"Mazhab Insomnia", Catatan Halaman ke-58

Bung, sebetulnya saya sudah sampai pada halaman 168 dari buku bung, ternyata ada tulisan soal Ibrahim yang pernah saya kritik juga. Kritik itu tidak saya maksudkan untuk adu benar, tapi soal tawaran pandangan lain dari sisi lain cara pandang yang saya miliki.

Tapi saya tidak hendak membahas soal halaman atau soal tulisan Ibrahim itu. Terus terang saya sangat menikmati tulisan-tulisan bung, hanya saja dalam beberapa esai saya mesti menekuk leher dan mengernyitkan dahi sungguh-sungguh, karena saya harus kembali memahami soal-soal filsafat yang cukup rumit. Tapi sekali lagi bukan soal itu bung  perihal tulisan ini saya buat.

Buku Mazhab Insomnia. Foto: google
Gini bung, coba bung baca sekali lagi tulisan halaman 58 dengan judul, "Cukupkah Bahasa Indonesia?". Tulisan ini tidak mampu membuat saya melaju sekaligus ke halaman 169, saya khawatir rasa "penasaran" saya pada tulisan itu membuat saya tidak konsentrasi membaca tulisan selanjutnya. Maka kuputuskan membacanya sekali lagi. Ternyata benar, saya merasa ada beberapa hal yang saya ingin tanyakan, dan berikan catatan pinggir.

Bung benar, dan memang bung sudah jawab sendiri soal judul tulisan bung itu. Jika Bahasa Indonesia ini diciptakan untuk konteks persatuan Indonesia, saya rasa saya setuju dengan bung, bahwa bahasa Indonesia memang dibuat sebagai alat komunikasi paling sederhana. Mulai dari sistem morfologi dan leksikalnya yang jauh dari rumit, tidak seperti bahasa Inggris, Arab dll. Dan toh bung sudah jawab sendiri bahwa bahasa Indonesia representatif sebagai bahasa persatuan di tengah kemajemukan kultur, adat, agama serta bahasa. Rasa-rasanya bahasa Indonesia memang diciptakan untuk egalitarianisme.

Kedua, saya juga sependapat bahwa banyak sekali istilah dalam bahasa asing yang ketika dicoba dialih bahasakan ke bahasa Indonesia menjadi kehilangan makna. Padahal, istilah-istilah itu adalah jantung pemikiran beberapa gagasan yang muncul di Barat.
Ketiga, nah ini bung, di sini ketidak sepakatan saya. Alasan bung mengatakan bahwa kenapa bahasa itu sulit diterjemahkan ke bahasa kita? Selain karena simplisitas tadi, bung juga bilang karena karena bahasa Indonesia tak merepresentasikan kecenderungan orang berpikir, yang intinya bung ingin bilang bangsa Indonesia ini bukan bangsa perenung, pemikir, peneliti serta filsuf.

Saya tidak terlalu peduli apakah bangsa ini bangsa pemikir, perenung, peneliti, filsuf atau bukan. Tapi apakah gara-gara simplisitas bahasa kemudian kesimpulannya bisa begitu bung? Saya punya opsi pandangan lain bung. Bahasa Indonesia sejatinya bukan bahasa asli dari bangsa Indonesia.

Kita tahu bahwa ini adalah perluasan dari bahasa Melayu. Alasan kenapa bahasa Melayu (dengan modifikasinya) diterima sebagai bahasa Nasional, menurut Buya Syafii kalau saya tidak salah ingat, karena bangsa Indonesia ini mencintai kesetaraan, ini dibuktikan karena meski bahasa Jawa dengan suku Jawanya yang paling banyak di negeri ini, tidak juga lantas dijadikan bahasa Nasional, padahal kalau ukurannya mayoritas, harusnya Jawa jadi bahasa nasional, saya duga karena bahasa Jawa masih terdapat strata.

Bung kan juga tahu, kalau bangsa Indonesia ini kan bangsa baru, bangsa yang dinamakan bangsa karena gabungan bangsa-bangsa. Coba kita bayangkan, ketika bicara bangsa Indonesia, atau budaya Indonesia, kita akan kesulitan menemukan bangsa atau budaya Indonesia itu sendiri. Yang kita temukan pasti bangsa budaya atau bangsa Sunda, Batak, Bali, Papua dll. Itu kenapa bangsa Indonesia adalah sebuah Nation-State. Tapi saya yakin bung paham ini.

Gini bung, intinya bahwa bung benar kalau bahasa ini memang tak mampu banyak menerjemahkan istilah-istilah filsafat. Kan bung sudah jawab, karena memang bahasa ini untuk simplisitas, kesetaraan, egalitarian, di tengah-tengah kerumitan bahasa-bahasa, budaya, adat yang bangsa ini miliki, guna menyatukan itu, butuh bahasa yang menganggap semua orang sama manakala menjadi Indonesia. Kalau kata Cak Nun, menjadi Indonesia itu berarti jika kamu orang Bali,  pada saat yang sama jiwamu juga ada Sunda, Batak, Papua, Bugis, Melayu dll sebagai jiwamu, dalam Indonesia.

Jadi saya tidak sepakat kalau ketidakmampuan bahasa Indonesia  menerjemahkan istilah-istilah itu lantas bangsa ini disebut cenderung enggan merenung, mikir dll. Bahasa kan lahir dari situasi sosio-kultur masyarakat setempat, ia mencerminkan semua itu, bahasa Indonesia kan lahir dari kerumitan suku, budaya dll. yang saya sebut tadi.

Toh jika kita katakan kesimplisitasan bahasa dan ketidakmampuan menerjemahkan istilah-istilah bahasa lain, misalnya Barat, adalah mencerminkan keinferioritasan suatu bangsa, maka kerumitan bahasa Arab, apakah mencerminkan bangsa Arab sebagai bangsa pemikir? Tidak, toh kita paham bahwa filosof kebanyakan tidak berdarah Arab, dan bangsa Arab dulu adalah bangsa yang jahil, enggan berpikir dan merenung, tapi istilah-istilah filosofis banyak sekali dalam bahasa Arab kan? Nah simplisitas dan komplektisitas tidak serta merta menunjuk bahwa bangsa ini dan itu lemah berpikir.

Bahasa Indonesia kan untuk persatuan, dalam bahasa Indonesia kan juga hidup bahasa-bahasa Ibu lainnya. Beberapa memiliki istilah-istilah yang dalam yang tak bisa diterjemahkan ke bahasa Indonesia atau bahasa lainnya, contohnya seperti istilah permainan sunda yang bung tulis di esai bung, tapi sayangnya saya lupa apa namanya, saya bolak balik juga tak ketemu istilah itu. Barangkali bung bisa ingatkan.

Bung, gimana kalau istilah-istilah Barat itu diterjemahkan ke salah satu istilah bahasa Ibu (daerah) yang pas, barangkali bahasa Ibu itu bisa diserap jadi bahasa Indonesia kita kemudian?..... (Barangkali bisa)

Selamat menikmati, buku yang nikmat!


MAZHAB INSOMNIA: Catatan-Catatan Menjelang Tidur
Penulis         : Hendra Januar
Halaman      : 240
Kota Terbit  : Purwakarta
Tahun Terbit: Februari 2018
Penerbit       : Athena Publisher
Komentator : Deni Gunawan

Posting Komentar

0 Komentar