“Pak, Ikhlas Itu Seperti Apa?”

Oleh: Asturias
Hari ini tepat, sudah empat puluh hari Bapak meninggalkan dunia. Iya… empat puluh hari lalu itu, perpisahan itu terjadi secara tiba-tiba dan begitu mendadak sekali. Namun, meski semuanya sudah berlangsung empat puluh hari, tapi secara pribadi aku belum bisa sampai saat ini menerjemahkan arti dari suatu kenyataan. Barangkali bisa dikatakan begitu. Iya…dalam hal ini aku memang terlihat kurang pintar atau bahkan bodoh. Tapi terserahlah, aku tak peduli pada kata sebagian orang yang menganggapku cengeng, tak bisa ikhlas, dan lain sebagainnya. Tapi satu hal yang harus mereka tahu bahwa, mereka tidak sedang berada pada posisi sepertiku. Persoalan cengeng bukanlah persoalan air mata yang senantiasa mengalir, persoalan ikhlas bukan persoalan bagaimana menerima kenyataan. Bersedih bukan berarti aku kehilangan masa depan dan semangatku, salah besar kau menerjemahkan aku begitu.

Rasa manis gula tentu akan berbeda cerita bagi yang pernah mencicipi atau mengalami melalui lidahnya dengan yang tidak. Begitupun Anda, bagaimana Anda bisa menghakimiku, sedang aku mengalami, dan kalian tidak. Aku pemainnya saat ini, dan Anda pengamatnya, tentu pengamat akan lebih pintar berbicara dan berteori ketimbang pemain sepertiku, meski telah empat puluh hari aku berlatih dengan kenyataan ini, aku belum juga pintar seperti pengamat. Pengamat sama sekali tidak pernah berlatih, bagaimana akan berlatih, mengalami saja tidak. Beginilah, sebagai pemainnya, aku sedang berjuang di dalam, meski di luarpun aku harus berjuang memberikan kebahagiaan pada setiap pasang mata yang aku tatap.
 
Foto: kiblat.net
Di dalam ada ceceran kebahagiaan yang harus ku susun sendiri, di luar ada ribuan pasang mata yang harus ku bagi senyum. Ada pertengkaran jiwa, ada kesulitan berpikir, untuk orang sepertiku. Sekali lagi bahasa kematian sulit sekali aku analisa melalui pemikiran, melalui intuisi mendalam. Bagaimana tidak, pertemuanku dengannya hanya terhitung hari, tak sampai minggu. Hampir tiga tahun akutak pulang kampung karena kuliah di Jakarta, tak melihat wajahnya, tak duduk bersama, ternyata kepulangan mudik hanya kepulangan untuk mengantarnya pulang. Aku tak bisa banyak bercerita pada bahasa kata suara, mungkin bahasa tulisan yang mampu, paling tidak, dapat menghindarkanku dari kesedihan yang mendalam, dan tekanan depresi yang sangat.

***
Siang itu, terik matahari baru akan menyengat, yah sekitar pukul 11.30 wita. Ketika matahari Bali akan tepat di atas ubun-ubun yang juga mungkin akan membantu proses perubahan warna kulit dari yang semula agak putih menjadi sedikit gelap. Aku buka laptopku, aku ingin menulis sebuah refleksi tentang ramadhan, karena seminggu lagi akan lebaran. Kurangkai kata perkata hingga tersusun dua paragraf, ketika akan kumulai menulis rangkaian paragraf ketiga. Suara sepatu dengan tergopoh-gopoh masuk ke dalam rumah, mukanya kusut dan penuh takut. Kakakku datang dari sekolah mengajar, dia buka pintu rumah  dengan kasar, tepat di mana aku di ruang tamu sedang menulis.

“Sudah dikasi tahu apa belum?” tanyanya penuh ketakutan, terlihat dari raut wajahnya yang kuamati seksama.
“Kasih tau apa?” tanyaku biasa.
Bapak kecelakaan” jawabnya singkat.

Seketika tanganku berhenti menulis, gagasanku buyar, dan pikiranku berantakan. Berita kematian memang belum kami dapatkan, karena seseorang hanya memberitakan bahwa Bapak kecelakaan, walau pada kenyataannya saat berita tentang kecelakaan itu masuk ketelinga kami, Bapak di sana sudah tiada. Selama jeda ketidaktahuan itu, perasaanku sudah tertuju pada kematiannya, serentak dari ujung rambut dan kepala seakan mati rasa. Semua saudara-saudaraku kutelepon dan kukabari, baik yang di Bali maupun di Jawa, kuminta mereka untuk pulang.

Aku mencari Bapak, namun aku tak tahu, kupakai saja motor untuk mencarinya, berbekal sedikit berita tentang posisi terkahirnya di mana. Kurang lebih satu jam aku mencarinya, tapi tak ketemu, saat aku di kendaraan, telepon berdering. “Nak, Bapak sudah meninggal”. Kata itu benar-benar membuat pikiranku lumpuh, aku tak dapat merasakan apapun di kendaran itu.Aku harus segera pulang, ah ini mimpi. Begitulah gejolaknya, bagi Anda mungkin ceritanya terdengar biasa, tapi bagiku, entah bagaimana cara untuk memahaminya.

Iya..antara percaya dan tidak percaya, meski sudah empat puluh hari dari kematiannya di dunia, aku belum juga mampu memahaminya. Ya aku paham “setiap yang bernyawa pasti memiliki batas waktunya”, dan memang begitu kenyataan dan apa yang diceritakan al-Qur’an. Hari ini saja, bukan tentang kepergian Bapak yang aku beratkan, tapi tentang Ibuku yang seorang diri di rumah, tak lagi memiliki tempat berkeluh kesah, pada siapa ia akan bercerita, jika seketika beban hidup menimpanya.

Hari itu saja, seminggu sebelum kembaliku ke Jakarta, aku bilang “bagaimana bila aku kembali ke Jakarta?” Jawaban Ibuku hanya diam dan air mata. Itu sebuah tAnda kesedihan yang mendalam, bukan? Bahkan sehari, atau bahkan beberapa jam sebelum kembaliku ke Jakarta. Aku belum mem-facking barang-barangku. Gairah ke Jakarta lenyap sudah, aku tak mengerti, mengapa semua berantakan dan tercecer. Hingga akhirnya Ibu sendiri yang mengemasi barang-barangku, sedang aku pergi ke kubur untuk pamit di atas pusara Bapak, aku meminta maaf, minta restu, dan menyampaikan salam Ibu pada Bapak, bahwa Ibu mencintainya.

Singkatnya, selama perjalan menuju Jakarta, di dalam Bus, pikiranku kacau benar, ada yang tertinggal di Bali. Dan semua adalah tentang Ibuku, aku tahu bahwa ketika aku sampai di Jakarta, aku akan bertemu kawan-kawan yang akan senantiasa tertawa, yang senantiasa tersenyum, tapi mungkin itu hanya di luar, di dalam aku kesepian. Benar saja, sampai di Jakarta, banyak yang bersimpati padaku, mereka juga tersenyum padaku, tapi tak satu orang mengerti bahasaku.

Aku pergi ke kampus, bertemu wajah kawan-kawan, wajah para staff, wajah adik angkatan. Semua penuh ceria dan cerita bahagia sepulang liburan. Barangkali cerita bahagiaku selama liburan, hanya tentang memandikan jasad Bapak, mengkafani, menyhalatkan, dan menguburkan, serta tentang menemani Ibu yang aku tahu jauh di dalam hatinya berantakan.

Bahkan untuk suatu acara OSPEK pun aku tak bisa menikmatinya. Tapi selama OSPEK aku sangat senang, aku dapat menjumpai setiap wajah anak negeri dari seluruh pelosok Indonesia tersenyum. Paling tidak, meski singkat, keadaan itu mampu menahan sedih dan sepiku untuk tiga hari. Sekali lagi. Memiliki kawan dan adik tingkat dari seluruh pelosok negeri adalah anugerah tersendiri. Aku dapat melihat senyum mereka selam tiga hari, mendengar cerita mereka. Aku bertemu seorang anak Papua, mendapat sebuah kalungan name tag dari anak Aceh, mendapat surat dari peserta. Betapa senangnya, tempat yang selama ini ingin kukunjungi, kini telah datang orang-orangnya dan memberi sambutan hangat padaku. Adalah kebahagiaan tersendiri bisa berkumpul dan merangkai cerita pada seluruh panitia dan peserta OSPEK.

***
Pagi itu, saat matahari Jakarta hendak memperkenalkan wajahnya, aku dan beberapa kawan panitia OSPEK telah bersiap untuk berangkat dan menyambut suatu suasana yang pasti akan sangat menyenangkan. Acara yang akan membuat antara panitia dan peserta memiliki jalinan yang bukan hanya jalinan sekadar antara Senior dan Junior. Tapi antara adik tingkat dan kakak tingkat yang saling mengenal dangan dasar ketulusan dan keakraban.
 
Ilustrasi Bapak dan Anak. Foto: Google
Berangkatlah kami pagi itu, dengan seluruh panitia baik putri atau putra dalam satu KOPAJA. Seperti biasa, selama perjalanan untuk sebuah kota bernama Jakarta, kau akan mendapati lalu lalang manusia di jalanan yang disibukkan dengan dunianya. Macet, itu suatu kepastian, sehingga kadang menjadi biasa jika dilihat sehari-hari.Tapi bagiku sendiri kemacetan membuat setres dan benar-benar harus extra bersabar.

Singkatnya, sampailah kami di kampus, seluruh panitia OSPEK telah sibuk dengan tugas-tugasnya. Aku sendiri karena kebetulan sebagai ketua BEM langsung ke kantor BEM untuk melihat proses kegiatan berrjalan. Pagi itu akan dilaksanakan UPACARA bendera untuk memulakan acara OSPEK. Tapi aku tak ikut, aku di atas, dan semua proses acara aku percayakan pada panitianya. Melihat wajah-wajah panitia penuh semangat betapa senangnya aku, meski tekanan di dalam untuk suatu kenyataan belum juga aku bisa patahkan.

Sesekali aku keluar melihat jalannya acara OSPEK, kulihat wajah-wajah anak-anak peserta yang penuh semangat dan cita-cita, aku semakin optimis, bahwa negeri kita akan menuju arah kebaikan dan kemajuan. Di tangan merekalah semua akan berada. Dan aku yakin itu.Hingga aku dapat melihat jelas wajah-wajah keceriaan peserta saat aku meberi sambutan pembukaan OSPEK sebagai ketua BEM di kampusku. Aku benar-benar melihat semangat, melihat masa depan yang begitu cerah, bahwa kelak kita akan bersama-sama membangun suatu kemajuan, paling tidak bagi diri sendiri.

Hingga hari kedua, wajah itu masih penuh semangat, penuh keceriaan, penuh masa depan, hal yang dapat membangun semangatku kembali untuk menyusun kembali kebahagiaan yang berserakan selama empat puluh hari. Pada malam hari di mana acara MAKSI (Malam Kreatifitas Seni) yang dilaksanakan panitia, betapa senangnya aku, anak-anak baik peserta dan panitia semangat sekali, meski aku tahu betapa lelah sekali mereka. Mereka tersenyum, penuh tawa mesra, sekali lagi kado indah yang tak bisa ku beli, meski aku tidak ulang tahun. Acara itu membuat aku tertawa lepas, melupakan sejenak proses untuk memahami arti suatu kematian.

Hingga pada acara penutupan tiba, ya meski berat, tapi semua harus ditutup.Mungkin inilah sebuah kenyataan, kita bertemu dan pasti berpisah. Sebagaimana aku dan bapak, aku dipertemukan sebagai anaknya, dan aku dipisahkan sebagai anaknya oleh kematian. OSPEK pun begitu, kita bertemu, mengukir cerita dan tawa, dan akhirnya ditutup dengan cerita dan perpisahan. Tapi perpisahan ini bukanlah selamanya, karena kita masih dapat bertemu hari ini, tak seperti aku yang sulit sekali bertemu Bapak dan Ibu, ah aku bukan sorang sufi (ahli tasawwuf).

Yah... aku tak dapat bercerita banyak, di empat puluh hari ini, aku khawatir tekanan di jiwaku semakin berat, jalan satu-satunya selain dengan untaian do’a-do’a aku hanya bisa menuliskannya, sebab kadang aku tak bisa bercerita pada orang lewat bahasa lisan. Aku khawatir air mataku jatuh di depan kalian yang tak semsetinya juga harus menanggung keadaanku. Aku tak ingin berbagi beban, aku hanya ingin berbagi senyum dan kebahagiaan. Meski selama proses penulisan ini, air mataku tak henti menetes, walau kadang sekuat tenaga menahan, tapi tetap saja jatuh. Agak malu kawan-kawan di ruang BEM melihatku, tapi aku bilang sakit mata saja.

Ya…terserahlah kata kalian yang membenci sikapku ini. Ya anggaplah aku belum bisa ikhlas, sehingga harus cengeng dan lebai seperti ini. Ya aku memang bodoh, aku memang tak sehebat kalian mengerti arti filosofis dari sebuah kesabaran dan keikhlasan. Sekali lagi, butuh prsoses untuk orang sepertiku untuk mengerti bahwa ini nyata dan kenyataan. Jika Soe Hok Gie berkata, tak ada hal di dunia ini yang lebih romantis dari hanya sekadar berkata tentang kebenaran. Maka, aku ingin bilang, tak ada yang lebih menyakitkan di dunia ini dari selain penyesalan. Selagi belum tiba masanya, engkau yang memiliki orang tua, berbaktilah, hormatilah, dengarkanlah ceritanya, meski kau tak setuju, jangan bantah mereka, jika kau ingin menolak, baikkanlah caranya agar tak menyinggung dan menyakitkannya. Itulah yang diajarkan al-Qur’an dalam beradab dengan orang tua. Lalu jika mereka sudah tiada, apalah cara untuk berbakti selain dari berdo’a dan membuatnya bangga di sana.

Aku percaya, orang-orang shalih yang berjuang di jalan Allah tidak akan pernah mati meski jasadnya telah sirna. Antara kita dan mereka masih bisa berhubungan, seperti aku dan bapak, yang setiap subuh Bapakhadir dalam mimpiku membacakan al-asma’ al-husna. Semoga damai menyertainya, dan kita semua mampu belajar dan terus belajar, bahwa hidup selalu akan penuh penyesalan-penyesalan, inilah kenapa, sekali lagi, al-Qur’an banyak menceritakan betapa banyak orang tersiksa pedih di akhirat bukan karena api nerakanya, tapi karena penyesalan yang menyakitkan. "Lalu Pak, ikhlas itu seperti apa?"

Posting Komentar

0 Komentar