ISLAMNET.ID, Phnom Penh-Setelah sebulan menjalani program magang di Kingdom of Cambodia,
di sela-sela itu akhirnya saya bisa mengunjungi kawasan Chrang Chomres, Phnom
Penh. Kawasan dipinggiran ibu kota negara yang berjuluk “Negeri Seribu Candi” ini
terdiri dari tiga kampung yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Kawasan
ini juga dikenal dengan KM. 7, 8, dan 9, sebab disitu merupakan jalur lintas yang
menghubungkan ibu kota ke daerah-daerah.
![]() |
Muslim keturunan Champa sedang merayakan Maulid Nabi |
Di Masjid Jamee’ Yassir bin Ammar yang berlokasi di KM. 9,
selepas menunaikan ibadah shalat Jum’at (1/12), saya berjumpa dengan Muhammad
Irsyad bin Muhammad Nuh, seorang laki-laki berumur 50 tahun yang menjadi imam masjid
setempat. Beruntungnya, ia bisa berbahasa melayu, sehingga memudahkan saya untuk
berkomunikasi.
Ada hal yang tak terduga sebelum mengunjungi kawasan
tersebut. Ustad Irsyad, begitu saya menyapanya, menceritakan bahwa mayoritas
penduduk yang hidup sepanjang jalur KM. 7-9 merupakan muslim keturunan “Champa”.
Istilah Champa begitu terkenal terutama di Indonesia, sebab sejarah penyebaran
Islam di pulau Jawa berasal dari Negeri Kerajaan Champa, sebagaimana kisah
Sunan Ampel dan Sunan Gunung Djati yang mempunyai garis keturunan Champa.
Ustad Irsyad yang juga Wakil Mufti Majlis Tertinggi Umat
Islam Kamboja itu mengatakan bahwa dahulu Vietnam tidak ada, adanya negara
Champa. Namun ia menilai itu adalah masalah politik, ia tidak berani banyak
berkomentar soal itu. Yang jelas, kepindahan etnis Cham ke Kamboja karena
mengalami genosida dari Kerajaan Dai Viet (Vietnam bagian utara).
Seperti data yang saya temukan, Dai Viet melakukan invasi
pada 1471, saat itu komunitas Champa sudah menganut agama Islam. Invasi ini
merupakan awal kehancuran Champa secara massif yang berujung pada terhapusnya
negara Champa dari peta dunia. Ibu kota Vijaya dihancurkan yang menelan korban
hingga puluhan ribu. Peristiwa ini memicu emigrasi besar-besaran dari rakyat
Champa yang tersisa ke Kamboja (Khmer), Malaka, Aceh dan wilayah lain di
Sumatera.
Di kawasan Chrang Chomres, mereka juga disebut Melayu-Cham
sebab adanya percampuran etnis warga muslim di kawasan tersebut. Selain itu, di
Kamboja ada dua etnis muslim, Melayu-Cham dan Jawi Indonesia. Melayu-Cham yang
paling bertempat tinggal wilayah Kampong Cham, sedangkan muslim Jawi bermukim
di sebuah kampung dekat perbatasan dengan Thailand.
Kehidupan Sehari-hari
Dalam kehidupan sehari-hari mereka menggunakan dua bahasa,
yakni bahasa Khmer sebagai bahasa resmi Kamboja, dan bahasa Cham. Uniknya, beberapa
bahasa Cham mirip dengan bahasa Melayu, seperti kata Tang (tangan), Ta (mata),
Tenye (telinga), Dung (hidung). Namun untuk khutbah Jum'at di masjid
menggunakan bahasa Khmer, karena untuk mempermudah jamaah selain keturunan
Cham. Kalau di madrasah, bahasa yang sering digunakan justru bahasa Melayu dan
Arab.
Total keluarga di tiga kampung ini mencapai 4.000
keluarga, dan tiap keluarga berjumlah 3-6 orang. Mata pencaharian mereka ada
yang menjadi supir Tuk-Tuk (kendaraan umum khas Kamboja yang bisa memuat hingga
20 orang), penangkap ikan di sungai Tonle Sap (anak sungai Mekong), pedagang,
buruh pabrik, perangkat pemerintahan.
Adapun mazhab yang dianut oleh muslim keturunan Cham ini
hampir semuanya bermazhab Syafi'i. Tradisi masyarakat juga ada Maulid Nabi,
ziarah kubur, pembacaan yasin dan tahlil. Ketika beribadah, mereka sering
memakai sarung dan peci putih, beberapa juga menggunakan jubah, namun bawahnya
tetap memakai sarung.
Meskipun masyarakat Kamboja beragama Buddha sebagai agama
resmi, namun pihak Kerajaan Kamboja membebaskan umat Islam untuk menjalankan
kegiatan keagamaan. Bahkan beberapa tahun belakangan, pihak Kerajaan memberikan
gaji (semacam tunjangan) seperti guru-guru di sekolah. Tunjangan tersebut
diberikan oleh Kementerian Pendidikan kepada sekitar 1500 ustad yang biasanya
mengajar di masjid, surau, dan rumah-rumah warga. (M. Zidni Nafi’, Peserta
Program Pemuda Magang Luar Negeri Kemenpora RI 2017).
Tulisan ini pernah dimuat di NU Online
0 Komentar