Politik Patron

Oleh: Deni Gunawan

Doeloe Hatta pernah mengkritik Soekarno yang terlalu agitatif dan menyimbolkan dirinya sebagai satu-satunya pemimpin di Partai Nasional Indonesia. Ini juga terlihat dari bagaimana Bung Karno menampilkan dirinya sebagai the one and only pemimpin besar revolusi Indonesia dan menyebut dirinya sendiri sebagai putra sang fajar. Kritik Bung Hatta sederhana, penokohan diri dalam sebuah partai yang begitu menyolok akan membuat susah partai itu sendiri. Ini terbukti, ketika Bung Karno dipenjara, internal PNI menjadi kacau dan akhirnya dibubarkan dengan mudah oleh pemerintah kolonial Belanda. Hal ini senada seperti yang dikemukakan oleh Ricklefs, “Tanpa Sukarno, maka PNI sangat lemah,” ujarnya. 

Soekarno yang terlalu menampilkan dirinya sebagai satu-satunya sosok di PNI membuat para kader tak punya pandangan lain dan opsi lain selain Soekarno. Jika boleh dibilang, PNI adalah Soekarno dan Soekarno adalah PNI. Akibatnya jelas, kelumpuhan terjadi di tubuh partai hingga pembubaran sebab tokohnya Soekarno ditangkap pemerintah Belanda. Politik Patron seperti ini satu sisi memang menguntungkan bagi sebuah partai dalam meraup simpati rakyat, tapi itu dalam jangka pendek, jangka panjangnya ia akan mengalami kelumpuhan akut bilamana tokohnya tak ada lagi. Ini mirip dengan apa yang terjadi pada partai Demokrat yang identik dengan SBY dan sebaliknya. Di mana saat SBY berkuasa dan Demokrat memang idektik dengan dirinya, dia mampu mendapatkan suara rakyat yang luar biasa. Namun, setelah kekuasaannya selesai, partainya mengalami penurunan jumlah suara yang signifikan.

Memang sejak awal baik Bung Karno maupun Bung Hatta memiliki visi yang menyolok beda. Soekarno yang terlalu fokus pada bagaimana mendulang massa rakyat sedangkan Hatta lebih menekankan pada pendidikan untuk memunculkan 'elit' baru yang bisa dijadikan alternatif. Kekecewaan Hatta atas Soekarno dapat kita lihat dalam buku otobiografinya 'Untuk Negeriku: Berjuang dan Dibuang', ia mengatakan bahwa pembubaran PNI itu memalukan dan perbuatan itu dianggapnya melemahkan pergerakan rakyat. Padahal Hatta berharap banyak kepada PNI namun petingginya justru membuat partai Pertindo setelah PNI dibubarkan dan pimpinannya ditangkap.

Source: google

Jokowi-Prabowo: Politik Siapa dan Apa

Kita kira, pasca pemilu 2019 kemarin, suhu politik baik di media mainstream dan media sosial akan menurun, ternyata tidak juga. Meskipun momentumnya juga sampai pada bulan suci ramadan dan malah sudah mau lebaran. Hal ini tidak lepas dari strategi politik yang dimainkan para elit dalam meraup suara rakyat demi kemenangan dan kekuasaan. Politik identitas atau politik yang menonjolkan sifat dasar atau karakter kelompok tertentu sebagai glorifikasi atas yang lain adalah salah satu cara yang dipakai yang membuat situasi politik kita senantiasa panas dan rentan konflik.

Situasi ini, setidaknya memunculkan istilah cebong dan kampret sebagai diksi untuk menyebut politisi dan simpatisan kedua belah pihak. Pihak Jokowi diidentikan dengan cebong sementara Prabowo dengan kampret. Semua makna dari dua diksi tersebut mengarah kepada penghinaan masing-masing. Kondisi tersebut kemudian memunculkan cara berpikir biner yang hitam putih.

Jokowi akan pasti salah di kubu Prabowo dan Prabowo sudah pasti tidak pernah benar di kubu Jokowi. Setidaknya, sejak 2014 lalu, massa rakyat kita menampilkan politik dua kubu. Kubu Jokowi dan kubu Prabowo. Orang cenderung kehilangan kesaktian dalam berlogika, inilah yang kemudian memunculkan politik patron.

Politik patron yang dimaksud adalah kecenderungan orang mendukung karena sosok 'siapa' bukan 'apa'. Siapa di sini adalah simbolisasi orang, bukan pada apa yang bermakna kualitas dan kemampuannya. Siapa merujuk pada subjektivitas tanpa tapi, sementara apa merujuk pada kualitas yakni hal-hal yang menyangkut kompetensi dan ide. Jelas sekali politik siapa mewarnai situasi perpolitikan kita belakangan ini. Akibatnya, orang hanya tau bahwa 'siapa' nya harus menang tanpa pernah mau tau apakah 'siapa'nya itu punya 'apa'. Padahal dalam Islam, sebagaimana diungkapkan Ali ibn Abi Thalib, mestinya orang harus jeli pada apa yang dibicarakan (kualitas) oleh seseorang bukan siapa yang berbicara. Unzhur ma qaa la wala tanzhur man qaa la.

Patron itu bernama Pancasila

Setelah usaha saling menikai yang berlarut-larut dan lebaran juga sudah mau datang. Sudah saatnya kita harus meninjau ulang cara politik kita. Bahwa bagi rakyat, hal terpenting adalah bagaimana menjadi rakyat yang cerdas serta menjadi bagian dari komunitas dunia yang sejahtera juga mampu merawat dan menjaga perdamaian dunia. Itulah amanah atau tujuan pembukaan UUD 1945 kita. Kita harus insyaf bahwa sesungguhnya perebutan kekuasaan yang terjadi di elit janganlah kemudian menjadikan kita sebagai bemper untuk kejayaan mereka dan kelompoknya semata. Kita rakyat harus selalu bersama-sama bahu membahu menjaga negeri ini dari segala macam ancaman perpecahan dan juga politisi-politisi busuk.

Karena itu, politik patron yang semula menunjuk pada siapa (tokoh politik) harus kita tinjau ulang untuk menggantinya dengan politik patron apa. Yakni kualitas dan kapasitas dari sosok. Di atas itu semua, kita punya semacam common platform yakni Pancasila sebagai dasar ideologi berbangsa dan bernegara kita. Sila-sila Pancasila harus kita jadikan patron utama dalam berpolitik kita. Jika kita sepakat bahwa benegara Indonesia ini tidak lain adalah sebuah ikhtiyar bersama untuk menuju cita-cita bersama bangsa yang sejahtera, adil dan makmur.

Maka rutinitas politik yang dilakukan lima tahun sekali itu tidak boleh mengorbankan sesuatu yang lebih besar dari hanya perebuatan kekuasaan segelintir elit, yakni persatuan dan kesatuan bangsa. Bahwa kita adalah saudara sebangsa dan setanah air yang sedang bahu membahu menuju Indonesia yang lebih berkeadaban. Sipapun, yang menjadikan Pancasila sebagai patron politik berbangsa tidak akan pernah gusar apalagi gelisah dengan segala hal perbedaan termasuk perbedaan pilihan politik. Karena kita semua paham, kebebasan berpendapat dan memilih itu telah kita atur bersama-sama dalam sebuah undang-undang dan kita kunjung tinggi itu sebagai sebuah harga diri bangsa. Bahwa pemilu langsung yang kemudian dipilih sebagai ejawantah dari demokrasi kita adalah sebuah konsekuensi dari praktik berpolitik kita yang niscaya akan menghasilkan pemenang dan yang kalah.

Sekali lagi, tidak akan menjadi masalah, bila secara teguh politik patron itu kita jadikan Pancasila sebagai tumpuannya. Memang, dalam sistem demokrasi ini tidak bisa memuaskan semua orang, selalu ada cacat dan kekurangannya, hanya saja jangan kemudian cacat itu kita perbesar dengan merusak sebuah rumah besar bersama bernama Indonesia itu. Kekurangan dan cacat dalam ejawantah berdemokrasi harus dicarikan jalan keluarnya melalui kritik secara terus menerus terhadap sistem pemilu yang kita jalankan, guna menemukan sebuah skema terbaik kita dalam berpolitik praktis. Karena itu Pancasila sebagai politik patron adalah sebuah kerja menuju masyarakat yang berkualitas dalam menciptakan pemimpin, tidak lagi terjebak pada simbolitas dan popularitas semata. Politik patron Pancasila adalah menjadikan kemanusiaan dan keindonesiaan adalah utama. Tujuannya adalah kemakmuran bersama dan keadilan bagi semua sembari kita ikut tertib mejaga perdamaian di dunia.

Selamat Hari Kesaktian Pancasila 1 Juni 2019.

Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Filsafat Politik Islam STFI-ICAS Jakarta dan Penulis Buku Indonesia Tanpa Caci Maki

Posting Komentar

0 Komentar