Oleh: Dr. Muh. Nur. Jabir
Suatu
hari Sokrates melihat seorang pria dengan wajah penuh amarah. Melihat orang
itu, Sokrates mendekatinya lalu bertanya penyebab amarahnya.
Kemudian pria itu menjawab, "saat di perjalanan, saya
menjumpai salah seorang kawan, saya mengucapkan salam padanya namun ia tak
menjawabnya, bahkan dengan angkuhnya ia pergi begitu saja tanpa peduli sama
sekali, inilah yang membuatku marah".
![]() |
Foto: Google |
Sokrates kembali bertanya, "mengapa anda mesti bersedih". Pria tadi kembali menjawab dengan penuh takjub, "Ya jelas dong, tingkah kawan seperti itu tentu menyakitkan".
Sokrates kembali bertanya, "bagaimana jika diperjalanan
anda melihat seseorang yang jatuh dan akhirnya terluka, dan kemudian ia merasa
kesakitan karena lukanya. Apakah badan anda juga ikut sakit dengan melihat
kejadian itu?"
Pria tersebut menjawab, "sudah pasti, badan saya tak kan
pernah merasakan sakit sebagaimana orang yang jatuh tersebut yang merintih
kesakitan karena lukanya"
Sokrates bertanya lagi, "lalu bagaimana perasaanmu melihat
orang tersebut dan kira-kira tindakan apa yang akan kamu lakukan?"
Pria tadi menjawab, "saya merasa sedih dan saya akan
membawanya kepada seorang tabib atau mungkin memberinya obat"
Kemudian Sokrates menjawab, "apa anda tahu mengapa melakukan
hal tersebut? Dikarenakan anda melihat orang tersebut sebagai orang sakit. Nah,
apakah manusia hanya badannya yang sakit? Dan bukankah seseorang yang
perbuatannya tidak benar menunjukkan bahwa jiwanya sakit?
Jika pikiran dan jiwa seseorang itu sehat, apa mungkin akan
melakukan perbuatan yang buruk? Sakit pikiran dan jiwa disebut dengan
'kelalaian'. Dan seharusnya kita tak perlu ikut sakit hati kepadanya, tetapi
yang mesti kita lakukan adalah menolongnya dan membawanya kepada tabib ruhani.
Karena itu jangan pernah sakit hati pada orang yang jiwa dan
pikirannya sakit. Jangan pernah kehilangan kesadaran dan ketenangan jiwa. Siapa
saja yang sakit hati pada orang yang jiwa dan pikirannya sakit, pada saat itu,
ia pun tergolang sakit.
Penulis adalah Ditrektur Rumi Institute
0 Komentar