Kejumudan kontestasi politik dalam praktik
kepemiluan di Indonesia seringkali dijadikan
alasan sebagian orang memilih untuk tidak memilih (golput). Banyak pihak
mencoba mencari rumusan sendiri terkait kelebihan dan kekurangan golput dalam
kerangka demokrasi.
Di satu sisi golput dipandang sebagai bagian dari hak
politik dan kewajaran dalam dinamika pemilu. Sementara di sisi lain golput dipandang
sebagai sikap apatis dan bertentangan dengan cita-cita politik ideal yang
tujuan utamanya kebaikan individu dan masyarakat luas. Golput (dari sisi etika
perilaku pemilih) sebagai upaya penyadaran akan pentingnya menjaga etika para
pihak (termasuk pemilih)
dalam pemilu dalam rangka
mewujudkan pemilu yang berintegritas.
![]() |
Ilustrasi. Foto: armayacybernews.blogspot.com |
Stagnansi kesejahteraan serta
agregasi kepentingan yang tidak diwujudkan dengan baik oleh
calon terpilih jelas menjadi isu liar yang bisa dengan mudah mempengaruhi orang untuk berlaku apatis dalam
pemilu. Kita sering mendengar istilah “ambil uangnya
jangan pilih calonnya”, atau “ambil semua uangnya jangan pilih
dua-duanya”. Bentuk Politik Uang (money politic) yang cenderung mengisyaratkan
keterlibatan semu dalam kontestasi politik yang berujung pada sikap pragmatis
pemilih. Pada ujungnya pemilih merasa jenuh dan tertutup pandangannya untuk melihat kemaslahatan politik yang jauh lebih besar.
Selain itu, dalam pileg (pemilihan
legislatif) dan pemilu yang akan
berlangsung tidak menginginkan bermunculan berita bohong (hoax). Polarisasi Agama dan Politisasi
SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) di mana semua ini berpotensi merusak
kredibilitas dan integritas penyelenggara pemilihan, merusak rasionalitas
pemilih dan menimbulkan konflik sosial.
Siapakah pada saat ini yang
harus memegang kendali Idealisme serta peran poolitik? Apakah pemuda milenial?. Bagi anda para pelajar/mahasiswa yang disebut pemuda milenial zaman now patut
bersyukur dan berbangga akan titel yang mungkin baru disandang akhir-akhir ini. Karena dari total jumlah
penduduk Indonesia ± 235 juta jiwa, jumlah pegiat intelektual bagian ini hanya sekitar 4.3 juta jiwa atau sekitar 4% dari
total penduduk Indonesia. Namun sangat disayangkan Mahasiswa pada era Revolusi
Industri 4.0 ini seperti kehilangan arah dan tujuan.
Kaum minoritas (kelompok intelektual) yang digadang-gadang sebagai “agent of change” ini seakan terjebak pada lingkaran dampak globalisasi yang lebih mengedepankan corak hedonisme dan apatisme. Mereka yang seharusnya berperan dalam perubahan dan
pembaharuan bangsa ke arah yang lebih baik namun
pada kenyataannya hanya menjadi tokoh-tokoh apatis dalam keterpurukan
bangsa dan seakan terhipnotis oleh kebahagian dunia semata.
Pada hakekatnya ketika kita
bertanya, “Apa tujuan anda menjadi mahasiswa?” Secara general pastinya ingin membawa kepada suatu
perubahan, baik itu dari segi kepentingan individu maupun
masyarakat. Dalam perjalananya ke arah tujuan
mulia itu, terkadang selalu ada saja kekuatan yang seakan
menghalangi dari dalam diri mereka sendiri.
Pola pikir atau mindset yang telah terkontaminasi oleh
desakan abstrak dari dalam diri inilah yang terkadang menjerumuskan
mereka ke dalam lembah “hitam”. Sehingga terkadang mata digelapkan dari penderitaan dan permasalahan bangsa sebaliknya
diterangkan kepada sifat-sifat hedonisme
yang mengedepankan foya-foya dan kebahagiaan sesaat.
Kerangka berfikir yang
kurang sempurna dalam memandang sesuatu dan kurang peka terhadap suatu dinamika
di masyarakat membuat segelintir mahasiswa lebih
merasa aman dan nyaman dalam “zona nyaman” masing-masing. Padahal mereka
lupa bahwasannya mahasiswa punya peranan dan sebagai pengemban tugas besar dalam pembaharuan
bangsa yang mengemban estafet sejak zaman kemerdekaan, yaitu untuk mencapai
tujuan awal para pendiri bangsa.
Perkembangan yang terjadi di kalangan mahasiswa pada dewasa ini bisa dikatakan terjadi sebuah kemunduran pola pikir. Mahasiswa yang lebih mengedepankan sifat-sifat anarkisme dalam menyuarakan kepentingan rakyat merupakan corak dan stigma negatif yang seakan-akan menyudutkan posisi mereka.
Perkembangan yang terjadi di kalangan mahasiswa pada dewasa ini bisa dikatakan terjadi sebuah kemunduran pola pikir. Mahasiswa yang lebih mengedepankan sifat-sifat anarkisme dalam menyuarakan kepentingan rakyat merupakan corak dan stigma negatif yang seakan-akan menyudutkan posisi mereka.
Bahkan banyak dari masyarakat yang menganggap pelajar
dari SMP sampai
SMA atau bahkan mahasiswa sekarang hanya disibukkan oleh tawuran antar sesama mahasiswa dan bentrokan terhadap aparat
penegak hukum. Sehingga pada akhirnya keamanan masyarakat menjadi
terganggu serta kehidupan
pembelajaran di kampus
menjadi tidak kondusif.
Pergerakan mahasiswa pada masa Orde Lama, Orde Baru hingga beralih ke era reformasi seharusnya menjadi sebuah catatan bagi kaum intelektual minoritas ini untuk berkaca pada sejarah dan menjadikannya motivasi tersendiri untuk melakukan yang lebih baik lagi serta bertahan dengan keidealismeannya untuk membangun kedaulatan politik yang sejati, sehingga mahasiswa sebagai “agent of change” memang riil adanya, bukan hanya sebatas mitologi belaka.
Pergerakan mahasiswa pada masa Orde Lama, Orde Baru hingga beralih ke era reformasi seharusnya menjadi sebuah catatan bagi kaum intelektual minoritas ini untuk berkaca pada sejarah dan menjadikannya motivasi tersendiri untuk melakukan yang lebih baik lagi serta bertahan dengan keidealismeannya untuk membangun kedaulatan politik yang sejati, sehingga mahasiswa sebagai “agent of change” memang riil adanya, bukan hanya sebatas mitologi belaka.
Pada akhirnya sudah saatnya bagi pemuda milenial untuk bangkit dari
musuh-musuh abstrak dari dalam dirinya, sehingga dapat kembali pada rule awal
yang mereka cita- citakan. Semoga dampak dari globalisasi di era Revolusi
Industri 4.0 yang mulai terasa tidak menjadi suatu halangan yang berarti bagi
perkembangan kreativitas dan semangat dari dalam diri mereka untuk ikut serta
membangun kedaulatan politik di Nusantara yang kita cintai ini.
Penulis adalah Ketua PMII UIN Bandung Periode 2016-2017.
0 Komentar