Belakangan ini kata "sesat" dan "kafir" nampaknya begitu viral di mana-mana. Orang semakin mudah mendengar, membaca dan melontarkan kata tersebut di berbagai tempat seperti saat terjadi aksi demonstrasi atas nama agama, artikel, postingan dan komentar di media sosial, dan tempat lainnya. Fenomena penyesatan dan pengafiran seperti ini mengindikasikan ada yang tidak beres dengan relasi antara pemahaman agama dan subjek-objek dalam lapisan sosio-politik masyarakat Indonesia.
![]() |
Ilustrasi: tanwir.my |
Keberanian melontarkan vonis atau label kafir ini seolah-olah memposisikan dirinya sebagai Tuhan, yang mempunyai otoritas untuk melakukan vonis kafir. Tidak jarang, menuduh kafir kepada orang lain—sering kali kepada sesama muslim—disebabkan adanya penilaian yang tidak sesuai dengan pemahamannya. Mungkin bisa dibilang pemikiran dan perbuatan yang nyleneh atau di luar mainstream.
Contoh kasus klasik, tuduhan sesat, musyrik, kafir, sering ditujukan kepada masyarakat muslim pedesaan yang masih menjaga tradisi lokal yang dipadukan dengan ajaran Islam. Kalangan muslim dengan gerakan puritanisasi biasanya tak segan-segan mengecap musyrik atau kafir kepada masyarakat tadi. Padahal kalangan ini belum mengetahui sejarah dan nilai-nilai yang menjadi landasan tradisi tersebut. Contoh lagi, beberapa cendekiawan modern yang mempunyai pemikiran 'segar‘ tentang reaktualisasi hukum-hukum tertentu dalam fikih, juga menjadi sasaran pengafiran, bahkan ada yang sampai divonis halal darahnya untuk dibunuh. Lalu muslimah Indonesia yang memakai kerudung ala kadarnya, juga menjadi sasaran pengafiran oleh mereka yang menganggap memakai cadarlah yang wajib, berdasarkan perilaku perempuan-perempuan yang dilakukan di negeri Arab.
Mengenali Kafir
Secara etimologis dalam kamus Al-Munawwir (1984: 1217-18), kata kafir atau kufur berasal dari kata كَفَرَ (kafara) yang berarti "menutup", sedangkan kata bendanya berbentuk كُفْرٌ (kufrun) yang bermakna kekufuran. Sementara pelaku kufur disebut كَافِرٌ (kafirun) mempunyai banyak arti, salah satu arti utamanya adalah petani. Diartikan petani sebab aktivitas mereka menutupi benih-benih tanaman dengan ditenggelamkan sampai ke dalam tanah. Dalam bahasa Inggris, kata kufur hampir senada dengan kata cover yang artinya juga 'menutup‘.
Kata kafir dengan berbagai bentuk disebutkan oleh Al-Qur‘an sampai ratusan kali, tentu dengan pembahasan dan konteks masing-masing. Misalnya, mengingkari ayat-ayat [29]: 47, menafkahkan harta untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah [8]: 36, menghalalkan apa yang diharamkan Allah [9]: 37, membuat-buat dusta terhadap Allah dan mendustakan kebenaran ketika datang [99]: 32, orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman (pula), kamudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya [4]: 137.
Lebih jauh, ulama kemudian banyak menjelaskan dan mengklasifikasikan tentang kafir. Di antaranya misalnya, dalam pendekatan politik, ada yang membagi kafir dalam 2 jenis: harby (boleh diperangi) dan kafir dzimmy (tidak boleh diperangi). Dalam perspektif status muslim, ada juga yang membagi kafir sughra (berakibat tidak sampai keluar Islam) dan kafir kubro (berakibat sampai keluar dari Islam). Yang perlu digaris bawahi adalah dalam kaca mata Islam, kafir tidak selalu berkonotasi nonmuslim, sebab dalam beberapa ayat kafir juga cenderung berkaitan dengan masalah etika kehidupan.
Tulisan ini memang tidak bermaksud untuk menelusuri secara rinci tentang epistemologi kufur. Namun perbedaan klasifikasi dan penafsiran ulama zaman dahulu harus kita renungi baik-baik dengan melihat kondisi lingkungan di sekitar kita hari ini. Penyebutan kata kafir atau kufur di dalam Al-Qur‘an bukan bermaksud agar kita bisa menuduh orang lain kafir, tetapi justru agar kita tidak lakukan perbuatan-perbuatan yang Allah tetapkan sebagai golongan orang-orang yang kafir.
Mengancam Kerukunan
Sejarah sudah kita ketahui bagaimana umat Islam pada awal abad hijriyah melewati ujian dengan situasi genting yang luar biasa (al-fitnah al-kubra), dimulai semenjak masa kekhalifan sayyidina Utsman bin Affan dan sayyidina Ali bin Abi Thalib. Puncaknya pasca pertempuran antara pasukan Ali dan Muawiyah yang ditandai dengan tahkim (arbitrase).
Peristiwa ini melahirkan sekte-sekte seperti Khawarij, Murjiah, Syiah, dan menjadi salah satu faktor paling berpengaruh atas situasi umat Islam hari ini. Kondisi kemelut politik saat itu semakin parah tatkala Khawarij menjadi pihak yang paling getol mengafirkan secara membabi buta kepada kelompok pendukung Ali dan kelompok Muawiyah. Tidak tanggung-tanggung, ayat-ayat Al-Qur‘an dipelintir dengan rapi sebagai legitimasi vonis kafir kepada kelompok lain yang berbeda dengan cara pandangan mereka. Sebagian besar ulama menilai Khawarij menjadi cikal bakal berkembangnya kaum takfiri seperti yang berkembang sampai sekarang ini.
Fenomena Khawarij dalam sejarah Islam menandai terbentuknya fenomena "takfirisme" (takfiriyyah), yaitu perumusan suatu doktrin pengafiran yang mereka percayai berdasarkan ajaran Al-Qur‘an. Suatu doktrin yang menyebabkan seseorang muslim yang shalat menghadap kiblat yang sama, melakukan berbagai kewajiban keagamaan, memiliki rukun Islam yang sama, dapat dianggap sebagai kafir. Bukan hanya itu, bahkan menjadi halal darahnya akibat pemberian status kafir itu (Haidar Bagir, 2017: 48).
Dalam konteks Indonesia, terdapat beberapa indikasi mengapa penyesatan atau pengafiran kepada sesama muslim marak terjadi akhir-akhir ini. Pertama, merasa sudah menjadi paling benar dan paling Islam sendiri. Tidak heran bila aktivitas orang atau kelompok lain yang menyimpang dari dirinya sangat potensial untuk dikafirkan. Padahal bisa jadi yang dikafirkan justru yang benar. Kedua, tidak adanya undang-undang yang mengatur secara khusus, sehingga aparat belum bisa menindak ketika pengafiran dilakukan oleh warga negara. Ketiga, tidak adanya konsensus di kalangan muslim tentang batas-batas kafir dan siapakah otoritas yang berhak memberikan label kafir itu sendiri. Keempat, umat Islam dihadapkan pada pusaran situasi politik yang tidak menentu, akibatnya terjadi dinamika pro-kontra yang berujung pada pengafiran.
Tidak heran bila jauh sebelum itu Rasulullah melarang kepada umatnya tentang bahaya dari perilaku mengafirkan orang lain. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Sahabat Abu Dzar:
"Tidaklah seseorang memvonis orang lain sebagai fasiq dan kafir, kecuali akan kembali padanya jika yang divonis tidak demikian." (HR. Bukhari)
Makanya, dalam surat Taubah ayat 9, Allah memerintahkan Nabi untuk melawan orang-orang kafir dan munafik yang menzalimi Nabi dan sahabatnya. Hal ini menunjukkan bahwa kekafiran seseorang tidak ada seorang pun yang tahu, kecuali Nabi dan orang-orang yang dikehendaki Allah. Untuk itu, tidak ada alasan bagi kita sebagai manusia biasa untuk menuduh orang lain kafir, sebab kita tidak bisa mengetahui isi hati seseorang, apakah benar-benar telah kufur atau tidak. Sebagaimana Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam syair Tanpo Waton menyatakan, Akeh kang apal Qur‟an Hadise, seneng ngafirke marang liyane. Kafire dewe gak digatekke, yen iseh kotor ati akale (Banyak yang hafal Qur‘an dan Hadis, tapi gemar mengafirkan orang lain. Kafirnya sendiri tidak pernah diperhatikan, karena ia masih kotor hati dan pikirannya).
Bagi umat Islam ini bukan persoalan remeh. Penuduhan kafir selain memang sulit untuk membuktikan kebenarannya, juga rentan menyakiti perasaan saudaranya sesama muslim. Bayangkan, tanpa ada tabayun (saling klarifikasi), dialog, ditambah dengan dorongan emosional lantaran berbeda pandangan, lalu orang dengan mudah melontarkan kata "kafir" kepada sesama muslim. Ini berakibat fatal pada hubungan antarsesama muslim. Jika diterus-teruskan, perseteruan dua pihak seperti ini bisa mengancam kerukunan umat, sehingga merambat menjadi konflik antar ormas, mazhab, aliran, majelis taklim, perguruan, dan sebagainya. Na‟udzubillah min dzalik.
Kondisi seperti itulah yang dikhawatirkan banyak pihak. Sebab kita sudah diberikan begitu banyak pelajaran dari sejarah panjang umat Islam. Berkaca dari peristiwa-peristiwa gejolak sesama umat Islam di masa silam, jangan sampai sikap beragama "kafir mengafirkan" mengancam kedaulatan dan keharmonisan bangsa Indonesia—apalagi muslim sebagai agama mayoritas. Bangsa ini terlalu besar untuk dikorbankan hanya karena masalah perbedaan tafsir dan paradigma dalam bernegara. Apalagi secara genealogis, umat Islam yang dibawa oleh Walisongo sejak dulu tidak pernah mengajarkan mengafirkan kepada orang lain, meskipun itu ke non muslim.
Bersama umat beragama lain, umat Islam juga ikut berjasa mengantarkan Indonesia sehingga bisa terlepas dari cengkraman penjajah. Makanya sambil tetap menjaga kedaulatan bangsa dan negara, kini umat Islam sudah saatnya konsisten secara kolektif agar tidak terjerumus ke jurang kekufuran. Dan yang tidak kalah penting adalah menghasilkan prestasi melalui kerja sama yang produktif tanpa mempermasalahkan perbedaan mazhab, aliran, partai, tentunya demi membangun Indonesia agar lebih baik lagi.
Tulisan ini dikutip dari buku Menjadi Islam, Menjadi Indonesia, terbitan Kompas Gramedia Group, 2018, halaman 124-129.
1 Komentar
Kuperisme Paham Kurang Pergaulan ni, Mbah... hahhaha
BalasHapus