Menurut Wikipedia Tan Malaka lahir di Nagari Pandam Gadang,Suliki, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 – meninggal di Desa Selopanggung, Kediri, Jawa Timur, 21 Februari 1949 pada umur 51 tahun. Ia juga disebut sebagai filosofnya Indonesia karena pikiran-pikirannya yang unik dan kontroversial dilihat dari karya-karyanya.
Selain itu ia juga dikenal aktivis gerakan yang berhaluan
kiri, setidaknya dilihat dari aktivitas politiknya pernah memimpin Partai
Komunis Indonesia dan pendiri partai murba. Tapi uniknya ia adalah Pahlawan
Nasional Indonesia karena kegigihannya membela kemerdekaan Indonesia.
Tadi siang saya berkesempatan menziarahi kuburan Tan Malaka
ini. Tapi sebelum sampai ke makam, ternyata tidak mudah, saya harus tersesat
beberapa kali karena tidak tahu jalan. Bukan tanpa usaha, sebelum berangkat
saya menghidupkan GPS untuk menuntun saya sampai ke makam dari Kediri Kota.
Tapi apa daya, GPS is not the best guider, saya diberi petunjuk yang
salah.
![]() |
| Makam Tan Malaka. Foto: Kumparan.com |
Tapi yang menjengkelkan sebetulnya bukan GPS yang memberi
petunjuk salah, tapi petunjuk atau rambu-rambu jalan menuju makam Tan Malaka
yang tak ada satupun. Praktis sepanjang jalan, tak ada satupun plang yang
menunjukkan arah ke makam Pahlawan Kemerdekaan Nasional itu. Yang paling
menyedihkan lagi, plang objek wisata yang searah makam lebih jelas terpampang
ketimbang sekedar memasang petunjuk arah bertuliskan "Makam Tan Malaka
100m", misalnya.
Makam Tan memang
tersembunyi, ia berada di tengah-tengah persawahan dengan apitan pegunungan di
sekelilingnya (teman yang mengantarku mengatakannya pegunungan Wilis), di
bawahnya ada sebuah sungai yang mengalir deras dari pegunungan, yang saat aku
datang airnya lumayan jernih. Untuk
sampai ke makannya kita harus menuruni seratusan anak tangga. Dan saya kira
anak tangga ini baru dibuat karena terlihat demikian, sebab kalau tak ada anak
tangga kita akan melewati pematang sawah bisa jadi.
Selain zero petunjuk, akses jalan menuju makam sangat jelek,
bertanah dan berbatu, terjal dan berbahaya serta berkelok-kelok. Tak bisa
dibayangkan jika hujan. Sekitar sekilo dari makam dapat dijumpai perkampungan
penduduk dan beberapa kilometer lagi sebuah objek wisata air terjun Watu Jagul,
tapi tetap sepi dan sunyi.
Tan Malaka adalah seorang yang misterius, hidupnya telah ia
hibahkan penuh pada bangsanya. Bahkan ia matipun di tangan bangsanya sendiri.
Tan adalah seorang jomblo sejati, seorang pengelana tanpa tapi, rumahnya tak
beratap dan tak bertembok. Rumahnya adalah hamparan tanah dan atap langit
pertiwi. Ini wajar, sebab baginya rumahnya adalah Indonesia.
Selain tentu keberaniannya, pikiran-pikiran tajamnya sangat
mengancam kemapanan para kolonialis dan pengabdi kapital. Ia adalah
"buronan" penjajahan, baik Belanda juga Jepang, ia juga
"buronan" anak-anak dari bangsanya sendiri. Ia sekali lagi, seorang
nomaden sejati, seorang "buronan" bernyali dan tentu seorang tahanan
kolonialis dari satu penjara ke penjara.
Di nisan makan Tan tertulis namanya "IBRAHIM DATUK TAN
MALAKA" Pahlawan Kemerdekaan Nasional Republik Indonesia berdasarkan
Kepres No. 53 Tahun 1963 tanggal 28 Maret 1963, kira-kira tiga tahun sebelum
kejatuhan Soekarno. Di nisannya terpasang replika bendera merah putih dari seng
besi. Terdapat tanggal, bulan serta tahun kematian yang jelas sementara
kelahiran hanya tertulis tahun, setidaknya Wikipedia dan National Geographic
menulis 2 Juni 1987 seperti tahun di
nisan.
Mengenai keberadaan makam
Tan sendiri memang baru terungkap oleh seorang sejarawan asal Belanda bernama
Harry A.Poeze, ia memastikan bahwa makam Tan berada di sebuah desa kecil
bernama Selopanggung, kecamatan Semen, wilayah Kediri di Jawa Timur, sebuah
desa yang saya kunjungi tadi siang.
Penelitiannya dilakukan selama 40 tahun, pada 2009 ia
melakukan penelitian seputar makam dari
Tan Malaka yang dipimpin oleh Zulfikar Tan dengan tim forensik yang dipimpin
oleh dr. Djaja. Dari hasil penelusuran ditemukanlah sebuah makam di
Selopanggung.
Saat ditemukan, kerangka jenazah Tan Malaka dalam kondisi tangan
terikat ke belakang. Meski secara DNA masih dilakukan uji forensik, untuk
mencocokkan DNA Tan, Harry menyebut bahwa tim ahli forensik yang dipimpin oleh
dr Djaja Surya Atmadja dari Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, masih melakukan penelitian tes DNA terhadapnya.
Sebagaimana dikutip dari nationalgeographic.co.id, Harry
menerangkan bahwa secara antropologis dan secara ilmu kesejarahan jenazah
laki-laki ras mongoloid di Selopanggung dengan tinggi sekitar 163-165, sangat
mirip dengan ciri-ciri Tan Malaka yang didapat Harry dari arsip Kepolisian
Hindia Belanda.
Meski telah dipastikan bahwa itu adalah makam Tan, tapi
perlakuan bangsa ini kepada Tan nampaknya belum maksimal. Akses jalan yang
jelek, petunjuk arah yang tak ada satupun, dan kondisi kuburan yang biasa-biasa
saja untuk seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional cukup untuk bukti asumsinya
saya. Nampaknya gelar Pahlawan pun tak cukup kuat membuat Tan dikenang atau
dihargai bangsanya.
Masih dari
nationalgeographic.co.id, disebutkan bahwa pernah Zulfikar Tan, keponakan Tan
Malaka, berharap pemerintah dapat memindahkan makam Tan Malaka ke Taman Makam
Pahlawan Kalibata.
“Meminta supaya makam pak Tan ini resmilah ditetapkan.
Kemudian dia juga diakui sebagai pahlawan, yang memang sudah pahlawan. Karena
beliau sebenarnya sudah resmi menjadi pahlawan pada 28 Maret 1963. Ini kan
selama ini tidak ada. Zaman Orde Baru bahkan malah disisihkan kan? Kalau memang
diakui sebagai pahlawan kita harapkan dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata,”
ujarnya
Apa yang dipikirkan
Zulfikar dapat dimengerti setidaknya oleh saya, sebab kalau melihat secara
kasat mata, Tan Malaka sepertinya sengaja dibiarkan hilang, jejaknya sengaja
ditutup, entah oleh siapa saya tak tahu. Ketiadaan papan nama petunjuk
ke makam, jalan yang susah, makam yang jauh dari akses manusia setidaknya
mengafirmasi pernyataan Zulfikar Tan di atas. Ini agak berbeda dengan Makam
Bung Karno (MBK), meski sama-sama diasingkan.
Setidaknya MBK masih banyak
yang tahu, masih banyak yang menziarahi, (setidaknya 1000 orang/Hari kata
penjaga makam kepada saya kala itu) meski MBK berada di tempat yang akses untuk
kesana sangat susah, jauh dari rakyatnya, setidaknya itu yang saya alami waktu
kesana dua tahun lalu dengan Rohim ketua Cabang PMII saat itu. Tapi
Soekarno lebih beruntung, makamnya dipugar sedemikian rupa, dibuatkan museum,
jalan diaspal bagus meski akses kendaraan sendiri susah menuju kesana.
Sementara Tan hanya dikelilingi persawahan dengan
tembok-tembok pegunungan, dengan pagar sebuah aliran sungai. Tak ada petugas
jaga, tak ada jalan aspal, tak ada pugar memugar, peziarah mungkin tak sampai
10 orang/Hari, dan mungkin tadi hanya aku dan guideku saja yang datang. Tapi ia
tak sendiri, di samping makamnya masih ada sekitar 20-an makam rakyat.
Harry dalam bukunya "Tan Malaka Gerakan Kiri, dan
Revolusi Indonesia Jilid 4: September 1948-Desember 1949”. menyebut bahwa Tan
mati ditembak oleh seorang tentara yang kemudian menjadi walikota Solo saat
itu. Harry mengatakan, “Bahwa Tan Malaka
ditembak mati di desa Selo Panggung namanya. Dan ini terjadi pada 21 Februari
1949. Dan siapa yang bertanggung jawab? Adalah seorang letnan kedua dari
Tentara Republik Indonesia bernama Sukotjo. Ia kemudian menjadi walikota
Surabaya. Itu adalah aksi pribadi dari Sukotjo. Tidak ada perintah tembak mati
dari atasan Sukotjo atau pimpinan tentara Indonesia. Rangkaian peristiwa
kematian Tan Malaka ada di buku saya yang baru,” ujarnya.
Tan hampir memiliki nasib yang sama dengan Bung Karno, mati
di tangan bangsanya sendiri. Jika Tan harus mati tertembak maka Soekarno mati
sebagai tahanan politik orde baru. Tapi Tan tak seberuntung Bung Karno, mungkin
karena Tan adalah seorang Kiri. Pendiri Partai Murba dan pernah menjadi
pemimpin Partai Komunis Indonesia, sebuah partai yang menjijikkan bagi sebagian
besar orang di bangsa ini.
Padahal Tan adalah sosok
yang komplit, seorang eksaktawan yang mampu menerjemahkan kebakuan ilmu eksakta
dalam gerakan-gerakan sosial-politk. Ini dilihat dari berbagai
karyanya MADILOG di dalamnya ada pembahasan logika dan matematika yang saya tak
paham benar. Karya Tan tentu banyak, seperti Naar de Republik, sebuah buku yang
dibuat untuk menyambut negara baru yang akan merdeka, Indonesia. Jauh sebelum
merdeka, dengan keyakinan utuh Tan merasa Kemerdekaan Indonesia sudah dekat
sehingga perlu konsep negara untuk menyiapkan bentuk negara dalam rangka
menyambut hari kemerdekaan itu.
Semua itu ia siapkan dalam Naar de Republik. Buku yang
ditunggu-tunggu oleh aktivis-aktivis pergerakan saat itu, termasuk Soekarno,
dan benar Bapak Republik itu benar Indonesia harus menjadi Negara Republik. Oh
ya, jangan lupa, ingat juga buku lainnya seperti Aksi Massa, Massa Aksi,
Gerpolek, Dari Penjara ke Penjara, dll. Jika Tan sangat ahli dalam Logika dan
Matematika, Soekarno sebaliknya sangat tak menyukai matematika.
Tulisan ini pernah dimuat di Qureta.com


0 Komentar