Dia Bukan "Dia", Allah Suci Dari Segala Persepsi

Oleh: Deni Gunawan
Dalam Ensiklopedi Nurckholis Madjid dijelaskan bahwa tauhid dalam al-Qur’an merupakan inti ajaran dan merupakan sesuatu yang tidakboleh diragukan.  Ia menjelaskan juga bahwa kaum sufi memandang al-Qur’an tidak hanya memuat ajaran-ajaran yang mengisyaratkan bahwa Tuhan adalah sesuatu yang selalu bersifat transendental. Namun al-Qur’an juga di sisi lain dalam berbagai hal banyak menyinggung bahwa Tuhan juga serba imanen, senantiasa hadir bersama hamba-Nya dan selalu maujud di mana-mana. Sebagai istilah teknis, tauhid dalam ilmu kalam dimaksudkan sebagai paham “me-Maha Esa-kan Tuhan”, atau lebih sederhananya, paham “Ketuhanan Yang Maha Esa”, atau “monoteisme”.

Abu Nashr as-Sarraj dalam Al-Luma’membagi kategori tauhid menjadi dua yakni, Tauhid al-‘Ammah (توحيدالعماة) dan Tauhid al-Khashah (توحيدالخاصة). Tingkatan tauhid pertama dijelaskan bahwa tauhid ini merupakan tauhid orang-orang umum, yang berupa ikrar atau pernyataan dengan lisan lalu setelah diikrarkan oleh lisan diaktualisasikan dengan hati dengan menetapkan Zat Yang ditauhidkan dengan seluruh asma’ dan sifat-sifat-Nya dengan menetapkan apa yang harus ditetapkan dan menafikan apa yang harus dinafikan sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dan dinafikan oleh Allah  untuk Zat-Nya sendiri. Sementara tauhid al-Khashshah yakni tauhidnya orang-orang khusus, yakni adanya Keagungan Wahdaniyyah (Kemahaesaan) Allah Swt. dan hakekat kedekatan-Nya tanpa ada rasa dan gerakan seorang hamba, karena ia dikuasai dan dilakukan oleh Allah sesuai dengan apa yang dikehendaki.

Lafaz Allah. Foto: Islami.co

Persoalan tauhid adalah persoalan yang sulit dan rumit, sebab jika kita salah dalam memahaminya maka bisa-bisa kita terjebak pada kemusyrikan, dikatakan oleh Muthahhari bahwa baik tauhid dan kemusyrikan memiliki tingkatan dan tahapan-tahapannya masing-masing. Menurutnya sebelum kita melewati semua tahap dalam tauhid, kita belum dapat menjadi pengikut  atu muwahhid yang sejati. Tahapan tauhid tersebut adalah, tauhid zat Allah, tauhid dalam sifat-sifat Allah, tauhid dalam perbuatan Allah, dan terakhir dalam ibadah.

Tauhid Zat Allah adalah kesan pertama kita bahwa Allah Swt adalah satu-satunya Zat yang esa dan tunggal, bahwa ia independen dan tidak membutuhkan apapun atas keberadaannya. Tauhid dalam sifat-sifat-Nya adalah bahwa Zat dan Sifat-Nya identik, tauhid dalam perbuatan-Nya bahwa alam semesta dan segala sistemnya adalah merupakan perbuatan Allah dan kehendak-Nya, sementara tauhid dalam ibadah adalah tauhid dalam arti praktis yakni dalam tataran peraktek, yang berbeda dari ketiga tauhid sebelumnya yang merupakan tauhid teoritis.

Dalam Kaitannya dengan Tauhid, Sayidina Ali dalam Nahjul Balaghah mengatakan,
“Segala puji bagi Allah. Tak ada ahli pidato atau orator ulung pun yang mampu memui-Nya dengan memadai. Rahmat dan berkah-Nya tak dapat dihitung oleh ahli hitung sekalipun. Yang paling perhatian sekalipun tak dapat menyembah-Nya dengan semestinya . Dia tak dapat dimengerti sepenuhnya, sekalipun diupayakan. Dia tak dapat dicapai oleh kecerdasan, sekalipun luar biasa kecerdasan tersebut. Sifat-sifat-Nya tak dibatasi oleh pembatas apapun. Tak ada kata yang dapat menggambarkan-Nya dengan utuh.”

Pada penggalan pidato itu Sayidina Ali menjelaskan bahwa Allah terbebas dari segala sesuatu yang terbatas. Allah juga digambarkan sebagai Zat yang sifat-sifatnya tidak terbatas. Murthada Muthahhari mengatakan bahwa setelah beberapa kalimat Sayidina Ali berkata;

“Sebenar-benar ketaatan kepada-Nya artinya adalah menafikan pengaitan sifat-sifat kepada-Nya, karena pihak yang dikaiti sifat menunjukkan bahwa pihak tersebut beda dengan sifat yang dikaitkan kepada-Nya, dan setiap sifat-Nya menunjukkan bahwa sifat tersebut beda dengan pihak yang dikaitkan sifat tersebut. Barangsiapa mengaitkan sifat kepada Allah, berarti dia menyamakan Dia (dengan sesuatu, dan barangsiapa menyamakan-Nya...”

Muthahhari menjelaskan pada kalimat pertama ditegaskan Allah memiliki sifat-sifat yang tidak dibatasi oleh batasan-batasan. Dalam kalimat kedua ditegaskan pula Dia memiliki sifat akan tetapi diperintahkan untuk tidak mengaitkan sifat-sifat lain pada-Nya. Pada kalimat itu juga kita dapati bahwa sifat-sifat yang dimiliki Allah tak terbatas seperti halnya ketak terbatasan Diri-Nya Sendiri, yang mana sifat-sifat yang dimiliki-Nya identik dengan Zat-Nya, dan sifat-sifat yang tak dimiliki-Nya adalah sifat-sifat yang terbatas dan terpisah dari Zat-Nya dan terpisah satu sama lain. Inilah yang dinamakan tauhid dalam sifat-sifat-Nya, bahwa Zat Allah dan sifat-sifatnya adalah satu.

Dalam tasawwuf nama-nama dan juga entitas-entitas permanen tidaklah memiliki perbedaaan dalam eksistensinya di dalam diri-Nya sendiri. Hanya ada Wujud Tunggal, Tuhan, yang disebut bermacam-macam nama yang masing-masing merujuk pada mode ontologis tertentu dari diri-Nya. Meski begitu, Tuhan sebagai Zat—yang keberadaannya di luar pembatasan yang dibentuk oleh nama-nama—adalah Tuhan dalam suatu pengertian yang berbeda sama sekali dengan Tuhan “Pemilik Nama-Nama” (zat al-asma’). Mengenai hal ini juga Ibn Arabi memiliki pandangannya yang berbeda mengenai zat dan asma’. Ia menjelaskan dalam kitab Fushus nya pada Bab VII, “Ketauhilah, ia yang disebut sebagai Allah adalah ahād dalam Zat-Nya, dan menghimpun seluruh nama-Nya.” Ibn Arabi menyebut keesaan Zat sebagai al-ahadiyyah (keesan absolut, atau “keesaan eksklusif”). Dan keesaan dalam tataran Nama-Nama-Nya disebu al-wahdaniyyah (Keesaan tak terhingga, atau “keesaan” inklusif).

Apa yang kita konsepsikan selama ini tentang Allah dalam pikiran kita adalah sejatinya bukanlah Allah yang sebenarnya. Allah yang selama ini kita konsepsikan jauh dari semua keterbatasan pikiran-pikiran itu. Sebab bagaimana mungkin yang terbatas akan menjelaskan sesuatu yang tak terbatas. Maka Tauhid yang paling tinggi adalah ketika menyadari bahwa Allah adalah Zat yang tuggal dan Absolut yang tak pernah seorang pun mampu menggambarkan dan menyentuh-Nya. Hal ini sebagaimana juga dijelaskan dalam al-Qur’an pada surat ke 112 al-Ikhlas dan perkataan Imam Ali dalam Nahjul Balaghah yang mengatakan bahwa, “...Dia tak dapat dimengerti sepenuhnya, sekalipun diupayakan. Dia tak dapat dicapai oleh kecerdasan, sekalipun luar biasa kecerdasan tersebut. Sifat-sifat-Nya tak dibatasi oleh pembatas apapun. Tak ada kata yang dapat menggambarkan-Nya dengan utuh.”

Hal ini juga sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Ibn Arabi dalam Fushush, “Aku tahu bahwa yang dinamakan Allah adalah tunggal pada zat, menyeluruh pada nama-nama (asma’), sedangkan setiap maujud baginya dari sisi Allah adalah (nama) kepengasuhan-Nya (Rab-Nya saja). Mustahil bagi maujud memiliki semua nama-nama-Nya. Sedangkan ketunggalan Tuhan (ahadiyyah al-Ilahiyyah) tak seorang pun bisa menapakkan kakinya (memahami) perkara itu. Bagi seorang hamba tak ada sesuatu yang bisa dinyatakan tentang ketunggalan itu, begitu juga bagi yang lain. Ahadiyyah-Nya (ketunggalan-Nya) adalah keseluruhan-Nya yang terkumpul dengan power kekuatan-Nya.


 Penulis adalah penikmat kopi hitam dan pegiat filsafat Islam








Posting Komentar

0 Komentar