Pembicaraan itu aku mulai tanggal 8 Juli 2014
kemarin, untuk berlibur pulang, rencananya untuk menghabiskan waktu liburan di
kampung halaman bersama keluarga dan teman-teman. Sebelumnya, sebulan sebelum
kepulanganku, kuhubungi bapak bahwa aku akan pulang tanggal delapan, dan
sahabatku dari Bengkulu dan Sulawesi akan turut juga berlibur ke rumah. Aku
minta kamarku untuk di pasangkan ranjang. Begitu saja, pembicaraan kami
selesaikan, antara aku dan Bapak memang tak pernah berbicara banyak, tapi satu
hal bahwa ia mengerti aku, dan mengerti bahasa diamku, serta aku tahu ia sangat
mencintai aku.
Ceritanya dimulai dari sebelum aku pulang, ada
keinginan dan rencana lebaran tahun ini tidak mudik, dan ingin menghabiskan
waktu di Jakarta untuk mengajar Qur’an memenuhi tawaran yang diberikan oleh
dosen yang akrab denganku. Tapi meski kecenderungan untuk tidak pulang sangat
kuat, akan tetapi magnet yang menginginkan aku untuk pulang lebih cepat, lebih
kuat dari kecederunganku untuk menetap.
![]() |
Ayah dan Anak sedang bercengkrama. Foto: tirto.id |
Perjalanan dimulai dengan perjalanan selama
dua hari dua malam dengan kereta api dari Stasiun Pasar Senen Jakarta menuju Stasiun
Pasar Turi Surabaya, berhenti sejenak di sana untuk transit kira-kira harus
menunggu 12 jam di Surabaya. Siang harinya tanggal 9 Juli aku bersama
sahabat-sahabatku melanjutkan perjalanan itu menuju Stasiun Banyuwangi Baru,
Banyuwangi. Perjalanan yang berat itu akhirnya sampai juga malam harinya di
Pelabuhan Penyeberangan Ketapang Banyuwangi.
Tepat Jam 11 malam lebih, kami tiba. Selama perjalanan, yang ada di pikiranku
adalah kesepian, ada sesuatu yang hilang tapi aku tak tahu apa itu. Di atas
kapal, tepatnya di dek kapal aku amati sekelilingku, lautan luas, oh aku sedang
berlayar di Selat Bali dan lautan lepas berhadapan dengan samudera Hindia yang
besar itu. Pertanda Bali sudah sangat dekat. Di dek kapal tepatnya ketika aku
berbicara dengan Nitya (adik tingkatku), aku bercerita tentang segala sesuatu
yang indah yang manusia alami sekarang adalah semuanya merupakan wasilah untuk
menuju-Nya. Apa yang dimiliki semua akan berpulang.
“Tya...bentar lagi sampai Bali, ada yang
seneng ni!”
“Hehe... iya kakak, mau ketemu bapak ma ibuk”
“Seneng ya kamu Tya,, tapi Tya kamu tahu
nggak, kalau kepulangan kita hari ini adalah kepulangan Fisik?”
“Gimana maksudnya ka’?”
“Iya....kita ini hanya pulang fisik, pulang
yang semu, kita pulang ingin bertemu orang-orang yang kita cintai, pada
dasarnya setiap dari kita akan pulang ke rumah asal, ke Dia. Kamu kangen sama
bapak?”
“Iya kak”
“Jangan terlalu terikat Tya, sebab kakak atau
kamu atau ayahmu dapat pulang kapan saja”
“Husss...jangan gitu ngomongnya kak”
“Iya memang begitu, kita hanya singgah. Bapak,
keluarga, kita semua sedang menuju kepulangan”.
Itulah pembicaraanku bersama anak itu, dan
kemarin adalah bapakku lah yang berpulang. Tak ada yang pergi, semua memang
kembali, semua merindukan kembali ke asalnya. Dengarlah suara merdu dan lirih
seruling bambu, yang menderita karena berpisah dari rumpunnya. Begitu rindunya
bambu yang terpisah itu, hingga kemerduan suaranya menunjukkan pada kita bahwa
ia merindu kembali ke asalnya. Itulah yang terjadi pada Bapak, ia rindu sekali
pulang ke rumah aslinya (Tuhannya). Karena ketahuilah bahwa segala sesuatu tak terkecuali
Bapak adalah bermula dari-Nya maka harus dan pasti kembali pada-Nya.
***
Dini hari itu, semua berjalan sebagaimana
biasanya. Tapi ada yang berbeda bahwa tubuhku sekarang tidak lagi di Jakarta,
tubuhku sudah ada di Bali, lebih tepatnya di Pelabuhan Gilimanuk. Ah...sialnya
aku sampai di Bali jam 00.00 Wita, sangat sulit mencari kendaraan untuk
ditumpangi guna menggantarku pulang. Yah...apa daya aku harus mampir dan
menginap sebentar di rumah sahabatku Alim.
Singkatnya, selepas sahur, aku minta pamitan
dengan Ibu Alim dan Alim untuk menyegerakan pulang. Sebab aku sudah janji bakal
pulang cepat, tanggal 9 malam aku harus sudah di rumah. Tapi aku sudah telat
beberapa jam. Alhamdulillah selepas sahur menunggu angkot akhirnya dapat juga,
bergegaslah aku ingin segera pulang.
Perjalanan terasa sangat lama, lama sekali rasanya
perjalanan yang hanya berjarak 30 menitan itu. Inilah mungkin yang dinamakan
kecenderungan hati, sehingga nuansa pikiran menjadi seakan merasakan sesuatu
yang berbeda dari realitas. Kenyataan bahwa waktu tetap begitu, tak ada yang
berubah, waktu akan tetap berjalan sebagaimana mestinya. Yang berubah atau yang
merasakan cepat atau lambat lagi-lagi hanyalah permainan persepsi diri kita.
Setelah beberapa lama di angkot, akhirnya
tibalah aku di rumahku, tapi tak persis di depan rumah, kira-kira 10 m dari
rumah, angkot berhenti. Bergegas aku turun dari angkot, dengan perasaan senang
ingin segera masuk rumah. “Assalamualaikum”...ucapku pada orang rumah, tapi
semua sudah tidur setelah sahur. Saat itu waktu subuh sebentar lagi. Hanya
bapakku saja yang masih aktif. Dan dialah orang pertama yang menyambutku, dan
memang begitulah gaya orang tua satu itu. Selalu menjadi orang pertama yang
menunggu kepulanganku dari Jakarta. Kata orang-orang akulah anak yang paling
dibanggakannya, katanya ia sering menceritakanku pada orang-orang atau
sahabat-sahabatnya. Tapi tentu bukan itu nilai pentingnya, bahwa ada sesuatu
pesan yang di simpannya untukku, bahwa kelak akulah yang harus menjadi anak
yang membanggakan.
Singkat cerita, seketika aku menyalaminya.
Saling bertukar senyum dan dibumbubui sedikit tanya jawab tentang kondisiku. Hari
demi hari seperti biasa berjalan, tanpa pikiran bahwa kelak akan datang masa di
mana semua harus terdiam, air berlinang dari setiap pasang mata yang merasa
memiliki kedekatan dengannya. Setibanya di rumah, tepat hari kamis tanggal 10
Juli 2014 subuh hari aku sampai ke rumah. Tak banyak bertemu dengan Bapak atau
Ibu sebab aku langsung rehat dan tidur karena kelelahan setelah perjalanan yang
panjang.
Entah apa juga hal yang mendorong bapak untuk
ikut bekerja pada hari itu dengan kawannya, padahal aku tahu ia tidak memiliki
keahlian di pekerjaan manjat memanjat. Iya...aku hanya menjumpainya dalam
beberapa hari di rumah. Aku sadar ada sesuatu yang aneh yang tak biasa di
hari-hari terkahirnya, apa itu sebuah isyarat kepulangan, entahlah aku tak
memahaminya, hingga pada akhirnya semua terjadi, dan aku mengalami situasi itu.
Sore hari, ketika bapak pulang dari kerjanya,
ia begitu senang, ia selalu menatapku, meski tak ada bahasa kata terucap, tapi
aku tahu, ada cinta di dalamnya. Bahasa kami memang bahasa diam, diam kami
adalah pembicaraan batin. Kami buka bersama, meski tak satu meja, karena aku
selalu buka belakangan, aku tak ingin mengganggu makannya, selalu kudahulukan
beliau untuk berbuka setelah beliau selesai, barulah aku. Kebiasaannya setelah
buka adalah menyegerakan shalat, ia tak pernah tidak disiplin dalam shalat,
memang dialah yang menjadi panutannku di rumah kalau soal disiplin dan
kesederhanaan.
Seperti biasa, bagi kami keluarga yang
keberagamaannya mengikuti tradisi NU, selepas magrib selalu tarwih, bapak
selalu mengajakku untuk tarwih bareng, selalu memboncengku, dengan motor
kebanggaannya, motor kami tak bagus dan kami memang tak pernah memiliki
kendaraan yang bagus, tapi bagi bapak yang terpenting dari sebuah kendaraan
adalah dapat mengantarnya ke Masjid dan bekerja. Hal ini dapat diwajari karena
ia adalah ta’mir atau pengurus masjid, yang sekaligus juga merangkap imam dan
khotib di masjid, sehingga butuh kendaraan untuk bolak-balik masjid.
Tapi sayang, aku tidak pernah bisa belajar
secara benar untuk memahami pesan dari setiap gerak-geriknya. Bahwa aku lebih
sering membangkangnya. Lebih tepatnya aku lebih sering mengabaikan orang tua
yang baik itu. Memang begitulah tabiat manusia, lebih tepatnya aku, itulah
kenapa manusia sering diingatkan dalam al-Qur’an agar senantiasa memahami dan
merenungi siklus kehidupan ini dengan waktu yang senatiasa bergerak. Karena itu
juga, Allah dengan intens mengingatkan dengan sumpah-sumpah-Nya yang sering
memakai bagian dari waktu-waktu dunia untuk bersumpah seperti; Demi waktu dhuha
(QS. 93), Demi Malam apabila menutupi (QS. 92), Demi Fajar (QS. 89), Demi Waktu
Ashar (QS. 103).
Tentu ada makna yang harus ditangkap kenapa
Tuhan menggunakan bagian-bagian waktu di dunia untuk sumpahnya dalam al-Qur’an.
Paling tidak itu dijelaskan dalam beberapa surat, bahwasanya manusia adalah
makhluk yang sering lupa dan lalai atau dilalaikan terhadap hiruk pikuk dunia
yang sejatinya semu ini. Ini jelas sekali ketika Tuhan berkata “Sesungguhnyamanusiaitubenar-benardalamkerugian”. Namun tak akan rugi
mereka yang “kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakanamalsaleh dan
nasehatmenasehatisupayamentaatikebenaran dan
nasehatmenasehatisupayamenetapikesabaran” (QS. 103:
2-3).
Secara
sederhana, memang waktu adalah salah satu hal atau makhluk yang tidak bisa
diajak kompromi, meski begitu anehnya kita sebagai manusia banyak yang sering
lupa dan lalai. Sering kita membuang waktu dengan hal-hal yang sia-sia,
nongkrong dengan pembicaraan yang sejatinya tiada berguna. Maka ketika tiba
masanya yang dimana semuanya harus diperhitungkan dan apa yang kita miliki
tiada lagi berguna, maka yang timbul adalah penyesalan demi penyesalan. Inilah
kenapa kemudian al-Qur’an banyak menceritakan bahwa sakit dari penderitaan
akhirat adalah karena penyesalan-penyesalan, dan porsi untuk hal ini lebih
banyak ketimbang keluhan akan sakitnya siksaan akhirat.
***
Tepat aku berdiri di belakangnya, ia di shaf
depan (pertama) tepat depan mimbar, dan aku di baris ketiga di belakangnya. Aku
perhatikan orang tua itu (Bapak) meski aku tahu ia sangat lelah tapi ia tetap
semangat untuk tarwihnya. Bapak bukan lulusan pesantren, tak juga memahami
filsafat terlebih tafsir. Tapi ia selalu berpesan padaku bahwa kita adalah
milik Tuhan dan karena itu sudah sepatutnya kita menghamba (tunduk) pada Sang
Pemilik. Tapi pun begitu, bapak adalah orang yang suka belajar dan membaca,
untuk itulah buku-bukunya banyak sekali di rumah, dan kini jadi bagian yang
diwariskannya padaku. Aku juga memberinya buku “Dia Ada Di mana-mana” karya
Prof. Quraish, dan menjadi buku yang disukainya.
Tarwih malam jum’at itu adalah menjadi tarwih
pertama dan terakhirku bersamanya di malam jum’at bulan ramadhan tahun ini.
Hari-hari berikutnya pun berjalan seperti biasa, kadang sepulang tarwih beliau
menimpaliku ketika membaca, meski tanpa bahasa kata sekali lagi, tapi aku tahu
ada cinta di dalamnya, ia dekat sekali di sampingku. Kadang juga kami
berdiskusi tentang situasi politik Pilpres tahun ini. Memang kalau di rumah
beliaulah lawan diskusiku, ia bapak dan kawan diskusi yang baik dan
menyenangkan. Hingga kamis tanggal 17 Juli atau hari ke 18 ramadhan bapak
berpulang. Innalillahi wainna ilahi raaji’un, semoga damai menyertai bapak, aku
kehilangannya.
Tapi sebelumnya jum’at kemarin atau sehari
setelah kepulanganku, bapak berkhutbah jum’at. Dan ini adalah khutbah jum’at
terakhirnya sekaligus khutbah perpisahan pada jamaah dan sahabat-sahabatnya.
Pembicaraan khutbah itu aku ingat betul, intinya bagaimana puasa menjadi titik
tolak manusia untuk kembali membersihkan dirinya dan mempertajam rasa
kemanusiaan dan empati terhadap sesama. Iya...itulah khutbahnya, tapi ada yang
aneh, tak biasanya seperti khutbah-khutbahnya yang kudengar, bapak banyak salah
mengucap kata-kata, waktu itu bibirnya lagi sakit dan bengkak. Sepulangnya
jum’atan Bapak bercerita pada Ibu bahwa jum’at depan ia sudah tidak akan kerja
lagi, karena waktu jum’at lebih tepatnya jum’at depan ia sudah sisakan untuk
Tuhan. Ia bilang pada Ibu bahwa tugas menjadi Imam dan Khotib masjid sudah ia
serahkan pada sahabat-sahabat ta’mirnya.
Siapa yang mengerti isyarat itu? Tak ada yang
mengerti, bahwa isyarat-isyarat itu adalah isayarat bahwa ia akan segera pulang
atau isyarat perpisahan dengan kami yang masih akan terus berkutat dengan dunia.
Kullu Nafsin daiqatul maut (tiap-tiap yang bernyawa memiliki batas
waktunya) maka ketika masanya tiba tak ada yang dapat membantah, bahkan
memajukan atau memundurkan sesaatpun. Hingga hari itu tiba, penyesalanlah yang
timbul dan meliputi diriku. Tak ada siksaan yang lebih sakit dari penyesalan.
Bukan kematian yang aku tangisi, tapi penyesalan yang begitu menyakitkan. Untuk
itulah engkau yang masih memiliki orang tua, janganlah sepertiku, betapapun
sulitnya usahakanlah sedapat mungkin berbakti kepada orang tuamu, lihatlah
wajah mereka setiap pagi dan sebelum tidur betapa surga di sana. Janganlah
engkau menyia-nyiakannya, kalaulah mereka sudah tiada apalah bakti seorang anak
selain memberinya do’a. Dan ingatlah bahwasanya manusia sering lalai, maka
waspadalah agar kita tidak termasuk dalam golongan yang merugi golongan yang
menyesal. Bahkan al-Qur’an menggambarkan bahwa seandainya diberikan kesempatan
oleh Allah untuk memilih maka makhluk di neraka akan meminta di kembalikan ke
dunia barang sedetikpun untuk memperbaiki apa yang di sesalkannya, tapi itu
semua tak akan terjadi.
“Sungguh telah
rugilah orang-orang yang mendustakan pertemuan mereka dengan Tuhan; sehingga
apabila kiamat datang kepada mereka dengan tiba-tiba, mereka berkata:
"Alangkah besarnya penyesalan kami, terhadap kelalaian kami tentang kiamat
itu!", sambil mereka memikul dosa-dosa di atas punggungnya. Ingatlah, amat
buruklah apa yang mereka pikul itu” (QS. 6:31).
Hal yang sama juga diceritkan
al-Qur’an oleh al-Qur’an pada berbagai surat dalam banyak ayat seperti; QS. 7:
136, 146, 179, 205, QS. 10: 7 “Sesungguhnya orang-orang yang tidak
mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan
kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang
melalaikan ayat-ayat Kami”. Dan masih banyak lagi yang lainnya.
0 Komentar