Simplikasi
Berpikir
Saya tidak tahu persis kapan
tepatnya bangsa ini menjadi bangsa yang mudah menyimpulkan sesuatu tanpa
analisa yang serius sebelumnya. Sangat mudah sekali kita temukan misalnya orang
merelasikan bahwa gempa di Palu disebabkan masyarakatnya melakukan bid’ah atau
maksiat. Atau mengatakan bahwa semua bencana yang terjadi di Indonesia ini
akibat dari Presidennya adalah si A, atau gempa Lombok akibat Gubernur A
mendukung calon Presiden A.
Setidak-tidaknya pola
berpikir seperti ini menguat sejak pilpres 2014 lalu, dimana segala macam
bentuk kampanye politik digunakan untuk tujuan memenangkan pihak-pihak
tertentu. Nalar kehilangan ‘kehormatan’nya di tengah-tengah manusia ketika
nafsu politik melebihi apa pun dan mengabaikan kerja-kerja nalar-rasional. Tak
heran kemudian, terjadi simplikasi yang menyedihkan di tengah-tengah masyarakat
kita untuk menyebut mereka yang mendukung Jokowi—persetan apa pun
alasannya—sebagai cebongers, sementara pada saat yang sama kelompok pendukung
Prabowo disebut sebagai kampreters.
![]() |
Ilustrasi saudara Yusuf membawa gamis yang berlumur darah. Foto: musyafa.com |
Padahal, jika menyimak
‘diskursus’ kemunculan istilah cebongers dan kempreters di media sosial,
ditujukan semata-mata hanya kepada mereka yang fanatik buta kepada Jokowi
maupun Prabowo. Bukankah fanatisme buta adalah penerimaan total tanpa nalar? Amalan
atau jampi-jampi apa pun yang anda berikan untuk mengajak berpikir rasional
dalam menilai kedua orang (Prabowo dan Jokowi) itu menjadi tidak berguna,
lebih-lebih jika kedua belah pihak bertemu (cebongers dan kampreters), mereka
akan semakin gesit mengkampretkan pihak pro Prabowo dan mencebongkan pihak pro
Jokowi tanpa ampun.
Sialnya, orang-orang yang
tidak masuk dua kategori itu, baik yang memilih pilihannya secara rasional
maupun yang tidak memilih, ketika berbicara soal Prabowo secara positif maka
secara otomatis di mata cebongers akan dianggap kampreters, namun sebaliknya,
pada saat ia kemudian mengkritik Prabowo akan dianggap Cebongers. Sulit
dibayangkan, namun satu hal, simplikasi yang demikian hanya terjadi di
komunitas dimana akal hanya menjadi pajangan semata.
Walhasil, soal pemilu atau
politik bukan lagi menentukan “apa” yang bisa dihasilkan tapi hanya sebatas kesibukan
pada soal figuritas semata, “siapa”. Padahal “apa” adalah substansi dari tujuan
politik kita, “siapa” pun dia, asal “apa”nya berkualitas maka menjadi nilai
utama dari tujuan berpolitik sebenarnya. Sayang, politik kita berhenti pada “siapa”,
bukan “apa”, seolah-olah negara ini hanya dimiliki atau hanya untuk dua orang semata.
Simplikasi berpikir akibat
polariasi politik ini menyebabkan bangsa kita menjadi kacau dalam berpikir dan membaca
realitas. Kesulitan membaca mana fenomena mana nomena. Kesulitan menemukan mana
yang hakiki dan mana yang i’tibari, atau bahasa kerennya mana yang
substansi dan mana yang aksiden. Tak terhitung sudah, bagaimana masyarakat kita membaca
fenomena yang ada secara serampangan, baik kondisi sosial-ekonomi dan fenomena
bencana yang terjadi di negeri ini, misalnya baru-baru ini gempa dan tsunami, sebagai
akibat dari kemaksiatan penduduk terdampak atau bahkan lebih jauhnya akibat
Presidennya adalah si A. Setidaknya, dalam beberapa kasus, gempa Lombok, Palu
dll dikaitkan secara membabi buta seperti itu dengan logika yang menyesatkan.
Gamis
Yusuf dan Logika Fallacy
Setidaknya ada tiga ayat
dalam al-Qur’an yang menceritakan kisah Yusuf dan gamisnya yang terekam dalam
al-Qur’an. Namun ayat yang bercerita tentang Yusuf dan gamisnya yang dipenuhi
darahlah yang kira-kira memiliki hubungan dengan tema tulisan ini. “Dan mereka
datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) darah palsu.” (QS.Yusuf:18).
Ayat tersebut menceritakan tentang saudara-saudara tiri Yusuf yang membawa
gamis Yusuf yang berlumuran darah kepada Ya’kub ayah mereka dan Yusuf, untuk
meyakinkan bahwa bercak darah di gamis Yusuf adalah akibat srigala yang telah
memangsa Yusuf.
Alkisah, Yusuf adalah putra
Ya’kub paling dicintai, karena kecintaan Ya’kub pada Yusuf itulah membuat
saudara-saudara tiri mereka iri hati. Karena rasa iri hati itulah mereka
bermufakat ingin menyingkirkan Yusuf, dengan menyingkirkan Yusuf mereka mengira
kelak Ya’kub ayah mereka bisa memperhatikan mereka dengan penuh kasih sayang
dan tidak terfokus lagi pada Yusuf semata. . Singkat cerita, mereka meminta
izin pada Ya’kub untuk berburu binatang ke hutan membawa Yusuf. Dengan berat
hati Ya’kub mengizinkan putra yang dicintainya Yusuf pergi bersama saudara-saudaranya. Di tengah
hutan mereka hendak membunuh Yusuf, akan tetapi seorang dari mereka tidak enak
hati dan mengusulkan agar Yusuf dibuang ke dalam sumur dan membiarkan kafilah
yang lewat mengambilnya yang nantinya dijual sebagai budak. Semua proses
dilakukan dan baju Yusuf dilepas dari badan Yusuf dan melumurinya dengan darah
binatang. Mereka pulang meninggalkan Yusuf dengan membawa baju Yusuf yang
dilumuri darah, dan mengatakan pada Ya’kub bahwa Yusuf telah mati diterkam
srigala.
Karena kebencian mereka pada
Yusuf saat itu, mereka mencelakan Yusuf dan membohongi ayah mereka Ya’kub
dengan cara membangun logika fallacy. Mereka ingin meyakinkan Ya’kub bahwa
Yusuf telah mati dimakan srigala dengan cara menunjukkan bahwa gamis Yusuf yang
dipenuhi darah akibat terkaman srigala. Mereka membangun simplikasi berpikir
yang keliru yang menganggap bahwa sebab dari darah yang ada pada gamis Yusuf
adalah akibat terkaman srigala. Padahal banyak hal bisa terjadi yang
menyebabkan gamis itu menjadi berlumur darah, tetapi karena kebencian mereka
pada Yusuf membuat mereka kehilangan akal sehat, bahwa srigala bukanlah sebab
satu-satunya yang bisa direlasikan ketika seorang mendapati gamis Yusuf
berlumuran darah. Pada akhirnya mereka gagal membohongi Ya’kub yang tentu
sangat paham persoalan kausalitas, tidak serta merta gamis berlumur darah
adalah akibat dari terkaman srigala. Kelakuan mereka membuat Ya’kub menjadi
buta karena menangis setiap saat menahan kerinduan pada Yusuf.
Simplisitas seperti yang
dilakukan saudara Yusuf ini, dimana karena kebencian lalu menghubungkan sebab
dan akibat secara serampangan, juga dapat dijumpai pada masyarakat kita saat
ini yang terpolarisasi secara serius dalam domain politik nasional saat ini.
Fanatisme buta, membuat seseorang kadang kehilangan akal sehat dan membangun
logika berpikir yang keliru dan serampangan dalam menyimpulkan sebab atas
akibat suatu hal. Misalnya saja, orang begitu mudahnya menyebut sebab dari
gempa Lombok akibat gubenurnya mendukung calon presiden tertentu. Gempa dan
tsunami Palu akibat kelakuan masyarakatnya yang bermaksiat. Atau segala tragedi
yang terjadi pada bangsa ini secara otomatis dihubungkan sebagai akibat dari
pemimpinnya yang menurut mereka dimurkai Tuhan.
Tentu kesimpulan dan
penghubungan sebab dan akibat semacam ini sangatlah berbahaya. Sebab bagaimana
pun, merelasikan sebab pada akibat tidaklah sesederhana yang dibayangkan.
Bagaimana bisa kita mengatakan bahwa masyarakat Palu bermaksiat lalu terjadi
gempa, sementara di belahan bumi yang lain ada masyarakatnya senantiasa
bermaksiat tidak juga dihempaskan oleh gempa. Pun demikian bagaimana bisa
logika berpikir kita mengatakan bahwa karena gubernur A mendukung Presiden A
membuat murka Tuhan dan dan akibatnya ditimpa bencana. Bagaimana cara
membuktikan bahwa maksiat adalah sebab utama gempa atau pilihan politik
menyebabkan bencana? Bisakah akal menerimanya?
Persoalan kausalitas
tidaklah sesimplisitas yang dibayangkan, sebagai sebuah relasi, sebab akibat tidak
mudah dipahami, meski sebagai sebuah konsep sebab dan akibat posisinya sangat
jelas atau dalam bahasa Filsafat Islam badihi
atau hampir serupa badihi. Tapi untuk
mengetahui apakah akibat A relasinya dengan sebab A tentu tidak sebadihi sebab
dan akibat sebagai konsep. Perlu pemahaman dan perhatian yang mendalam untuk
mengetahui sebab dari akibat sesuatu. Sebab akibat atau yang mafhum dipahami
sebagai kausalitas sendiri memang menjadi salah satu topik penting dan pelik
dalam filsafat khususnya filsafat Islam. Kausalitas dalam artian umum adalah
ketergantungan satu wujud kepada wujud lainnya. Ketergantungan ini bisa
dideskripsikan dalam berbagai bentuk. Misalnya, sebuah kayu dari satu sisi
bergantung pada bahan untuk dijadikan kursi, pada sisi lain bergantung pada
tukang kayu yang mendesain kayu menjadi kursi dan di sisi yang lain bergantung
pada pengetahuan artistik tukang kayu tersebut atau bahkan berhubungan dengan
motivasi dari tukang kayu sehingga merelakan waktunya membuat kursi (Mohsen:
2012).
Karena itu, ‘sebab’ bisa
dibagi beberapa bagian. Meski begitu, persoalan kausalitas bukanlah perkara
mudah seperti menyematkan gelar cebong kepada pendukung Jokowi atau kampret
kepada pendukung Prabowo, tapi jauh lebih serius dari itu dan membutuhkan
kejernihan berpikir. Kita yang hidup dalam suasana yang serba cepat, simple,
dan larut dalam uforia politik nir-nalar setidaknya harus mengambil sikap bahwa
satu-satunya hakikat kemanusiaan adalah akal, jika akal telah pensiun dari
manusia, maka yang tinggal adalah kehewanan semata. So, berpolitik adalah untuk
mendewasakan kita dalam berpikir dan bersikap, apapun pilihannya, berhentilah menyebut
gamis Yusuf yang berlumur darah akibat terkaman srigala. Please stop it now!
Penulis adalah pegiat muda filsafat dan penikmat kopi
0 Komentar