Gamis Yusuf dan Nalar Perpolitikan Kita

Oleh: Deni Gunawan 

Simplikasi Berpikir
Saya tidak tahu persis kapan tepatnya bangsa ini menjadi bangsa yang mudah menyimpulkan sesuatu tanpa analisa yang serius sebelumnya. Sangat mudah sekali kita temukan misalnya orang merelasikan bahwa gempa di Palu disebabkan masyarakatnya melakukan bid’ah atau maksiat. Atau mengatakan bahwa semua bencana yang terjadi di Indonesia ini akibat dari Presidennya adalah si A, atau gempa Lombok akibat Gubernur A mendukung calon Presiden A.

Setidak-tidaknya pola berpikir seperti ini menguat sejak pilpres 2014 lalu, dimana segala macam bentuk kampanye politik digunakan untuk tujuan memenangkan pihak-pihak tertentu. Nalar kehilangan ‘kehormatan’nya di tengah-tengah manusia ketika nafsu politik melebihi apa pun dan mengabaikan kerja-kerja nalar-rasional. Tak heran kemudian, terjadi simplikasi yang menyedihkan di tengah-tengah masyarakat kita untuk menyebut mereka yang mendukung Jokowi—persetan apa pun alasannya—sebagai cebongers, sementara pada saat yang sama kelompok pendukung Prabowo disebut sebagai kampreters.

Ilustrasi saudara Yusuf membawa gamis yang berlumur darah. Foto: musyafa.com

Padahal, jika menyimak ‘diskursus’ kemunculan istilah cebongers dan kempreters di media sosial, ditujukan semata-mata hanya kepada mereka yang fanatik buta kepada Jokowi maupun Prabowo. Bukankah fanatisme buta adalah penerimaan total tanpa nalar? Amalan atau jampi-jampi apa pun yang anda berikan untuk mengajak berpikir rasional dalam menilai kedua orang (Prabowo dan Jokowi) itu menjadi tidak berguna, lebih-lebih jika kedua belah pihak bertemu (cebongers dan kampreters), mereka akan semakin gesit mengkampretkan pihak pro Prabowo dan mencebongkan pihak pro Jokowi tanpa ampun.

Sialnya, orang-orang yang tidak masuk dua kategori itu, baik yang memilih pilihannya secara rasional maupun yang tidak memilih, ketika berbicara soal Prabowo secara positif maka secara otomatis di mata cebongers akan dianggap kampreters, namun sebaliknya, pada saat ia kemudian mengkritik Prabowo akan dianggap Cebongers. Sulit dibayangkan, namun satu hal, simplikasi yang demikian hanya terjadi di komunitas dimana akal hanya menjadi pajangan semata.

Walhasil, soal pemilu atau politik bukan lagi menentukan “apa” yang bisa dihasilkan tapi hanya sebatas kesibukan pada soal figuritas semata, “siapa”. Padahal “apa” adalah substansi dari tujuan politik kita, “siapa” pun dia, asal “apa”nya berkualitas maka menjadi nilai utama dari tujuan berpolitik sebenarnya. Sayang, politik kita berhenti pada “siapa”, bukan “apa”, seolah-olah negara ini hanya dimiliki atau hanya untuk dua orang semata.

Simplikasi berpikir akibat polariasi politik ini menyebabkan bangsa kita menjadi kacau dalam berpikir dan membaca realitas. Kesulitan membaca mana fenomena mana nomena. Kesulitan menemukan mana yang hakiki dan mana yang i’tibari, atau bahasa kerennya mana yang substansi dan mana yang aksiden. Tak terhitung  sudah, bagaimana masyarakat kita membaca fenomena yang ada secara serampangan, baik kondisi sosial-ekonomi dan fenomena bencana yang terjadi di negeri ini, misalnya baru-baru ini gempa dan tsunami, sebagai akibat dari kemaksiatan penduduk terdampak atau bahkan lebih jauhnya akibat Presidennya adalah si A. Setidaknya, dalam beberapa kasus, gempa Lombok, Palu dll dikaitkan secara membabi buta seperti itu dengan logika yang menyesatkan.

Gamis Yusuf dan Logika Fallacy

Setidaknya ada tiga ayat dalam al-Qur’an yang menceritakan kisah Yusuf dan gamisnya yang terekam dalam al-Qur’an. Namun ayat yang bercerita tentang Yusuf dan gamisnya yang dipenuhi darahlah yang kira-kira memiliki hubungan dengan tema tulisan ini. “Dan mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) darah palsu.” (QS.Yusuf:18). Ayat tersebut menceritakan tentang saudara-saudara tiri Yusuf yang membawa gamis Yusuf yang berlumuran darah kepada Ya’kub ayah mereka dan Yusuf, untuk meyakinkan bahwa bercak darah di gamis Yusuf adalah akibat srigala yang telah memangsa Yusuf.

Alkisah, Yusuf adalah putra Ya’kub paling dicintai, karena kecintaan Ya’kub pada Yusuf itulah membuat saudara-saudara tiri mereka iri hati. Karena rasa iri hati itulah mereka bermufakat ingin menyingkirkan Yusuf, dengan menyingkirkan Yusuf mereka mengira kelak Ya’kub ayah mereka bisa memperhatikan mereka dengan penuh kasih sayang dan tidak terfokus lagi pada Yusuf semata. . Singkat cerita, mereka meminta izin pada Ya’kub untuk berburu binatang ke hutan membawa Yusuf. Dengan berat hati Ya’kub mengizinkan putra yang dicintainya Yusuf  pergi bersama saudara-saudaranya. Di tengah hutan mereka hendak membunuh Yusuf, akan tetapi seorang dari mereka tidak enak hati dan mengusulkan agar Yusuf dibuang ke dalam sumur dan membiarkan kafilah yang lewat mengambilnya yang nantinya dijual sebagai budak. Semua proses dilakukan dan baju Yusuf dilepas dari badan Yusuf dan melumurinya dengan darah binatang. Mereka pulang meninggalkan Yusuf dengan membawa baju Yusuf yang dilumuri darah, dan mengatakan pada Ya’kub bahwa Yusuf telah mati diterkam srigala.

Karena kebencian mereka pada Yusuf saat itu, mereka mencelakan Yusuf dan membohongi ayah mereka Ya’kub dengan cara membangun logika fallacy. Mereka ingin meyakinkan Ya’kub bahwa Yusuf telah mati dimakan srigala dengan cara menunjukkan bahwa gamis Yusuf yang dipenuhi darah akibat terkaman srigala. Mereka membangun simplikasi berpikir yang keliru yang menganggap bahwa sebab dari darah yang ada pada gamis Yusuf adalah akibat terkaman srigala. Padahal banyak hal bisa terjadi yang menyebabkan gamis itu menjadi berlumur darah, tetapi karena kebencian mereka pada Yusuf membuat mereka kehilangan akal sehat, bahwa srigala bukanlah sebab satu-satunya yang bisa direlasikan ketika seorang mendapati gamis Yusuf berlumuran darah. Pada akhirnya mereka gagal membohongi Ya’kub yang tentu sangat paham persoalan kausalitas, tidak serta merta gamis berlumur darah adalah akibat dari terkaman srigala. Kelakuan mereka membuat Ya’kub menjadi buta karena menangis setiap saat menahan kerinduan pada Yusuf.

Simplisitas seperti yang dilakukan saudara Yusuf ini, dimana karena kebencian lalu menghubungkan sebab dan akibat secara serampangan, juga dapat dijumpai pada masyarakat kita saat ini yang terpolarisasi secara serius dalam domain politik nasional saat ini. Fanatisme buta, membuat seseorang kadang kehilangan akal sehat dan membangun logika berpikir yang keliru dan serampangan dalam menyimpulkan sebab atas akibat suatu hal. Misalnya saja, orang begitu mudahnya menyebut sebab dari gempa Lombok akibat gubenurnya mendukung calon presiden tertentu. Gempa dan tsunami Palu akibat kelakuan masyarakatnya yang bermaksiat. Atau segala tragedi yang terjadi pada bangsa ini secara otomatis dihubungkan sebagai akibat dari pemimpinnya yang menurut mereka dimurkai Tuhan.

Tentu kesimpulan dan penghubungan sebab dan akibat semacam ini sangatlah berbahaya. Sebab bagaimana pun, merelasikan sebab pada akibat tidaklah sesederhana yang dibayangkan. Bagaimana bisa kita mengatakan bahwa masyarakat Palu bermaksiat lalu terjadi gempa, sementara di belahan bumi yang lain ada masyarakatnya senantiasa bermaksiat tidak juga dihempaskan oleh gempa. Pun demikian bagaimana bisa logika berpikir kita mengatakan bahwa karena gubernur A mendukung Presiden A membuat murka Tuhan dan dan akibatnya ditimpa bencana. Bagaimana cara membuktikan bahwa maksiat adalah sebab utama gempa atau pilihan politik menyebabkan bencana? Bisakah akal menerimanya?

Persoalan kausalitas tidaklah sesimplisitas yang dibayangkan,  sebagai sebuah relasi, sebab akibat tidak mudah dipahami, meski sebagai sebuah konsep sebab dan akibat posisinya sangat jelas atau dalam bahasa Filsafat Islam badihi atau hampir serupa badihi. Tapi untuk mengetahui apakah akibat A relasinya dengan sebab A tentu tidak sebadihi sebab dan akibat sebagai konsep. Perlu pemahaman dan perhatian yang mendalam untuk mengetahui sebab dari akibat sesuatu. Sebab akibat atau yang mafhum dipahami sebagai kausalitas sendiri memang menjadi salah satu topik penting dan pelik dalam filsafat khususnya filsafat Islam. Kausalitas dalam artian umum adalah ketergantungan satu wujud kepada wujud lainnya. Ketergantungan ini bisa dideskripsikan dalam berbagai bentuk. Misalnya, sebuah kayu dari satu sisi bergantung pada bahan untuk dijadikan kursi, pada sisi lain bergantung pada tukang kayu yang mendesain kayu menjadi kursi dan di sisi yang lain bergantung pada pengetahuan artistik tukang kayu tersebut atau bahkan berhubungan dengan motivasi dari tukang kayu sehingga merelakan waktunya membuat kursi (Mohsen: 2012).

Karena itu, ‘sebab’ bisa dibagi beberapa bagian. Meski begitu, persoalan kausalitas bukanlah perkara mudah seperti menyematkan gelar cebong kepada pendukung Jokowi atau kampret kepada pendukung Prabowo, tapi jauh lebih serius dari itu dan membutuhkan kejernihan berpikir. Kita yang hidup dalam suasana yang serba cepat, simple, dan larut dalam uforia politik nir-nalar setidaknya harus mengambil sikap bahwa satu-satunya hakikat kemanusiaan adalah akal, jika akal telah pensiun dari manusia, maka yang tinggal adalah kehewanan semata. So, berpolitik adalah untuk mendewasakan kita dalam berpikir dan bersikap, apapun pilihannya, berhentilah menyebut gamis Yusuf yang berlumur darah akibat terkaman srigala. Please stop it now!



Penulis adalah pegiat muda filsafat dan penikmat kopi

Posting Komentar

0 Komentar