap kondisi umat manusia yang diturunkan ke qalbu Nabi Muhammad sawmeskipun dengan latar belakang kondisi sosial historis dan kultural masyarakat Arab. Karena itu,  menurut al-Thabathaba’i, al-Qur’an harus dipahami dari  yang diungkapkan oleh diri al-Qur'an itu sendiri, dalam pengertian bahwa biarkanlah al-Qur’an menafsirkan dirinya sendiri, bukan yang dipahami secara subjektif oleh mufassir.
Menurut Prof. Dr. Umar Shihab ketika al-Qur’an ditafsirkan oleh dirinya sendiri —oleh ayat yang tekandung di dalamnya—itu akan mengurangi atau menghindari unsur subjektivitas mufassir. Penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an memberikan petunjuk  bahwa, al-Qur’an memiliki pengertian yang bila dibiarkan berbicara sendiri, maka akan menjadikan al-Qur’an tidak terkebiri atau terintervensi oleh subjektifitas para panafsir. 
Bahkan ia mengapresiasi bahwa, penafsiran al-Qur’an dengan hadis yang terdapat dalam Tafsir al-Mizan tidak hanya terbatas pada kitab-kitab hadis yang berasal dari  kalangan  Syi’ah, tetapi juga hadis-hadis yang bersumber dari kalangan Ahlusunnah. Demikian pula kitab-kitab tafsir yang dijadikan rujukan, tidak hanya terbatas pada kitab tafsir yang ditulis oleh mufassir yang berasal dari kalangan Syi’ah, tetapi juga kitab-kitab tafsir yang ditulis oleh mufasir yang berasal dari Ahlusunnah, seperti Tafsīr Jami’ al-Bayan fi tafsīr al-Qur’ān karya Ibnu Jarir al-Thobari dan al-Dzur al-Mansyur fī al-Tafsīr bi al-Ma'tsur karya Jalaludin Suyuthi.
Hal yang sangat menonjol dalam tafsir al-Mizan adalah bahts riwā'i yang secara umum menukil pendapat para ulama yang terkait dengan ayat yang dibahas. Maka, fakta-fakta sejarah menjadi salah satu sumber rujukan al- Thabathaba’i dalam mengelaborasi (pengerjaan dengan teliti) makna dan kandungan al-Qur’an. Selain corak bi al-ma’tsur, seperti yang dikemukakan diatas, dalam Tafsir al-Mizan ditemukan pula corak bi al-ra’yi, khususnya bila dilihat dari sumber-sumber penafsirannya yang menggunakan pendekatan saintifik, pendekatan filosofis, linguistik, sosial budaya, yang justru menjadi bagian yang banyak ditemukan dalam tafsir ini.
Terkait dengan hal ini,  al- Thabathaba’i menggunakan rujukan Tafsīr Mafātih al-Ghaib karya Fakh  al-Razi, Tafsīr al-Kasyaf karya Zamakhsyari, bahkan Tafsīr al-Manar karya monumental Syekh Muhammad Abduh dan Sayyed Muhammad Rasyid Ridha. Juga, menggunakan rujukan berupa kamus seperti Lisan al-Arab dan al-Muhīth. Bahkan juga didapati dalam tafsirnya mengutip dari sumber kitab-kitab suci dari  luar Islam, seperti Taurat, Injil, dan Veda.[7] Pada  saat yang sama jika ditelaah lebih mendalam, dapat dinyatakan bahwa Tafsir al-Mizan memiliki corak isyari, khususnya pemahaman  esoteris terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Hal ini juga dapat dipahami dari sosok al-Thabathaba’i sebagai seorang arif yang memiliki pengetahuan, pemahaman, bahkan pengamalan terhadap aspek-aspek tuntunan al-Qur’an yang bersifat bathinī. Hal ini didukung oleh penguasaannya yang mendalam terhadap aspek-aspek esoterik  ajaran Islam dari Ibnu al-Arabi dan Suhrawardi.
Kemudian Prof. Dr. Umar Shihab menjelaskan bahwa bahts falsafi (pembahasan secara filosofis) adalah bagian yang sangat menonjol dalam Tafsir al-Mizan, sehingga dapat dikatakan metode berfikir filosofis dan pendapat-pendapat filosof sebagai pisau analisis untuk memahami makna dan kandungan al-Qur’an yang menjadi ciri khas Tafsir al-Mizan. Kenyataan tersebut merupakan dampak logis dari sosok al-Thabathaba’i sebagai seorang filosof yang sangat populer di abad ke-20 M. Pada saat yang sama ia juga menguasai pendapat filosof-filosof Muslim klasik, seperti al-Farabi dan Ibn Sina. Tetapi juga sebagai seorang  mufassir, al-Thabathaba’i tidak serta-merta mengambil metode berpikir filosofis dan pendapat para filosof untuk memahami makna dan kandungan al-Qur’an. Tidak jarang pendapat filosof ia tolak jika tidak sesuai dengan petunjuk al-Qur’an. Hal yang menarik dari corak Tafsir al-Mizan  adalah pada penggunaan metode berpikir filosofis, di mana pendapat filosofisnya justru untuk memperkuat  keyakinan akan kebenaran  al-Qur’an dan bukan sebaliknya.
Dalam menafsirkan Allamah al-Thabathaba’i pun melakukan rujukan hadis dari beberapa kitab Ahlussunah,  seperti Shahih Bukhari dan Muslim, walaupun dibatasi pada hadis yang  mempunyai persamaan  di antara hadis yang terdapat dalam kitab Sunni dan Syi’ah. Dia sendiri—dikatakan oleh Prof. Dr. Umar Shihab—terpengaruh oleh filosof-filosof Islam klasik seperti al-Farabi dan Ibn Sina, tetapi bukan berarti dengan serta-merta al-Thabathaba’i membenarkan semua pendapat mereka, dengan kata lain bahwa ia terlebih dahulu memahami makna atau ide-ide para filosof tersebut, kemudian setelah ia memahami barulah kemudian dia memanfaatkannya untuk menafsirkan al-Qur’an, tetapi dengan prinsip bahwa digunakannya teori-teori  filosof tersebut guna memperkuat al-Qur’an, bukan sebaliknya.
Prof.Dr. Umar Shihab mengatakan bahwa al-Thabathaba’i tidak pernah mengutip pendapat orang (baca: filosof), tetapi corak filosofis yang ada pada tafsir-tafsir yang lalu,  ada yang ia ikuti dan ada juga yang tidak diikuti.Kemudian kembali ke persoalan takwil yang terdapat di dalam Tafsir al-Mizan, bahwa al-Thabathaba’i berpendapat setiap ayat al-Qur’an dapat dipahami dari dua sisi, yakni makna tersurat (zahir) dan makna yang tersirat (batin). Untuk makna bathīni ini al-Thabathaba’i menggunakan istilah takwil dalam memahami makna-makna batin dari ayat-ayat al-Qur’an, karena menurut al-Thabathabai’i makna batinlah sebenarnya yang lebih banyak  terdapat dari ayat-ayat al-Qur’an. Meskipun untuk makna batin ini, hanya bisa diungkap oleh mereka yang memiliki otoritas untuk menerjemahkan agama.

Al-Thabathaba’i menjelaskan bahwa terdapat  perbedaan dikalangan mufassir tentang takwil. Ulama mutaqaddimīn (klasik) pada umumnya menyamakan pengertian tafsir, takwil,  serta ulumul  tafsir (kendati ada yang mengatakan kitab ‘Ulumul Qur’ān adalah ‘Ulumul Tafsīr).  Kaidah seperti al-asbab al-nuzul, nasikh mansukhmerupakanbagian daripada ilmu-ilmu tafsir yang kemudian dikembangkan menjadi ulumul Qur’an. Al-Thabathaba’i mengatakan bahwa ilmu yang utama  itu terdapat dalam al-Qur’an dan juga sebagai pedoman utama dimana seorang muslim harus mempelajari tafsir dan tafsir tersebut  tidak bisa  dipilah-pilah tetapi harus secara utuh diambil untuk mempelajari al-Qur’an, sementara ulama mutaakhirīn (kontemporer) pada umumnya memahami bahwa takwil mempunyai makna yang berbeda dari makna lahir dari suatu ayat.

Sebagaicontoh ketika menafsirkan Q.S al-Nisa [4]: 59:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Prof. Dr. Umar Shihab kembali menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan takwil  dalam ayat ini adalah kukuhnya persatuan dan tegaknya hubungan-hubungan spritual dalam masyarakat. Hal ini, merupakan hakikat lahiriah dan bukan merupakan sesuatu yang berbeda dari aspek batin yang merujuk pada  perselisihan. Makna takwil dalam pandangan Thabataba’isendiri merupakan  makna yang tersirat dari al-Qur’an, danjuga takwil merupakan sesuatu yang menjadi  tempat rujukan ayat. Karena itu, sesuatu merupakan isyarat dan pemenuhannya, makna seperti itu terungkap dalam al-Qur’an, karena kitab ini  bersumber pada serangkaian kebenaran dan masalah-masalah spiritual yang terlepas dari hal-hal yang bersifat material dan fisikal, ia berada di atas indera kita dan di atas hal-hal yang lahiriah, dan bentuknya jauh lebih luas dari pada  kata-kata dan kalimat yang merupakan produk kehidupan material. Karena itu, penggunaan takwil dalam Tafsir al-Mizan lebih banyak menunjuk pada pengungkapan makna-makna batin dari suatu ayat.
Al-Thabathaba’i tidak menakwilkan huruf muqaththa’ah,[8] dan meskipun ia menggunakan takwil dalam tafsirnya namun itu tidak menjadi corak utama dalam tafsirnya. Ia juga menggunakan tafsir kebahasaan tapi tidak secara utuh penggunaannya, misalnya  tafsiran beberapa  kata kalam dalam al-Qur’an, dia menggali kandungan kalimat dan kata-perkata dalam al-Qur’an atau setengah ayat yang diterapkan oleh ayat-ayat lain. Hal ini, banyak didapati dalam penafsirannya. Yang jelas, banyak pendapat di dalam Tafsir al-Mizan relevan dengan kata yang digunakan sekarang ini —sejak ditulisnya penafsiran itu—dan belum ditemukan orang yang bisa melakukan argumentasi yang berbeda (baca: setara) dengan Tafsir al-Mizan.
Di dalam tafsir-tafsir yang dahulu misalnya Qs. Ar-Ra’ad ayat 8, Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan, dan kandungan rahim yang kurang sempurna dan yang bertambah. Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya”, dikatakan (baca: ditafsirkan) “kamu tidak tahu yang lahir itu laki-laki atau perempuan”,dulu orang-orang masih menafsirkan bahwa hal itu adalah hanya Tuhan yang tahu, tetapi untuk zaman seperti sekarang ini semua itu sudah bisa diketahui dengan teknologi canggih yang disebut dengan USG (Ultrasonography), wanita-wanita yang hamil dapat mengetahui anak yang dikandungnya apakah berjenis kelamin perempuan atau laki-laki, sehingga tafsir itu tidak relevan lagi untuk saat ini. Dikatakan juga bahwa dalam Tafsiral-Mizan belum ditemukan ada penafsiran yang bertentangan dengan kaidah ilmiah. Sehingga tafsir­­ “kamu tidak tahu yang lahir itu laki-laki atau perempuan” itu  kemudian berkembang dan berubah menjadi lata’lamūna syai’ā, karena tidak mengetahui sedikitpun tentang nasibnya,  berapa umurnya, kapan dia kawin, apakah dia menjadi orang kaya atau orang miskin.
Menurut Prof. Dr. Umar Shihab ia belum menemukan isi Tafsir al-Mizan bertentangan dengan  kondisi keilmuan, tetapi penafsiran yang bertentangan dengan penafsiran kelompok Sunni itu banyak tejadi, misalnya pengertian salasata quru’ ada yang mengartikan haid,  namun disisi lain ada juga yang mengartikan bersih,  ia mengomentari itu—jelasnya itu adalah keterangan  Ali bin Abi Thalib.—bahwa, yang dimaksud  quru’ adalah suci, di sini kita melihat bahwa pendapatnya lebih masuk  akal. Prof. Dr. Umar Shihab menyatakan bahwa orang yang bercerai mestinya dihitung dengan kesuciannya bukan dihitung dengan haidnya.
Sementara itu, apakah ada pengaruh Tafsir al-Mizan terhadap perkembangan ilmu tafsir setelahnya, Prof. Dr. Umar Shihab menjelaskan  bahwaTafsir al-Mizan adalah salah satu karya tafsir yang berkontribusi terhadap perkembangan ilmu tafsir. Salah satu keistimewaan Tafsir al-Mizan yang sangat terkait dengan penulisnya adalah adanya keluasan bidang ilmu yang dikuasainya, sehingga ilmu-ilmu yang dimiliki dengan mudah direlevansikan (dihubungkan) dalam memahami makna dan kandungan al-Qur’an yang sekaligus memberikan corak tersendiri pada Tafsir al-Mizan.
Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an, al-Qur’an dan hadis, dan penafsiran al-Qur’an berdasarkan riwayat yang dinukil dari ulama, melahirkan tafsir yang bercorak bi al-ma’tsur. Demikian pula, pendekatan saintifik dan filosofis, pendekatan kebahasaan, sosiologis dan historis yang akhirnya melahirkan corak tafsīr bi al-ra’yi, walaupun hal tersebut bukanlah yang mendominasi   di dalam Tafsir al-Mizan. Di sisi lain, sebagai seorang arif yang banyak menelusuri makna batin dari al-Qur’an, sesungguhnya dapat pula dikatakan tafsir tersebut sebagai tafsir yang bercorak isyari.
Prof. Dr. Umar Shihab mengatakan bahwa dalam penafsiran seluruh ayat-ayat hukum at-Thabathab’i tidak seluruhnya menggunakan pendekatan yang filosofis, dia menambahkan bahwa at-Thabathab’i juga menggunakan takwil dalam menafsirkan al-Qur’an, jadi tidak hanya menggunakan teori falsafi untuk kelengkapan dalam Tafsir al-Mizan,  ia juga menggunakan takwil selama tidak bertentangan dengan  ayat al-Qur’an ataupun hadis dan kaidah-kaidah dalam ajaran Islam.
Tentu saja tidak mudah melahirkan tafsir seperti itu dalam konteks kekinian, karena semakin hari semakin sedikit kita dapat temukan ilmuwan yang memiliki keilmuan yang kompleks (luas) seperti Thabathaba’i. Hal ini, bisa jadi karena ilmuwan sekarang lebih terfokus kedalam satu kajian kelimuan yang lebih spesifik saja. Pendekatan filosofis yang menjadi salah satu corak dari Tafsir al-Mizan adalah salah satu pendekatan yang dapat dikembangkan dewasa ini.
Dia telah meletakan dasar-dasar penafsiran filosofis yang sangat fundamental, yakni metode berpikir filosofis yang digunakan untuk memahami makna dan kandungan al-Qur’an, sehingga al-Qur’an sebagai kitab hidayah dapat bersinergi dengan kemajuan rasional manusia, sehingga wahyu dan akal tidak dipertentangkan. Dan itu dapat kita lihat dan rasakan pada pendekatan fiilosofis yang dilakukan al-Thabathaba’i yang justru mengokohkan akidah dan tauhid serta mendekatkan manusia kepada Allah SWT.
Sementara dalam konteks Indonesia sendiri tafsir yang juga memiliki corak filosofis adalahTafsir al-Azhar karya Hamka. Pada akhirnya, ungkapan bahwa corak filosofis dari suatu penafsiran bertujuan untuk mencari kebenaran dan kebenaran itu ada  didalam al-Qur’an, ini berbeda seperti pernyataan filosof bahwa kebenaran itu ada pada hati nurani. Seperti  hadis “istantīqal-qalb” tetaplah hati nuranimu.





[1] Ilmu hudhuri yang dimaksud adalah ilmu batin/ irfan.

[2]Zahid  adalah  orang yang menganggap dunia ini kecil dan menghilangkan semua pengaruhnya dalam hati, yakni mengosongkan hati dari cinta kepada dunia dan semua keindahannya, serta mengisinya dengan cinta kepada Allah dan makrifat kepadanya. Zuhud tidak berarti bahwa seorang mukmin melepaskan diri dari hal duniawi dan mengosonkan tangannya dari harta sehingga menjadi beban bagi orang lain, akan tetapi seorang  zahid yang hakiki adalah seorang yang menghilangkan kecintaan terhadap dunia dari  dalam hati, namun tidak memalingkan hatinya kepada dunia dan tidak pula menyibukkan  hatinya kepada hal duniawi yang membuatnya lupa dari tujuan diciptakannya manusia.

[3]Wara’ adalah   upaya  seseorang menghindari hal-hal yang syubhat (samar) karena takut terjerumus ke dalam hal-hal yang haram. Sikap wara’ juga merupakan  suatu sikap  orang yang meninggalkan apa-apa yang mengotori hatinya dan membuatnya selalu dalam kekhawatiran dan kekacauan.  Istilah wara’ ini seringnya dikenal dikalangan sufi yang senantiasa menjauhi beragam pikiran yang mengacaukan hati mereka dan beragam bisikan yang membimbangkan jiwa mereka. Sebagaimana  sabda Rasulullah saw, “Tinggalkanlah apa-apa yang meragukanmu menuju apa-apa yang tidak meragukanmu “HR.Tirmidzi.Adapun tingkatan wara’ yang paling tinggi yakni menganggap bahwa segala sesuatu yang membuatmu lalai danlupa kepadaAllah adalah suatu kecelakaan bagimu. “Dan kebajikan adalah  budi pekerti yang baik. Sedangkan dosa adalah apa yang meresahkan hatimu, dan engkau enggan orang lain mengetahuinya.”

[4]Imam dalam mazhab Syi’ah adalah para ma’sumin (orang-orang suci atau terjaga dari dosa). Dalam Syi’ah Itsna ‘As’ariyah jumlah Imam adalah 12 orang dimulai dari Ali bin Abi Thalib sampai Imam Mahdi. Syi’ah meyakini bahwa para Imam adalah penerus dari misi kenabian Muhammad saw setelah wafat, dan mereka inilah yang memiliki otoritas tertinggi dalam menafsirkan teks Suci setelah ia wafat. Imamah dalam mazhab Syi’ah dimasukkan ke dalam bagian Aqidah bukan furu’ (Lihat Emilia Renita AZ. dalam buku yang sama, bab 11, hal. 96). Bukan hanya itu, menurut Syi’ah, selain bermuatan keagamaan, doktrin Imamah juga bermuatan sosial kemasyarakatan. Artinya (Menurut Prof. Dr. Rosihon Anwar), seorang tokoh agama (ayatullah) selain mempunyai otoritas dalam ilmu agama, oleh karena itu fatwa-fatwa mereka harus ditaati dan diikuti, di mana juga mereka adalah pemimpin masyarakat yang tidak terlepas dari tugasnya mengatasi masalah ummat. Dari sini kemudian menurut Prof. Dr. Rosihon Anwar kata Imamah memuat tiga dimensi. Pertama, sebagai otoritas keagamaan. Kedua, sebagai symbol manusia sempurna. Ketiga, sebagai walayat dan kepemimpinan politik.

[5]Redaksi lengkap hadis di atas adalah, “Barang siapa yang mengangkat aku sebagai pemimpinnya (maulahu), maka ‘Ali adalah pemimpinnya (maulahu) juga. Ya Allah, cintailah mereka yang mencintai dia dan musuhi mereka yang memusuhi dia.” Ini adalah salah satu hadis pada peristiwa Ghadir Khum, salah satu orang yang mengumpulkan hadis-hadis Ghadir Khum adalah Al-Amini dalam kitabnya ensiklopedis –Al-Ghadir, ia mengulasnya hingga 11 jilid. Hadis di atas juga dimuat dalam kitab-kitab seperti; Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani 2:348, Al-Fakhr al-Razi, 12:50, Al-Suyuthi, Al-Durr al-Mantsur 2:298, dll. (Lihat Emilia Renita AZ dalam bukunya 40 Masalah Syi’ah, bab 7, hal. 65-73)

[6]Beberapa karyanya di bidang filsafat adalah Bidayah al-Hikmah dan Nihayah al-Hikmah.

[7] Ini adalah pernyataan dari Prof. Dr. Umar Shihab.

[8] Ayat-ayat yang hanya berupa huruf-huruf hija’iyah, seperti Alif, Lam, Mim.


Posting Komentar

0 Komentar