Oleh : M. Din Syamsuddin, Ketua Dewan Pertimbangan MUI
Pusat
Sebenarnya saya enggan untuk nimbrung karena khawatir
polemik berkepanjangan dan hanya akan memalingkan perhatian umat Islam dari
agenda mendesak yaitu penanggulangan problematika prioritas keumatan. Semula
saya berharap segenap elemen umat agar menghindarkan diri dari mengangkat
isu-isu yang krusial dan kontroversial apalagi pada tahun politik yang sensitif
sekarang ini.
![]() |
Foto Din Syamsuddin: Sindonews |
Pada hemat saya, topik seperti tentang kafir dan semacamnya bisa
ditunda (dimaukufkan) dulu. Tapi karena sudah terlanjur dan banyak pertanyaan,
maka izinkan saya yang faqir ini menyampaikan pandangan sebagai berikut:
1. Saya
menilai ada kerancuan dalam mengaitkan istilah kafir dan muwathin (warga
negara) karena kedua istilah berada dalam kategori berbeda; kafir berada dalam
kategori teologis-etis, sedangkan muwathin dalam kategori sosial-politik.
Polemik berkembang rancu, baik karena penjelasan publik awal dari Munas Ulama
NU ada mengaitkan keduanya (“dlm kehidupan berbangsa dan bernegara tidak ada
istilah kafir tapi muwathin”), dan polemik kemudian berkembang pada
konseptualisasi kafir secara teologis (berdasarkan asumsi bahwa Munas menafikan
atau meniadakan istilah kafir). Terjadilah semacam kerancuan atas kerancuan
(tahafutut tahafut).
2. Istilah
kafir dan bentuk-bentuk derivatifnya (kafara, kufr, kuffar, kafirun) yang
disebut 525 kali dalam Al-Qur’an adalah “dalalah Ilahiyah” (penunjukan Ilahi)
terhadap perilaku, sosok, dan figur manusia tertentu. Al-Qur’an memang ada
menyebut dalam bentuk kelompok (al-Qaumul Kafirun), tapi banyak dalam nada
personal baik tunggal (kafir) maupun plural (kafirun atau alladzina kafaru).
3. Karenanya,
kafir merupakan konsep teologis sekaligus etis (berhubungan dengan pandangan
ketuhanan dan sikap terhadap hal ketuhanan). Sesuai arti harfiyahnya yaitu
“menutup”, maka kafir menunjukkan perilaku menutup diri, tidak mau menerima,
atau mengingkari kebenaran tentang Allah dan ajaran-ajaran Allah yang
diturunkan sebagai wahyu kepada manusia melalui rasul-rasul pilihanNya. Dalam
hal ini, kafir bisa dinisbatkan kepada mereka yang tidak beriman kepada Allah
dan ajaran-ajaranNya, atau kepada mereka yang walaupun beriman kepada Allah
tapi membangkangi ajaran-ajaranNya dan tidak bersyukur atas nikmatNya (ada
istilah kafir akidah, kafir amal, atau kafir nikmat). Al-Qur’an juga
mengenalkan konsep2 etis lain yang berhubungan dengan konsep kafir, seperti
musyrik, fasiq, dan zholim. Semuanya menurut ahli keislaman dari Jepang
Toshihiko Itzuzu sebagai ethico-religious concepts (konsep etika keagamaan) dalam
Islam.
4. Sebagai
konsep teologis, maka kafir dinisbatkan kepada manusia yang tidak beriman.
Sebagai istilah khas Islam, maka dari sudut keyakinan Islam, orang kafir adalah
penganut keyakinan selain atau di luar Islam. Sebenarnya istilah tentang “orang
luar” ini biasa dalam setiap agama yang memiliki kriteria keyakinan (bench
marking of belief). Orang yang tidak memenuhi kriteria tersebut dianggap orang
luar (outsiders) atau orang lain (the others). Semua agama, seperti Yahudi,
Kristen, Hindu, atau Buddha, memiliki istilah atau konsep tentang “orang luar”
dan “orang lain” ini dan itu termaktub dalam Kitab Suci. Istilah semacam ini
bersifat datar saja dan tidak menimbulkan keberatan dari pihak lain, baik
karena memakluminya maupun karena memang mereka merasa bukan “orang dalam”
lingkaran keyakinan tersebut. Masalah akan muncul jika istilah semacam kafir
tersebut dipakai dalam nada labelisasi negatif atau pejoratif yang bersifat
menghina atau menista.
5. Dalam
Sejarah Islam, khususnya pada masa Nabi Muhammad SAW, istilah kafir yang
dinyatakan Allah dalam Al-Qur’an tidak pernah secara lugas dan vulgar dikaitkan
dengan pemeluk agama-agama lain yang ada waktu itu seperti Yahudi, Nasrani,
atau Majusi. Mereka disebut dengan nama komunitas keagamaannya masing2, atau
terhadap Yahudi dan Nasrani sering juga dipanggil sebagai “Penerima Kitab”
(Ahlul Kitab). Artinya, istilah kafir dalam arti berada di luar akidah Islam
tidak menjadi kata panggilan (label), tapi hanya pemahaman terhadap orang luar
Islam (konsep). Dalam pergaulan antar umat beragama, termasuk di Indonesia,
pemakaian istilah khas masing-masing agama tersebut terhadap “pihak lain atau
pihak luar”, seperti pemanggilan dengan kata kafir dan sejenisnya, tidak
populer di ruang publik. Bahkan sekarang, pada era dialog dan kerjasama
antaragama, baik pada skala global maupun nasional, sering dipakai istilah
“pemeluk agama lain” seperti non-Muslim (ghairul Muslimin), non-Kristiani,
dstnya, bahkan istilah Bahasa Inggris yang sering dipakai sekarang adalah the
other faiths (pemeluk agama2 lain). Jelasnya, istilah/konsep kafir yang tidak
mungkin dinafikan atau ditiadakan, mengalami transformasi pemakaian dalam
konteks kehidupan masyarakat multi-kultural dan multi-keyakinan.
6. Istilah
atau konsep muwathin (citizenship atau warga negara) adalah lain. Konsep ini
sudah lama ada sejalan dengan pembentukan Negara-Bangsa (Nation State), bahkan
sudah ada sejak pembahasan tentang konsep negara atau masyarakat kewargaan pada
Zaman Yunani Kuno (di kalangan filosuf seperti Socrates, Plato, atau
Aristoteles). Konsep itu (belum dengan istilah muwathin dan muwathanah) sudah
juga menjadi pembahasan pemikir Muslim seperti Ibnul Muqaffa’, Al-Mawardi, Ibn
Abi Rabi’, Ibnu Rusyd, atau Ibnu Khaldun. Wawasan pemikiran politik Yunani dan
Islam ini ikut mempengaruhi konseptualisasi pemikir politik Barat seperti
Montesqiu, John Lock, atau Hegel. Pemikiran politik tentang negara dan warga
negara ini berkembang hingga masa modern pada pemikiran Muhammad Abduh, Ali Abd
al-Raziq, hingga Malik bin Nabi. Di kalangan Muslim konsep ini berkembang
sejalan dengan perkembangan negara-bangsa (Nation State atau al-Wathan).
Pemikir politik Muslim kontemporer, seperti Bassam Tibi dan Fahmi Huwaidy sudah
mulai mengemukan istilah Arab/Islam ak-muwathanah sebagai padanan citizenship.
Terakhir ini konsep al-muwathanah (citizenship atau kewarganegaraan) menjadi
pilihan dunia terutama dalam bentuk al-muwathanah al-musytarakah atau common
citizenship (kewarganegaraan bersama).
7. Dalam
Pesan Bogor yang dikeluarkan dari Konsultasi Tingkat Tinggi Ulama dan
Cendekiawan Muslim Sedunia di Bogor, 1-3 Mei 2018 tentang Wasathiyyat Islam,
istilah/konsep muwathanah menjadi aspek ketujuh dari Wasathiyyat Islam (enam
yang pertama: i’tidal, tawazun, tasamuh, syura, ishlah, qudwah). Sebagai ciri dari
Ummatan Wasathan (Ummat Tengahan) yang berorientasi pada Wasathiyyat Islam,
muwathanah dipahami sebagai kewarganegaraan yang berpangkal pada pengakuan
eksistensi negara-bangsa di mana seseorang berada, dan berlanjut pada peran
serta aktif membangun negara. Konsep ini sebenarnya didasarkan pada pemahaman
tentang dokumen-dokumen dasar dalam Sejarah Islam, seperti Piagam Madinah.
8. Dalam
konteks keragaman bentuk pemerintahan negara-negara Islam, dan desakan
penerapan demokrasi dewasa ini isu nuwathanah/kewarganegaraan menjadi krusial.
Arus migrasi antarnegara terakhir ini membawa munculnya masalah identitas dan
integrasi kaum migran. Maka isu muwathanah/citizenship menjadi krusial dan
polemikal seperti yang terjadi di Eropa dan Amerika sehubungan dengan membanjirnya
arus migrasi dari negara-negara di Timur Tengah.
9. Dalam
konteks Indonesia isu muwathanah/kewarganegaraan ini sebenarnya sudah lama
selesai (bukan menjadi masalah kontroversial). Hal ini disebabkan oleh karena
Indonesia dari awal kelahirannya sdh memiliki kesepakatan seperti Pancasila dan
Bhineka Tunggal Ika, yang oleh semua pihak (seperti Kesepakatan Pemuka
Agama-Agama dari Musyawarah Besar Pemuka Agama-Agama untuk Kerukunan Bangsa,
Jakarta 8-11 Pebruari 2018) keduanya dianggap merupakan kristalisasi nilai-nilai
agama. Sebelumnya, pada 2015, Muhammadiyah sudah menegaskan suatu wawasan bahwa
Negara Pancasila adalah Darul ‘Ahdi was Syahadah (Negara Kesepakatan dan
Kesaksian). Dalam kaitan ini, konsep muwathanah tidak ada masalah di Indonesia
dan sudah lama dipraktikkan dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Derajat
stabilitas dan kerukunan nasional yang tinggi adalah buah dari muwathanah yang
bertumpu pada ko-eksistensi, toleransi, dan kerjasama antaranak-anak bangsa.
Gejala intoleransi dan eksklusi lebih merupakan ekspresi dari aksi-reaksi
terhadap masih adanya kesenjangan sosial-ekonomi.
10. Implementasi
muwathanah/kewarganegaraan menjadi bersifat kontroversial terkait dengan
paradigma demokrasi yang dipilih bangsa. Jika demokrasi dipahami sebagai
manifestasi “political liberty and equality” (kebebasan dan persamaan hak
politik) warga negara, maka muwathanah menuntut pemberlakuan meritokrasi
(performa dan rekrutmen politik berdasarkan prestasi individual. Sebagai
konsekwensi logis, tidak ada dan tidak relevan lagi diangkat isu
mayoritas-minoritas sebagai realitas demografis keagamaan. Sebaliknya, jika
realitas mayoritas-minoritas demografis apalagi dikaitkan dengan realitas
historis dan sosilogis, maka paradigma demokrasi yang diterapkan akan bersifat
kultural. Problema yang belum dijawab oleh Demokrasi Pancasila adalah apakah
Sila Keempat Pancasila itu mengandung arti Demokrasi Liberal (Liberal
Democracy) yang antara lain mendesakkan psudo meritokrasi, ataukah Demokrasi
Multikultural (Multicultural Democracy) yang menuntut inklusi, toleransi, dan
solidaritas sosial, atau lainnya. Pilihan bangsa terhadap corak demokrasi yang
ingin diterapkan berhubungan erat dengan konsep muwathanah yang perlu kita
pahami. Maka pada hemat saya, tafsir jama’i terhadap Sila Keempat dari
Pancasila itu jauh lebih mendesak tinimbang mengangkat isu muwathin/warga
negara dengan mengaitkannya dengan istilah kafir terutama pada suasana politik
sensitif yang rentan memunculkan prasangka buruk yang tidak semestinya. Di
sinilah letak kerancuannya: konsep sosial-politik dikaitkan dengan konsep
teologis-etis.
11. Tapi
mungkin dapat dipahami maksudnya: Janganlah bawa-bawa agama ke dalam politik
(seperti menyebut istilah kafir kepada sesama anak bangsa karena mereka adalah
sesama rakyat warga negara atau muwathin). Kalau demikian adanya, maka itu
merupakan “pandangan hukum keagamaan atau fatwa”. Oleh karena itu terserah
kepada “pasar bebas”, mau membeli atau menolak. Maka tidak usah ribut dan
repot. Suatu hal positif dari pandangan demikian adalah pesan moral “jangan
mudah menuduh dan melabeli pihak lain secara berburuk sangka, karena itu tidak
bermoral atau mencerminkan moralitas superior dan arogan”. Maka, kepada umat
Islam, mulai sekarang jangan ada lagi yang saling mengkafirkan, saling menghina
seperti kamu Wahabi, Salafi, atau Khilafati (maksudnya pendukung khilafah)!
Sesuai Firman Ilahi, “yang menghina belum tentu lebih baik dari yang
dihina”. Allahu a’lam bis shawab.
Yangon, 5 Maret 2019.
0 Komentar