Hari ini tepat, sudah empat puluh hari Bapak meninggalkan dunia. Iya… empat
puluh hari lalu itu, perpisahan itu terjadi secara tiba-tiba dan begitu
mendadak sekali. Namun, meski semuanya sudah berlangsung empat puluh hari, tapi secara
pribadi aku belum bisa sampai saat ini menerjemahkan arti dari suatu kenyataan.
Barangkali bisa dikatakan begitu. Iya…dalam hal ini aku memang terlihat kurang
pintar atau bahkan bodoh. Tapi terserahlah, aku tak peduli pada kata sebagian
orang yang menganggapku cengeng, tak bisa ikhlas, dan lain sebagainnya. Tapi
satu hal yang harus mereka tahu bahwa, mereka tidak sedang berada pada posisi
sepertiku. Persoalan cengeng bukanlah persoalan air mata yang senantiasa
mengalir, persoalan ikhlas bukan persoalan bagaimana menerima kenyataan. Bersedih bukan berarti aku kehilangan masa depan dan semangatku,
salah besar kau menerjemahkan aku begitu.
Rasa manis gula tentu akan berbeda cerita bagi yang pernah
mencicipi atau mengalami melalui lidahnya dengan yang tidak. Begitupun Anda,
bagaimana Anda bisa menghakimiku, sedang aku mengalami, dan kalian tidak. Aku
pemainnya saat ini, dan Anda pengamatnya, tentu pengamat akan lebih pintar
berbicara dan berteori ketimbang pemain sepertiku, meski telah empat puluh hari
aku berlatih dengan kenyataan ini, aku belum juga pintar seperti pengamat.
Pengamat sama sekali tidak pernah berlatih, bagaimana akan berlatih, mengalami
saja tidak. Beginilah, sebagai pemainnya, aku sedang berjuang di dalam, meski
di luarpun aku harus berjuang memberikan kebahagiaan pada setiap pasang mata
yang aku tatap.
Di dalam ada ceceran kebahagiaan yang harus ku susun sendiri, di
luar ada ribuan pasang mata yang harus ku bagi senyum. Ada pertengkaran jiwa,
ada kesulitan berpikir, untuk orang sepertiku. Sekali lagi bahasa kematian sulit
sekali aku analisa melalui pemikiran, melalui intuisi mendalam. Bagaimana tidak,
pertemuanku dengannya hanya terhitung hari, tak sampai minggu. Hampir tiga tahun akutak pulang kampung
karena kuliah di Jakarta, tak melihat wajahnya, tak duduk bersama, ternyata
kepulangan mudik hanya kepulangan untuk mengantarnya pulang. Aku tak bisa banyak
bercerita pada bahasa kata suara, mungkin bahasa tulisan yang mampu, paling
tidak, dapat menghindarkanku dari kesedihan yang mendalam, dan tekanan depresi
yang sangat.
***
Siang itu, terik matahari baru akan menyengat, yah sekitar pukul
11.30 wita. Ketika matahari Bali akan tepat di atas ubun-ubun yang juga mungkin
akan membantu proses perubahan warna kulit dari yang semula agak putih menjadi
sedikit gelap. Aku buka laptopku, aku ingin menulis sebuah refleksi tentang
ramadhan, karena seminggu lagi akan lebaran. Kurangkai kata perkata hingga
tersusun dua paragraf, ketika akan kumulai menulis rangkaian paragraf ketiga.
Suara sepatu dengan tergopoh-gopoh masuk ke dalam rumah, mukanya kusut dan
penuh takut. Kakakku datang dari sekolah mengajar, dia buka pintu rumah
dengan kasar, tepat di mana aku di ruang tamu sedang menulis.
“Sudah dikasi tahu apa belum?” tanyanya penuh ketakutan, terlihat
dari raut wajahnya yang kuamati seksama.
“Kasih tau apa?” tanyaku biasa.
“Bapak kecelakaan” jawabnya singkat.
Seketika tanganku berhenti menulis, gagasanku buyar, dan pikiranku
berantakan. Berita kematian memang belum kami dapatkan, karena seseorang hanya
memberitakan bahwa Bapak
kecelakaan, walau pada kenyataannya saat
berita tentang kecelakaan itu masuk ketelinga kami, Bapak di sana sudah tiada. Selama jeda ketidaktahuan itu, perasaanku
sudah tertuju pada kematiannya, serentak dari ujung rambut dan kepala seakan
mati rasa. Semua saudara-saudaraku kutelepon dan kukabari, baik yang di Bali
maupun di Jawa, kuminta mereka untuk pulang.
Aku mencari Bapak, namun aku tak tahu, kupakai saja motor untuk mencarinya,
berbekal sedikit berita tentang posisi terkahirnya di mana. Kurang lebih satu jam aku
mencarinya, tapi tak ketemu, saat aku di kendaraan, telepon berdering. “Nak, Bapak sudah meninggal”. Kata itu
benar-benar membuat pikiranku lumpuh, aku tak dapat merasakan apapun di
kendaran itu.Aku harus segera pulang, ah ini mimpi. Begitulah gejolaknya, bagi Anda
mungkin ceritanya terdengar biasa, tapi bagiku, entah bagaimana cara untuk
memahaminya.
Iya..antara percaya dan tidak percaya, meski sudah empat puluh
hari dari kematiannya di dunia, aku belum juga mampu memahaminya. Ya aku paham “setiap yang bernyawa pasti memiliki batas
waktunya”, dan memang begitu kenyataan dan apa yang diceritakan
al-Qur’an. Hari ini saja, bukan tentang kepergian Bapak yang aku beratkan, tapi tentang
Ibuku yang seorang diri di rumah, tak lagi memiliki tempat berkeluh kesah, pada
siapa ia akan bercerita, jika seketika beban hidup menimpanya.
Hari itu saja, seminggu sebelum kembaliku ke Jakarta, aku bilang “bagaimana bila aku kembali ke Jakarta?” Jawaban Ibuku
hanya diam dan air mata. Itu sebuah tAnda kesedihan yang mendalam, bukan? Bahkan
sehari, atau bahkan beberapa jam sebelum kembaliku ke Jakarta. Aku belum mem-facking barang-barangku. Gairah ke Jakarta
lenyap sudah, aku tak mengerti, mengapa semua berantakan dan tercecer. Hingga akhirnya Ibu
sendiri yang mengemasi barang-barangku, sedang aku pergi ke kubur untuk pamit
di atas pusara Bapak, aku meminta maaf, minta restu, dan menyampaikan salam Ibu pada Bapak, bahwa Ibu mencintainya.
Singkatnya, selama perjalan menuju Jakarta, di dalam Bus,
pikiranku kacau benar, ada yang tertinggal di Bali. Dan semua adalah tentang
Ibuku, aku tahu bahwa ketika aku sampai di Jakarta, aku akan bertemu
kawan-kawan yang akan senantiasa tertawa, yang senantiasa tersenyum, tapi
mungkin itu hanya di luar, di dalam aku kesepian. Benar saja, sampai di
Jakarta, banyak yang bersimpati padaku, mereka juga tersenyum padaku, tapi tak
satu orang mengerti bahasaku.
Aku pergi ke kampus, bertemu wajah kawan-kawan, wajah para staff,
wajah adik angkatan. Semua penuh ceria dan cerita bahagia sepulang
liburan. Barangkali cerita bahagiaku selama liburan, hanya tentang memandikan
jasad Bapak, mengkafani, menyhalatkan, dan menguburkan, serta tentang
menemani Ibu yang aku tahu jauh di dalam hatinya berantakan.
Bahkan untuk suatu acara OSPEK pun aku tak bisa menikmatinya. Tapi selama OSPEK aku sangat
senang, aku dapat menjumpai setiap wajah anak negeri dari seluruh pelosok
Indonesia tersenyum. Paling tidak, meski singkat, keadaan itu mampu menahan
sedih dan sepiku untuk tiga hari. Sekali lagi. Memiliki kawan dan adik tingkat
dari seluruh pelosok negeri adalah anugerah tersendiri. Aku dapat melihat senyum
mereka selam tiga hari, mendengar cerita mereka. Aku bertemu seorang anak Papua, mendapat sebuah kalungan name tag dari anak Aceh, mendapat surat dari
peserta. Betapa senangnya, tempat yang selama ini ingin kukunjungi, kini telah
datang orang-orangnya dan memberi sambutan hangat padaku. Adalah kebahagiaan
tersendiri bisa berkumpul dan merangkai cerita pada seluruh panitia dan peserta
OSPEK.
***
Pagi itu, saat matahari Jakarta hendak memperkenalkan wajahnya,
aku dan beberapa kawan panitia OSPEK telah bersiap untuk berangkat dan
menyambut suatu suasana yang pasti akan sangat menyenangkan. Acara yang akan
membuat antara panitia dan peserta memiliki jalinan yang bukan hanya jalinan
sekadar antara Senior dan Junior. Tapi antara adik tingkat dan kakak tingkat
yang saling mengenal dangan dasar ketulusan dan keakraban.
Berangkatlah kami pagi itu, dengan seluruh panitia baik putri atau
putra dalam satu KOPAJA. Seperti biasa, selama perjalanan untuk sebuah kota
bernama Jakarta, kau akan mendapati lalu lalang manusia di jalanan yang
disibukkan dengan dunianya. Macet, itu suatu kepastian, sehingga kadang menjadi
biasa jika dilihat sehari-hari.Tapi bagiku sendiri kemacetan membuat setres dan
benar-benar harus extra bersabar.
Singkatnya, sampailah kami di kampus, seluruh panitia OSPEK telah
sibuk dengan tugas-tugasnya. Aku sendiri karena kebetulan sebagai ketua BEM
langsung ke kantor BEM untuk melihat proses kegiatan berrjalan. Pagi itu akan
dilaksanakan UPACARA bendera untuk memulakan acara OSPEK. Tapi aku tak ikut,
aku di atas, dan semua proses acara aku percayakan pada panitianya. Melihat
wajah-wajah panitia penuh semangat betapa senangnya aku, meski tekanan di dalam
untuk suatu kenyataan belum juga aku bisa patahkan.
Sesekali aku keluar melihat jalannya acara
OSPEK, kulihat wajah-wajah anak-anak peserta yang penuh semangat dan cita-cita,
aku semakin optimis, bahwa negeri kita akan menuju arah kebaikan dan kemajuan. Di
tangan merekalah semua akan berada. Dan aku yakin itu.Hingga aku dapat melihat
jelas wajah-wajah keceriaan peserta saat aku meberi sambutan pembukaan OSPEK
sebagai ketua BEM di kampusku. Aku benar-benar melihat semangat,
melihat masa depan yang begitu cerah, bahwa kelak kita akan bersama-sama
membangun suatu kemajuan, paling tidak bagi diri sendiri.
Hingga hari kedua, wajah itu masih penuh
semangat, penuh keceriaan, penuh masa depan, hal yang dapat membangun
semangatku kembali untuk menyusun kembali kebahagiaan yang berserakan selama
empat puluh hari. Pada malam hari di mana acara MAKSI (Malam Kreatifitas Seni)
yang dilaksanakan panitia, betapa senangnya aku, anak-anak baik peserta dan panitia
semangat sekali, meski aku tahu betapa lelah sekali mereka. Mereka tersenyum,
penuh tawa mesra, sekali lagi kado indah yang tak bisa ku beli, meski aku tidak
ulang tahun. Acara itu membuat aku tertawa
lepas, melupakan sejenak proses untuk memahami arti suatu kematian.
Hingga pada acara penutupan tiba, ya meski berat, tapi semua harus
ditutup.Mungkin inilah sebuah kenyataan, kita bertemu dan pasti
berpisah. Sebagaimana aku dan bapak, aku dipertemukan sebagai anaknya, dan aku
dipisahkan sebagai anaknya oleh kematian. OSPEK pun begitu, kita bertemu,
mengukir cerita dan tawa, dan akhirnya ditutup dengan cerita dan perpisahan.
Tapi perpisahan ini bukanlah selamanya, karena kita masih dapat bertemu hari
ini, tak seperti aku yang sulit sekali bertemu Bapak dan Ibu, ah aku bukan sorang sufi (ahli
tasawwuf).
Yah... aku tak dapat bercerita banyak, di empat puluh hari ini, aku
khawatir tekanan di jiwaku semakin berat, jalan satu-satunya selain dengan
untaian do’a-do’a aku hanya bisa menuliskannya, sebab kadang aku tak bisa
bercerita pada orang lewat bahasa lisan. Aku khawatir air mataku jatuh di depan
kalian yang tak semsetinya juga harus menanggung keadaanku. Aku tak ingin
berbagi beban, aku hanya ingin berbagi senyum dan kebahagiaan. Meski selama
proses penulisan ini, air mataku tak henti menetes, walau kadang sekuat tenaga
menahan, tapi tetap saja jatuh. Agak malu kawan-kawan di ruang BEM melihatku,
tapi aku bilang sakit mata saja.
Ya…terserahlah kata kalian yang membenci sikapku ini. Ya anggaplah
aku belum bisa ikhlas, sehingga harus cengeng dan lebai seperti ini. Ya aku
memang bodoh, aku memang tak sehebat kalian mengerti arti filosofis dari sebuah
kesabaran dan keikhlasan. Sekali lagi, butuh prsoses untuk orang sepertiku untuk
mengerti bahwa ini nyata dan kenyataan. Jika Soe Hok Gie berkata, tak ada hal di
dunia ini yang lebih romantis dari hanya sekadar berkata tentang
kebenaran. Maka, aku ingin bilang, tak ada yang lebih menyakitkan di dunia ini
dari selain penyesalan. Selagi belum tiba masanya, engkau yang memiliki orang
tua, berbaktilah, hormatilah, dengarkanlah ceritanya, meski kau tak setuju,
jangan bantah mereka, jika kau ingin menolak, baikkanlah caranya agar tak
menyinggung dan menyakitkannya. Itulah yang diajarkan al-Qur’an dalam beradab
dengan orang tua. Lalu jika mereka sudah tiada, apalah cara untuk berbakti
selain dari berdo’a dan membuatnya bangga di sana.
Aku percaya, orang-orang shalih yang berjuang di jalan Allah tidak
akan pernah mati meski jasadnya telah sirna. Antara kita dan mereka masih bisa
berhubungan, seperti aku dan bapak, yang setiap subuh Bapakhadir dalam mimpiku membacakan
al-asma’ al-husna. Semoga damai menyertainya, dan kita semua mampu belajar dan
terus belajar, bahwa hidup selalu akan penuh penyesalan-penyesalan, inilah
kenapa, sekali lagi, al-Qur’an banyak menceritakan betapa banyak orang tersiksa
pedih di akhirat bukan karena api nerakanya, tapi karena penyesalan yang
menyakitkan. "Lalu Pak,
ikhlas itu seperti apa?"
0 Komentar