Oleh: Darmawan
Apakah manusia modern masih memerlukan agama –Islam– dalam menyelesaikan problem kehidupannya? Benarkah agama masih memiliki peranan dalam mengatur sistem kehidupan manusia, atau justru tanpa agama problem kehidupan manusia bisa terleselaikan hanya dengan potensi akal dan ilmu pengetahuan yang selalu berkembang? Itulah beberapa pertanyaan mendasar yang harus dijawab bersama.
Adanya perkembangan teknologi, budaya, pola pikir dan tantangan serta rintangan yang berbeda antara kita dengan umat terdahulu, mengharuskan kita tidak mungkin lagi hidup dengan cara hidup orang seperti mereka. Setiap zaman memiliki problemnya tersendiri, begitu pun cara penyelesaiannya.
Masyhur diketehui, bahwa ajaran Islam ada yang disampaikan dan diajarkan secara rinci dan juga ada yang hanya berupa prinsip-prinsip umumnya saja. Untuk memahami ajaran yang sifatnya umum, nabi bersabda “Sesungguhnya Allah SWT mengutus bagi umat ini pada setiap pengujung 100 tahun ada seorang yang memperbarui agamanya.” (HR Abu Dawud). Pada hadits di atas dapat dipahami bahwa setiap zaman akan selalu ada pembaharu, yang akan merinci dan mengupdate ajaran ini sehingga sesuai dengan konteks dan kehidupan yang dihadapai oleh manusia. Mereka itulah yang akan mengajak pada jalan yang sejati.
Ajaran Islam bisa dipraktikkan sesuai dengan perkembangan budaya dan ilmu yang sedang dikaji, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama. Al-Quran menganjuran untuk meng-update pemahaman tetang agama, agar sesuai dengan situasi dan kondisi. Al-Quran membahasakannya “liyatafaqqahu fi al-din”. (QS. At-Taubah 9:122). Dalam ayat tersebut menggunakan kata kerja fi’il mudhari’ yang mengandung arti terus-menerus terjadi (untuk sekarang dan akan datang). Artinya dalam proses memahami kandungan agama itu harus terus menerus di-update, sehingga kehadiran agama bisa menjadi solusi atas problem kehidupan saat ini dan yang akan datang.
Sebagai contoh, agama tidak mengajarkan cara menjalankan dan membentuk suatu negara, namun yang diajarkan dan ditekankan ialah prinsip-prinsip bernegara seperti musyawarah, (QS. Ali Imran: 3:159) dan keadilan (QS. Al-Maidah 5:8), yang bisa diterapkan di mana pun berada demi tercipta “negeri yang baik (nyaman) sedang (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun”. (QS. Saba’ 34: 15). Untuk itu masyarakat sekarang (khususnya yang ada di Indonesia) tak harus mendirikan sistem khilafah seperti masyarakat terdahulu untuk menjalankan roda pemerintahan, karena situasi, kondisi dan budaya yang berbeda. Artinya apa pun bentuk negaranya baik berbentuk presidensial atau kerajaan ketika di dalamnya ada nilai-nilai keadilan dan musyawarah maka dapat disimpulkan telah menegakkan prinsip-prinsip agama Islam itu sendiri.
Itulah agama yang dibawahkan oleh Nabi Muhammad ini tidak menekankan pada bentuk-bentuk tapi menekankan pada subtansi. Inilah wajah Islam yang teramat luwes, lugas, reflektif dan selalu up to date, sehingga kapan pun dan di mana pun Islam akan mampu memberikan solusi dan jalan hidup untuk manusia sepanjang masa. Dengan sifat inilah Islam mampu untuk terus merespon dan menjawab seluruh tuntutan zaman.
Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
0 Komentar