Sudah lama sekali rasanya kita hidup dalam suasana tegang, saling caci saling benci. Sudah lama sekali seorang anak tak menyapa orang tua, seorang menantu enggan berkunjung ke mertua dan seorang sahabat tak menyapa karibnya, "hai bro, apa kabar?". Sudah lama sekali ambisi politik menghancurkan kita, sudah lama sekali rasanya kita saling curiga, untuk hal yang tak semestinya.
Pernahkah kita berpikir, bahwa kita hidup dalam
kesia-kesiaan, berdebat soal politik dengan maksud ingin menghancurkan. Kawan,
kita ini bukan politisi yang siap berkawan dan bermusuhan seenak kepentingan
saja. Kawan, kita ini manusia, yang memiliki nurani dan rindu akan perdamaian.
Kawan, kita ini warga Negara yang senantiasa berharap hidup makmur tanpa
hancur.
Kawan, biarlah politik bergerak dengan iramanya, dan
politisi berkongsi dengan agamawan culas demi kepentingannya. Kita, tak boleh
hancur, harus senantiasa akur. Kita, tak boleh menjadi manusia penuh curiga,
manusia penuh angkara. Bukankah, bila tak bisa berkawan dalam Iman, kita masih bisa berteman dalam kemanusiaan? Bukankah Sang Nabi tak pernah mengajari caci
maki lebih-lebih membenci?
Suatu ketika, kita rindu masa di mana sesama anak Bangsa
saling mentuatkan, saling bahu membahu untuk hidup yang lebih baik. Sebagaimana
para atlit Asian Games melakukannya. Bukankah pelukan hangat Hanifan kepada
Jokowi dan Probowo adalah final, final bahwa kita bangsa Indonesia. Kita rindu
memanggil kawan dengan sapaan akrab tak lagi cebong atau kampret.
Kita sudahi,
sekarang, tak ada perbuatan yang sia-sia selain mencaci maki. Tak ada yang
paling tidak berguna selain menyakiti hati sesama atas nama agama. Sang Nabi
ajari banyak hal soal cinta, kenapa kita sering berdusta padanya? Bila cinta adalah
esensi agama, kenapa benci yang tampil di muka? Cintailah saudaramu sebagaimana
dirimu sendiri. Tak bisa dalam Iman, kita masih bisa dalam kemanusiaan. Politik
biarlah politik, kita tetaplah manusia dengan nuraninya.


0 Komentar