Demokratisasi, dapat
diibaratkan sebagai sebuah gelombang yang dahsyat. Di dalam kurun waktu 10
tahun terakhir menjelang abad ke-21, demokrasi telah menelan banyak korban,
terutama di negara-negara yang dulu dikenal sebagai negara otoriter atau kurang
demokratis. Negara-negara yang dahulu dikenal sebagai negara-negara sosialis,
pecah berkeping-keping karena derasnya gelombang demokratisasi. Hal ini
terlepas kemungkinan adanya rekayasa, sebagai dampak rivalitas blok Barat dan
Timur; Berapa negara berubah wajah dan beberapa tokoh jatuh, sebagian dengan
nasib yang mengenaskan.
Demokratisasi dalam waktu yang bersamaan, memang sering
menumbuhkan kelompok (baru), meskipun dengan dalih demokrasi, tetapi
mengabaikan hak-hak asasi orang lain dan bahkan mengorbankan kepentingan orang
lain. Ironis, tetapi itulah faktanya, yang dalam beberapa hal juga terjadi di
Indonesia. Kita, di Indonesia tampaknya terlambat mengantisipasi datangnya
gelombang ini, sehingga perjalanan demokrasi berjalan terseok-seok sesuai
kecepatan bukan ketepatan. Sebabnya, karena kita tidak belajar dari pengalaman
negara lain dan juga pengalaman bangsa sendiri.
![]() |
Foto: learniseasy.com |
Melalui Pemilihan Umum (PEMILU) yang dijadikan sebagai sebuah
instrument untuk mewujudkan cita-cita demokrasi tentu diharapkan dapat
terciptanya kemapanan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Namun realita
yang terjadi, banyak ditemukan paling tidak derasnya dinding media sosial yang
membanjiri setiap timeline banyak menyuguhkan konten kontra-produktif yang
menurut hemat saya beberapa diantaranya tak layak dikonsumsi, sehingga
mengurangi nilai dari esensi berdemokrasi itu sendiri.
Ada dua hal yang barangkali menjadi sebab utama gelombang
demokratisasi. Pertama, adalah esensi demokrasi itu sendiri,
dan kedua adalah
perkembangan teknologi informasi Keduanya menyatu dan menjadi kekuatan yang
amat dahsyat, yang tidak mungkin dihindari oleh negara mana pun di dunia.
Mengapa?
Demokrasi, ternyata bersemayam di setiap hati nurani manusia.
Hanya dengan jalan demokrasi, sebuah negara diyakini dapat membangun bangsanya
sesuai dengan aspirasi rakyatnya secara berkelanjutan, tertib dan aman. Hanya
dengan demokrasi kita dapat menciptakan suasana berbangsa dan bernegara,
sehingga mampu mendorong kreatifitas dan inovasi setiap individu untuk ikut
berperan dalam pembangunan bangsanya, oleh karena demokrasi telah membuka
kesempatan yang sama bagi seluruh warganya.
Lebih lanjut, hanya dengan jalan demokrasi, kita dapat membangun
masyarakat yang damai, hubungan internasional yang akan mampu memberi landasan
kuat bagi perdamaian dunia. Begitu kuatnya panggilan demokratisasi, orang
bersedia untuk melarikan diri, mengungsi, mengarungi samudera, terdampar di
negara asing, untuk menghindari rezim yang otoriter. Semangat seperti inilah
yang kemudian mendorong terjadinya cita-cita masyarakat sipil (civil
society). Momen seperti ini, antara lain dapat kita lihat di Pulau
Galang dekat Batam, di mana ribuan pengungsi Vietnam pernah terdampat disana.
Akan tetapi demokrasi itu sendiri bukan segala-galanya.
Demokrasi memerlukan “norma”, lembaga yang mapan serta pedoman dan tata laksana
yang jelas. Tanpa norma, kelembagaan yang mapan serta tata laksana yang jelas,
demokrasi mungkin hanya akan menjadi democrazy. Karena itu
demokrasi bukanlah tatanan yang sekali jadi, ia memerlukan waktu. Tetapi, kalau
kita keliru mempersepsi demokrasi, yang terjadi adalah anarki dan kekerasan.
Inilah barangkali, yang sedang kita lakoni.
Selain itu, teknologi informasi ternyata berperan besar dalam
gelombang demokratisasi. Dalam beberapa waktu terakhir, sebagaimana kita sadari
bersama teknologi telah mengubah dunia kita menjadi tanpa batas. Informasi
menjadi semakin tidak terkendali dan masuk kedalam perbincangan dapur bahkan
kasur. Dinikamati oleh siapapun dan menjadi sebuah titik yang begitu mudah
dicapai oleh siapapun didunia ini.
Dengan kenyataan yang dikemukakan diatas, kita sesungguhnya
sangat sulit untuk mengelak kecenderungan dunia seperti itu. Tanpa kita sadari,
pada setiap generasi telah terjadi perubahan dibanding dengan generasi
sebelumnya, sehingga hanya orang-orang yang memiliki akses informasi sajalah
yang bisa melihat perkembangan itu dengan persepsi yang sama. “Cap” seperti
inilah yang sering menimbulkan gejolak, ketika kita memasuki transisi
demokrasi, sebagaimana sekarang terjadi di Indonesia. Kemampuan kita di dalam me-manage masa
transisi inilah yang akan menjadi kunci, apakah kita berhasil memasuki pintu
gerbang demokrasi yang sesungguhnya atau tidak. Maka prasyarat apa yang harus
kita penuhi?
Dari kenyataan yang sebagaimana kita jalani sekarang, apakah
semua itu tidak hanya sebuah drama yang memang harus kita mainkan?
Gonjang-ganjing yang selama ini kita alami berulang-ulang, sesungguhnya berasal
dari sebuah skenario yang sama. Tanpa mengubah skenario yang kita jalani sudah
tentu kita kembali memainkan cerita yang sama. Gonjang-ganjing politik yang
terus-menerus kembali lagi dan kembali lagi. Disinilah kesalahan bangsa ini,
oleh karena bangsa ini tidak mau belajar dari sejarah, baik sejarah bangsa
lain, maupun sejarah bangsa sendiri. Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu
bangsa, kecuali bangsa itu (sendiri) mengubahnya, begitu ajaran islam.
Penulis adalah Ketua Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia Jakarta Timur 2018-2019. Perempuan asli Betawi yang doyan
jalan dan doyan tidur. Pecandu kopi pahit yang gemar menunggu perjaka atau duda
pulang dari masjid.
0 Komentar