Oleh: Fially
Fallderama Sh
Tentu, masih hangat dalam benak kita soal
hotel yang menyediakan kotak saran,
namun diisi uang oleh sebagian masyarakat karena dianggap sebagai kotak amal.
Sebuah parodi kecil dari bangsa ini tetapi juga tragedi yang menampar setiap
pipi kita yang pernah ikut tes IQ. Karena, setiap orang yang mengisikan uangnya
ke dalam kotak itu sama sekali tidak membacanya. Pengakuan itu mengindikasikan
bahwa terdapat definisi atas objek maupun subjek dalam sebagian benak orang
Indonesia sehingga memunculkan rasa keingintahuan yang rendah yang kemudian
membuat kita malas bertanya karena merasa tahu dengan apa yang kita jumpai.
![]() |
Ilustrasi Socrates |
Lewat peristiwa itu tidak heran kita melihat
pun mendengar kejadian orang-orang yang menuduh dengan bingkai yang ada dalam
kepalanya tanpa proses verifikasi dan identifikasi. Melihat orang Islam dengan celana
cingkrang, gamis dan sorban atau menggunakan burqa atau jilbab panjang
atau sejenisnya, langsung kita tuduh sebagai kelompok fanatis-teroris.
Mendengar sebagian besar rombongan orang Kristen yang turun ke daerah yang
tertimpa bencana atau daerah tertinggal guna melancarkan aksi sosial dianggap
kristenisasi. Berpapasan dengan orang Cina di manapun langsung dituduh
pengusaha, kaya dan arogan.
Ditambah lagi dengan pesatnya laju kembang
ilmu pengetahuan dan teknologi semakin mendorong laju sebarnya tuduhan-tuduhan
itu secara masif-sistematis tanpa cek dan ricek. Padahal, dengan internet
seharusnya semakin memudahkan masyarakat dengan akses informasi dan
pengetahuan. Namun, kenyataan internet malah makin membuat kita malas untuk
membaca secara mendalam. Oleh karenanya, diskusi nonkritis malah subur
akhir-akhir ini. Ketika media sosial mulai berkembang dari tahun 2000-an sampai
sekarang, semangat komunal-kolektif yang bersifat maya mulai menubuh. Itu dapat
kita lihat dalam Milis, grup di Facebook, grup di Whatsapp, dan grup di lini dan lain-lain.
Dari realitas media sosial ini kita dapat
melihat bahwa sebagian masyarkat kita adalah masyarkat like, share dan amin.
Karena, dalam komunalitas maya, sebagian masyarkat suka membagikan atau
menyebarkan sebuah informasi yang sifatnya click
bait tanpa membaca kontennya. Apalagi, jika link itu dibagikan oleh yang dia kenal atau kagumi maka tanpa membaca
pun langsung dibagikan. Realitas itu menyibak semacam kebiasaan sebagian
masyarakat Indonesia dalam mengolah data dan teks yang kerap ditemui yaitu
otoritatif, definitif dan generatif. Dibesarkan oleh narasi yang diwariskan atau
dibagikan oleh seseorang atau komunitas yang terpercaya kemudian membentuk
sebuah bingkai pemahaman dalam benak lalu menyamakan semua orang atau kenyataan
yang ditemui dengan definisi. Sudah 70 tahun Indonesia merdeka, kebiasaan like, share dan amin masih mengjangkiti sebagian publik. Mungkin kita perlu
sedikit pencerahan dan percayalah perubahan cara berpikir itu tak ada di atas
kertas suara saat pemilu.
Masalah dibalik Like, Share dan Amin
Like,
share dan amin adalah diksi yang lekat dengan kita yang
terbiasa dengan media sosial. Istrilah menjadi terkenal ketika banyak postingan
bersifat agamis yang terkesan memberi berkah dan inspirasi kebaikan maka
sukailah postingan ini serta bagikan sambil mengaminkan. Akhirnya, sikap
menyukai dan membangikan postingan agamis menjadi otomatis dalam percakapan di
media sosial. Uniknya, sikap otomatis ini juga terlakoni dalam macam-macam postingan
bukan hanya yang agamis. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa masyarakat kita
tidak memiliki budaya membaca dan mempertanyakan nilai, wacana dan ide atau apa
pun yang menyekitarinya baik dalam sosial maupun media sosial.
Kita dapat melihat peringkat Indonesia dalam
membaca berada pada nomor 60 dari 61 negara. Itu menandakan bahwa kemampuan
bernalar dan literasi bangsa ini masih tertinggal jauh. Bagaimana kita dapat
menyongsong Revolusi Industri 4.0 jika situasi intelektualitas bangsa ini masih
terjun bebas? Secara tak sadar, data itu hendak menunjukkan bahwa bangsa ini
masih asing dengan dunia intelektual akademik karena kemampuan bernalar dan
berimajinasi masih menjadi barang langka. Oleh sebab itu, tidak mengherankan
bila percakapan yang terjadi sehari-hari adalah percakapan yang lepas nalar
lekat paradigma sahabat sehingga terhisap ke dalam kubangan polarisasi.
Alhasil, yang terjadi dalam percakapan bukan diskursus yang objektif melainkan
percakapan yang alogika sehingga masyarakat ini bergerak tanpa dialektika
melainkan bergerak di tempat dengan komponen-komponen yang tak sinergis.
Bertanya Sebelum Menyukai
Melihat situasi masyarakat yang minim membaca
hari ini terdapat satu fondasi yang hilang sehingga melemahkan intelektualitas
bangsa ini yaitu bertanya. Kita dapat melihat percakapan yang berlangsung dalam
dunia nyata maupun maya budaya bertanya telah pudar yang langgeng adalah budaya
jawab menjawab. Padahal bertanya merupakan fondasi utama dalam pemikiran
kritis. Tanpa budaya bertanya maka dialektika berpikir itu hilang malah
indoktrinasi yang terjadi. Rendahnya kebiasaan membaca menandakan bahwa kita
bukan bangsa yang gemar mempertanyakan segala sesuatu atau memiliki rasa ingin
tahu yang tinggi karena terbiasa diberikan jawaban dan kita yakini jawaban dari
oknum yang kita hormati. Di sini
kita dapat melihat bahwa pijakan berpikir bangsa kita adalah percaya kepada
sesuatu yang ada di luar bukan mempertanyakan segala sesuatu yang ada. Karena,
bertanya adalah jalan untuk mencari kebenaran itu.
Sokrates adalah seorang filsuf Yunani yang
mengembangkan pemikiran kritis melalui pertanyaan yang berkelanjutan. Sokrates
di dalam kelasnya tidak pernah memberikan jawaban kepada muridnya melainkan
pertanyaan terus-menerus agar pemikiran krirtis dan logikanya bergulir. Dalam
hal ini kita dapat melihat bahwa bertanya yang berkelanjutan merupakan hal yang
utama di dalam berpikir kritis agar dapat lahir perspektif yang rasional atau
gagasan baru untuk membangun sebuah masyarakat. Tentu, pertanyaan yang dimaksud
Sokrates adalah pertanyaan yang saling bertalian dengan topik bukan pertanyaan
melantur di luar topik serta berbasis intelektualitas.
Coba kita bayangkan masyarakat yang memasukan
uang ke dalam kotak saran itu jika bertanya dalam benaknya, “Ini kotak apa ya?” Lalu ada hasrat untuk membaca
tulisan yang tertempel di kotak itu tanpa mendefinisikannya sendiri,
kemungkinan kejadian memasukkan uang ke dalam kotak itu tidak akan terjadi. Dalam
politik memungkinkan kita mempertanyakan sesuatu karena negara bertanggung
jawab kepada masyarakat, bukan malah mempercayai negara atau para pejabat
publik karena kita menganguminya dengan beragam moral yang disematkan. Negara
atau pejabat publik bukan tuhan yang pasti benar dan baik, dia mungkin juga
melakukan kesalahan dan bila didiamkan akan menuju kepada fatalisme. Andai kita
terbiasa untuk mempertanyakan mungkin tidak ada “cebong” atau “kampret”, yang ada hanya warga negara.
Dengan demikian, tak heran bangsa ini masih
terjebak pada otoritatif, generatif dan definitif akibat kurang biasa bertanya.
Alhasil, kita butuh Sokrates agar bangsa ini tak terus anjlok
intelektualitasnya.
Fially Fallderama adalah alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Jakarta (STFT Jakarta)
dan Anggota
Risol (Ruang Inkarnasi sosial).
0 Komentar