ISLAMNET.ID, Phnom Penh - Pada tulisan bagian ini,
saya akan memaparkan sekelumit kisah seorang pemuda asli keturunan Kamboja yang
nyantri ke Indonesia, tepatnya di pondok pesantren Sirojul Mukhlasin, Magelang,
Jawa Tengah. Santri itu bernama Nashirin Syamsuddin, ia bersama Ustad Amir bin
Ismail mengurus Masjid Al-Jamee’ Al-Islam di ibu kota Phnom Penh, sebagaimana
yang pernah saya ulas tentang sejarah perkembangan Islam dan tradisi Aswaja di
tulisan bagian satu dan dua.
![]() |
Nashirin di hadapan para santrinya. Foto: islamnet.id |
Saya mengenal Nashirin dari
Ustad Amir usai menunaikan shalat Jumat (17/11) di Masjid Al-Jamee’. Saat itu jamaah
berkumpul di bagian luar masjid untuk menikmati jamuan makan berupa gulai
kambing dalam rangka tolak bala’ di akhir bulan Shafar. Di tengah keramian itu,
saya bertanya dengan bahasa Inggris, Ustad Amir langsung bertanya balik, “Dari Indonesia?”.
Saya langsung menjawab, “Iya saya dari Indonesia. Anda dari Indonesia juga?”.
Ustad Amir mengaku asli dari Kamboja, hanya saja dia memang bisa bahasa Melayu.
“Dia itu pernah mondok
di Indonesia,” kata Ustad Amir sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah pria
yang sedangkan menyantap gulai halal, makanan yang sulit saya dapatkan di
Kamboja. Seketika setelah jamuan makan selesai, saya langsung berkenalan dan
mengajak bicara kesana-kemari tentang pengalaman masing-masing.
Nashirin mengisahkan
bahwa ada seorang bernama kiai Muchlasin asal Magelang pernah ke Malaysia, dan
di sana kiai itu berjumpa dengan kakaknya Nashirin. Singkat cerita kakaknya
bersama 17 orang lainnya datang ke Indonesia, sebab mereka tertarik untuk
mondok di Sirojul Mukhlasin, Magelang.
Tidak lama berselang, pada
tahun 2009 Nashirin tanpa ragu juga mau berangkat mondok ke Indonesia setelah
diajak oleh kakaknya. Namun ia mengaku sejak kecil memang sudah mendengar bahwa
Indonesia terkenal alim-alim. Dalam benaknya, ada rasa ingin tahu tentang pendidikan
Islam di Indonesia, apalagi didorong minat sebab saat kecil ia sering menonton
drama di televisi asal Indonesia yang berjudul Misteri Gunung Merapi.
"Dulu disini
terkenal Mak Lampir, saya lupa judulnya. Kayaknya Misteri Gunung Berapi ya?
Saya tertarik sekali, apalagi dalam film itu ada orang baca Al-Qur'an. Karena
disini tidak ada film yang orang membaca Al-Qur'an. Gara-gara film itu saya ingin
kesana (Indonesia, red)," ungkap Nashirin yang membuat saya tercengang
karena terheran-heran sambil ketawa pelan lebar.
Kenangan Mondok
Dalam kenangannya dulu
ketika mondok di Magelang, ia banyak belajar berbagai judul kitab kuning,
seperti halnya kitab Jurumiyah, Qawaidul I'rob, Alfiyyah Ibn 'Aqil. "Dulu
disana saya suka ngaji kitab 'Asmawi (Khasiyah kitab Jurumiyah)," kenangnya
dengan bahasa Melayu yang cukup lancar.
Ia mengungkapkan bahwa
pesantren Indonesia itu luar biasa. Ia mengumpamakan jika ada orang sudah
nyantri di Indonesia lalu melanjutkan di Kamboja itu bukan levelnya. Dan memang
seharusnya melanjutkan ke Mesir ataupun Arab, nanti levelnya akan naik.
"Waktu saya di sini,
saya merasa di sini semacam sudah tahu banget. Pas di Indonesia, saya kok
merasa bodoh banget ya. Soalnya disana orangnya alim-alim. Ilmu ustad di sini
dengan di Indonesia itu sangat jauh sekali,” papar Nashirin yang saat itu
memakai baju koko, sarung dan peci putih.
Perihal pandangannya
tentang karakter ulama Indonesia, Nashirin menilai kiai-kiai di Indonesia
sangat ramah dan tidak suka marah-marah. Ia juga suka dengan metode membaca
kitab yang menggunakan logat jawa, seperti tradisi memaknai utawi iki iku.
Sekembali ke Kamboja
pada tahun 2014, ia dan beberapa santri asal Kamboja lainnya saat ini sudah
menyebar di berbagai penjuru negeri Kamboja, terutama di madrasah-madrasah atau
kalau di Indonesia disebut sebagai pondok pesantren.
Saat ini Nashirin
menjadi pembina di madrasah Jami’ul Muslim, sebuah pesantren di tengah kota
Phnom Penh yang fokus untuk menghafalkan Al-Qur’an. Selain itu, ia menceritakan
bahwa muslim di Kamboja kesulitan mencari akses dan keterbatasan tempat untuk belajar
ilmu-ilmu agama Islam. “Kalau ada tempatnya, saya berani menerima hingga 100
santri di sini,” harapnya. (M. Zidni Nafi’, peserta Program Pemuda Magang Luar Negeri 2017 dari Kemenpora RI)
Tulisan ini pernah dimuat di NU Online.
0 Komentar