Menyikapi Gelombang Demokratisasi 2019

Oleh: Robiatul Adawiyah 
Demokratisasi, dapat diibaratkan sebagai sebuah gelombang yang dahsyat. Di dalam kurun waktu 10 tahun terakhir menjelang abad ke-21, demokrasi telah menelan banyak korban, terutama di negara-negara yang dulu dikenal sebagai negara otoriter atau kurang demokratis. Negara-negara yang dahulu dikenal sebagai negara-negara sosialis, pecah berkeping-keping karena derasnya gelombang demokratisasi. Hal ini terlepas kemungkinan adanya rekayasa, sebagai dampak rivalitas blok Barat dan Timur; Berapa negara berubah wajah dan beberapa tokoh jatuh, sebagian dengan nasib yang mengenaskan.

Demokratisasi dalam waktu yang bersamaan, memang sering menumbuhkan kelompok (baru), meskipun dengan dalih demokrasi, tetapi mengabaikan hak-hak asasi orang lain dan bahkan mengorbankan kepentingan orang lain. Ironis, tetapi itulah faktanya, yang dalam beberapa hal juga terjadi di Indonesia. Kita, di Indonesia tampaknya terlambat mengantisipasi datangnya gelombang ini, sehingga perjalanan demokrasi berjalan terseok-seok sesuai kecepatan bukan ketepatan. Sebabnya, karena kita tidak belajar dari pengalaman negara lain dan juga pengalaman bangsa sendiri.
Foto: learniseasy.com
Melalui Pemilihan Umum (PEMILU) yang dijadikan sebagai sebuah instrument untuk mewujudkan cita-cita demokrasi tentu diharapkan dapat terciptanya kemapanan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Namun realita yang terjadi, banyak ditemukan paling tidak derasnya dinding media sosial yang membanjiri setiap timeline banyak menyuguhkan konten kontra-produktif yang menurut hemat saya beberapa diantaranya tak layak dikonsumsi, sehingga mengurangi nilai dari esensi berdemokrasi itu sendiri.
Ada dua hal yang barangkali menjadi sebab utama gelombang demokratisasi. Pertama, adalah esensi demokrasi itu sendiri, dan kedua adalah perkembangan teknologi informasi Keduanya menyatu dan menjadi kekuatan yang amat dahsyat, yang tidak mungkin dihindari oleh negara mana pun di dunia. Mengapa?
Demokrasi, ternyata bersemayam di setiap hati nurani manusia. Hanya dengan jalan demokrasi, sebuah negara diyakini dapat membangun bangsanya sesuai dengan aspirasi rakyatnya secara berkelanjutan, tertib dan aman. Hanya dengan demokrasi kita dapat menciptakan suasana berbangsa dan bernegara, sehingga mampu mendorong kreatifitas dan inovasi setiap individu untuk ikut berperan dalam pembangunan bangsanya, oleh karena demokrasi telah membuka kesempatan yang sama bagi seluruh warganya.
Lebih lanjut, hanya dengan jalan demokrasi, kita dapat membangun masyarakat yang damai, hubungan internasional yang akan mampu memberi landasan kuat bagi perdamaian dunia. Begitu kuatnya panggilan demokratisasi, orang bersedia untuk melarikan diri, mengungsi, mengarungi samudera, terdampar di negara asing, untuk menghindari rezim yang otoriter. Semangat seperti inilah yang kemudian mendorong terjadinya cita-cita masyarakat sipil (civil society). Momen seperti ini, antara lain dapat kita lihat di Pulau Galang dekat Batam, di mana ribuan pengungsi Vietnam pernah terdampat disana.
Akan tetapi demokrasi itu sendiri bukan segala-galanya. Demokrasi memerlukan “norma”, lembaga yang mapan serta pedoman dan tata laksana yang jelas. Tanpa norma, kelembagaan yang mapan serta tata laksana yang jelas, demokrasi mungkin hanya akan menjadi democrazy. Karena itu demokrasi bukanlah tatanan yang sekali jadi, ia memerlukan waktu. Tetapi, kalau kita keliru mempersepsi demokrasi, yang terjadi adalah anarki dan kekerasan. Inilah barangkali, yang sedang kita lakoni.
Selain itu, teknologi informasi ternyata berperan besar dalam gelombang demokratisasi. Dalam beberapa waktu terakhir, sebagaimana kita sadari bersama teknologi telah mengubah dunia kita menjadi tanpa batas. Informasi menjadi semakin tidak terkendali dan masuk kedalam perbincangan dapur bahkan kasur. Dinikamati oleh siapapun dan menjadi sebuah titik yang begitu mudah dicapai oleh siapapun didunia ini.
Dengan kenyataan yang dikemukakan diatas, kita sesungguhnya sangat sulit untuk mengelak kecenderungan dunia seperti itu. Tanpa kita sadari, pada setiap generasi telah terjadi perubahan dibanding dengan generasi sebelumnya, sehingga hanya orang-orang yang memiliki akses informasi sajalah yang bisa melihat perkembangan itu dengan persepsi yang sama. “Cap” seperti inilah yang sering menimbulkan gejolak, ketika kita memasuki transisi demokrasi, sebagaimana sekarang terjadi di Indonesia. Kemampuan kita di dalam me-manage masa transisi inilah yang akan menjadi kunci, apakah kita berhasil memasuki pintu gerbang demokrasi yang sesungguhnya atau tidak. Maka prasyarat apa yang harus kita penuhi?
Dari kenyataan yang sebagaimana kita jalani sekarang, apakah semua itu tidak hanya sebuah drama yang memang harus kita mainkan? Gonjang-ganjing yang selama ini kita alami berulang-ulang, sesungguhnya berasal dari sebuah skenario yang sama. Tanpa mengubah skenario yang kita jalani sudah tentu kita kembali memainkan cerita yang sama. Gonjang-ganjing politik yang terus-menerus kembali lagi dan kembali lagi. Disinilah kesalahan bangsa ini, oleh karena bangsa ini tidak mau belajar dari sejarah, baik sejarah bangsa lain, maupun sejarah bangsa sendiri. Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu bangsa, kecuali bangsa itu (sendiri) mengubahnya, begitu ajaran islam.
Penulis adalah Ketua Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Jakarta Timur 2018-2019. Perempuan asli Betawi yang doyan jalan dan doyan tidur. Pecandu kopi pahit yang gemar menunggu perjaka atau duda pulang dari masjid.



Posting Komentar

0 Komentar