Tapi maaf Bung Tan Malaka, meski kau Pahlawan Kemerdekaan Nasional dan Bapak Republik Indonesia, nampaknya rakyat tak kenal Bung, rakyat juga nampaknya “benci” bung, sebab itu tadi, Bung adalah pejuang rakyat, pimpinan Partai komunis, Partai "setan" di mata orang Indonesia. Tapi Bung harap maklum, sebab kemarahan dan kebencian rakyat pada bung bukan sebab rakyat ingin membenci Bung, tapi sebab ketidaktahuan mereka. Beban sejarah 65 membuat kepala bangsa ini oleng, sehingga trauma berat kepada Partai Komunis Indonesia berubah kebencian pada Bung.
Bung juga harus maklum, sebab kebencian ini juga dirawat
oleh rezim saat itu dan politkus picik dulu dan kini. Tapi agar Bung yakin
untuk tidak marah pada rakyat, Bung harus paham bahwa rakyat belum sepenuhnya
mau pakai logika berpikir yang benar dan serius, soal komunis, komunisme,
ateis, ateisme, dan istilah kiri pun belum sepenuhnya tahu, seperti istilah,
liberal, liberalisme, sosial, sosialisme, islam dan Islamisme dan yang
lain-lain juga nasibnya sama, campur aduk bak gado-gado. Tapi belum juga paham,
keburu film kekejaman G30SPKI dibuat dan berita tentang komunis itu tak
bertuhan, kejam, suka membunuhi rakyat dan para jenderal dengan menyayat-nyayat
kulit, mencongkel mata, dan memotong penis para perwira tentara saat itu
membuat komunis apapaun bentuknya menjadi tidak penting untuk dibahas, intinya
komunis adalah setan yang harus dibasmi dan Bung terimbas bencinya.
![]() |
Tan Malaka. Foto: boombastis.com |
Tapi Bung harus paham,
bahwa selain ketidaktahuan rakyat itu sendiri disamping juga karena ulah
politisi busuk, partai yang Bung pimpin dulu itu juga egois, menjengkelkan jauh
dari apa yang dicita-citakan oleh Bung. Jadi sebetulnya ini pelik Bung,
kepelikan dua kubu yang dimanfaatkan orang ketiga yang dungu, itu sebab sampai
hari ini saban pemilu isu komunis selalu laku untuk serangan politik kotor, dan
membuat bangsa kita terkotak-kotak.
Harap maklum, kalau Bung ingin
tetap marah, marahlah pada anak buah bung, pada politisi busuk itu, tapi jangan
marahi rakyatmu yang lamban belajar dan nggak mau tahu itu.
Tapi Bung, tadi saat aku mampir kemakam Bung, nampaknya Bung
tak akan kesepian. Kesepian tentu datang dari perspektifku saja yang melihat
makam Bung yang sulit diakses itu. Setidaknya Bung sudah menyambutku dengan Kalajengking Hitam besar nan gagah
tadi sebagai pembukaan memasuki gerbang
pusara Bung. Karena aku yakin Bung sudah terbiasa sendiri, sunyi, dan
Bung memang bekerja tanpa pernah mau dipuji dan diketahui, seperti yang Bung
pernah bilang, "Padi Tumbuh Tak Berisik".
Aku yakin di makam itu Bung sedang dan telah menghasilkan
ratusan karya lanjutan bersama beberapa rakyat dikuburan itu. Bung sedang
menimakti canda tawa rakyat itu, lalu setiap pagi berladang di sawah
disekeliling makam Bung, dan mandi di sungai setiap pagi dan sore. Bukankah itu
yang Bung cari, dan rasanya memang hanya itu.
Bagi saya Bung adalah
manusia komplit yang sudah merdeka 100% dan harapan merdeka 100% untuk bangsamu
nampaknya masih butuh waktu Bung, tunggu saja, mungkin saja besok sore. Dan
Harry mengatakan kisah Tan Malaka merupakan satu babak sejarah Indonesia yang
hilang, karena ditutup rapat-rapat oleh rezim Orde Baru.
Oh ya Bung, apakah Bung ingat ayat ini?
"Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di
jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat
rezeki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang
diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang
yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati". QS.
Ali Imron ayat 169-170
Pegunungan Wilis, 28 Februari 2018
Tulisan ini pernah dimuat di Qureta.com
0 Komentar