Dalam Ensiklopedi Nurckholis Madjid dijelaskan bahwa
tauhid dalam al-Qur’an merupakan inti ajaran dan merupakan sesuatu yang
tidakboleh diragukan. Ia menjelaskan
juga bahwa kaum sufi memandang al-Qur’an tidak hanya memuat ajaran-ajaran yang
mengisyaratkan bahwa Tuhan adalah sesuatu yang selalu bersifat transendental.
Namun al-Qur’an juga di sisi lain dalam berbagai hal banyak menyinggung bahwa
Tuhan juga serba imanen, senantiasa hadir bersama hamba-Nya
dan selalu maujud di mana-mana. Sebagai istilah teknis, tauhid dalam ilmu kalam
dimaksudkan sebagai paham “me-Maha Esa-kan Tuhan”, atau lebih sederhananya,
paham “Ketuhanan Yang Maha Esa”, atau “monoteisme”.
Abu Nashr as-Sarraj dalam Al-Luma’membagi kategori
tauhid menjadi dua yakni, Tauhid al-‘Ammah (توحيدالعماة) dan Tauhid al-Khashah (توحيدالخاصة). Tingkatan tauhid pertama dijelaskan bahwa
tauhid ini merupakan tauhid orang-orang umum, yang berupa ikrar atau pernyataan
dengan lisan lalu setelah diikrarkan oleh lisan diaktualisasikan dengan hati
dengan menetapkan Zat Yang ditauhidkan dengan seluruh asma’ dan
sifat-sifat-Nya dengan menetapkan apa yang harus ditetapkan dan menafikan apa
yang harus dinafikan sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dan dinafikan oleh
Allah untuk Zat-Nya sendiri. Sementara
tauhid al-Khashshah yakni tauhidnya orang-orang khusus, yakni adanya
Keagungan Wahdaniyyah (Kemahaesaan) Allah Swt. dan hakekat kedekatan-Nya
tanpa ada rasa dan gerakan seorang hamba, karena ia dikuasai dan dilakukan oleh
Allah sesuai dengan apa yang dikehendaki.
![]() |
Lafaz Allah. Foto: Islami.co |
Persoalan tauhid adalah persoalan yang sulit dan rumit,
sebab jika kita salah dalam memahaminya maka bisa-bisa kita terjebak pada
kemusyrikan, dikatakan oleh Muthahhari bahwa baik tauhid dan kemusyrikan
memiliki tingkatan dan tahapan-tahapannya masing-masing. Menurutnya sebelum
kita melewati semua tahap dalam tauhid, kita belum dapat menjadi pengikut atu muwahhid yang sejati. Tahapan
tauhid tersebut adalah, tauhid zat Allah, tauhid dalam sifat-sifat Allah,
tauhid dalam perbuatan Allah, dan terakhir dalam ibadah.
Tauhid Zat Allah adalah kesan pertama kita bahwa Allah
Swt adalah satu-satunya Zat yang esa dan tunggal, bahwa ia independen dan tidak
membutuhkan apapun atas keberadaannya. Tauhid dalam sifat-sifat-Nya adalah
bahwa Zat dan Sifat-Nya identik, tauhid dalam perbuatan-Nya bahwa alam semesta
dan segala sistemnya adalah merupakan perbuatan Allah dan kehendak-Nya,
sementara tauhid dalam ibadah adalah tauhid dalam arti praktis yakni dalam
tataran peraktek, yang berbeda dari ketiga tauhid sebelumnya yang merupakan
tauhid teoritis.
Dalam Kaitannya dengan Tauhid, Sayidina Ali dalam Nahjul
Balaghah mengatakan,
“Segala puji bagi Allah. Tak ada ahli pidato
atau orator ulung pun yang mampu memui-Nya dengan memadai. Rahmat dan
berkah-Nya tak dapat dihitung oleh ahli hitung sekalipun. Yang paling perhatian
sekalipun tak dapat menyembah-Nya dengan semestinya . Dia tak dapat dimengerti
sepenuhnya, sekalipun diupayakan. Dia tak dapat dicapai oleh kecerdasan,
sekalipun luar biasa kecerdasan tersebut. Sifat-sifat-Nya tak dibatasi oleh
pembatas apapun. Tak ada kata yang dapat menggambarkan-Nya dengan utuh.”
Pada penggalan pidato itu Sayidina Ali menjelaskan bahwa
Allah terbebas dari segala sesuatu yang terbatas. Allah juga digambarkan
sebagai Zat yang sifat-sifatnya tidak terbatas. Murthada Muthahhari mengatakan
bahwa setelah beberapa kalimat Sayidina Ali berkata;
“Sebenar-benar ketaatan kepada-Nya artinya
adalah menafikan pengaitan sifat-sifat kepada-Nya, karena pihak yang dikaiti
sifat menunjukkan bahwa pihak tersebut beda dengan sifat yang dikaitkan
kepada-Nya, dan setiap sifat-Nya menunjukkan bahwa sifat tersebut beda dengan
pihak yang dikaitkan sifat tersebut. Barangsiapa mengaitkan sifat kepada Allah,
berarti dia menyamakan Dia (dengan sesuatu, dan barangsiapa menyamakan-Nya...”
Muthahhari menjelaskan pada kalimat pertama ditegaskan
Allah memiliki sifat-sifat yang tidak dibatasi oleh batasan-batasan. Dalam
kalimat kedua ditegaskan pula Dia memiliki sifat akan tetapi diperintahkan
untuk tidak mengaitkan sifat-sifat lain pada-Nya. Pada kalimat itu juga kita
dapati bahwa sifat-sifat yang dimiliki Allah tak terbatas seperti halnya ketak
terbatasan Diri-Nya Sendiri, yang mana sifat-sifat yang dimiliki-Nya identik
dengan Zat-Nya, dan sifat-sifat yang tak dimiliki-Nya adalah sifat-sifat yang
terbatas dan terpisah dari Zat-Nya dan terpisah satu sama lain. Inilah yang
dinamakan tauhid dalam sifat-sifat-Nya, bahwa Zat Allah dan sifat-sifatnya
adalah satu.
Dalam tasawwuf nama-nama dan juga entitas-entitas
permanen tidaklah memiliki perbedaaan dalam eksistensinya di dalam diri-Nya
sendiri. Hanya ada Wujud Tunggal, Tuhan, yang disebut bermacam-macam nama yang
masing-masing merujuk pada mode ontologis tertentu dari diri-Nya. Meski begitu,
Tuhan sebagai Zat—yang keberadaannya di luar pembatasan yang dibentuk oleh
nama-nama—adalah Tuhan dalam suatu pengertian yang berbeda sama sekali dengan
Tuhan “Pemilik Nama-Nama” (zat al-asma’). Mengenai hal ini juga Ibn
Arabi memiliki pandangannya yang berbeda mengenai zat dan asma’.
Ia menjelaskan dalam kitab Fushus nya pada Bab VII, “Ketauhilah, ia yang
disebut sebagai Allah adalah ahād dalam Zat-Nya, dan menghimpun seluruh
nama-Nya.” Ibn Arabi menyebut keesaan Zat sebagai al-ahadiyyah (keesan
absolut, atau “keesaan eksklusif”). Dan keesaan dalam tataran Nama-Nama-Nya
disebu al-wahdaniyyah (Keesaan tak terhingga, atau “keesaan” inklusif).
Apa yang kita konsepsikan selama ini tentang Allah dalam
pikiran kita adalah sejatinya bukanlah Allah yang sebenarnya. Allah yang selama
ini kita konsepsikan jauh dari semua keterbatasan pikiran-pikiran itu. Sebab
bagaimana mungkin yang terbatas akan menjelaskan sesuatu yang tak terbatas.
Maka Tauhid yang paling tinggi adalah ketika menyadari bahwa Allah adalah Zat
yang tuggal dan Absolut yang tak pernah seorang pun mampu menggambarkan dan
menyentuh-Nya. Hal ini sebagaimana juga dijelaskan dalam al-Qur’an pada surat
ke 112 al-Ikhlas dan perkataan Imam Ali dalam Nahjul Balaghah yang mengatakan
bahwa, “...Dia tak dapat dimengerti sepenuhnya, sekalipun diupayakan. Dia
tak dapat dicapai oleh kecerdasan, sekalipun luar biasa kecerdasan tersebut.
Sifat-sifat-Nya tak dibatasi oleh pembatas apapun. Tak ada kata yang dapat
menggambarkan-Nya dengan utuh.”
Hal ini juga sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Ibn
Arabi dalam Fushush, “Aku tahu bahwa yang dinamakan Allah adalah tunggal
pada zat, menyeluruh pada nama-nama (asma’), sedangkan setiap maujud baginya
dari sisi Allah adalah (nama) kepengasuhan-Nya (Rab-Nya saja). Mustahil bagi
maujud memiliki semua nama-nama-Nya. Sedangkan ketunggalan Tuhan (ahadiyyah
al-Ilahiyyah) tak seorang pun bisa menapakkan kakinya (memahami) perkara itu.
Bagi seorang hamba tak ada sesuatu yang bisa dinyatakan tentang ketunggalan
itu, begitu juga bagi yang lain. Ahadiyyah-Nya (ketunggalan-Nya) adalah
keseluruhan-Nya yang terkumpul dengan power kekuatan-Nya.
0 Komentar